TANJUNGBALAI MEMPOPULERKAN RBT DI SUMUT
Ojek adalah transportasi umum informal di Indonesia berupa sepeda motor atau sepeda, namun lebih lazim berupa sepeda
motor. Disebut informal karena keberadaannya tidak diakui pemerintah dan tidak ada izin untuk pengoperasiannya. Penumpang biasanya satu orang namun kadang bisa berdua. Dengan
harga yang ditentukan dengan tawar menawar dengan sopirnya
dahulu setelah itu sang sopir akan mengantar ke tujuan yang diinginkan
penumpangnya.
Ojek atau RBT
sebenarnya merupakan alternatif transportasi kota yang dilanda macet sepanjang
hari. Selain
itu dapat menjangkau daerah-daerah dengan gang-gang yang sempit dan sulit
dilalui oleh mobil. Biasanya mereka mangkal di persimpangan jalan yang ramai,
atau di jalan masuk kawasan permukiman. Sejak krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun 1998, profesi ojek menjadi favorit bagi para
pengangguran akibat PHK ataupunkesulitan lapangan kerja pada masa itu. Ditambah
lagi dengan suburnya industri sepeda motor di Indonesia dari masuknya motor
impor Tiongkok, Korea, maupun ATPM yang telah memiliki pabrik di Indonesia. Kalau
di Jawa mereka yang memberi jasa seperti ini disebut ojek, yang berasal dari
kata “ngobjek”. Di Jakarta jenis ojek sepeda lebih dulu ada,
yakni sejak sekitar tahun '60-'70an, ojek sepeda tidak banyak berkembang. Akan
tetapi di sekitar Jakarta Kota dan Tanjung Priok masih banyak ojek sepeda yang beroperasi hingga
kini, walaupun hanya berjarak pendek. Ketika sepeda motor mulai banyak, para “pembanting tulang” ini beralih
dari sepeda ke sepeda motor.
Ojek dapat pula ditemukan di beberapa negara
lain di luar Indonesia, termasuk India, Thailand, dan Britania Raya. Berbeda dengan Indonesia, layanan ojek di
negara-negara tersebut ada yang merupakan layanan transportasi umum resmi.
RBT
sendiri pada awalnya adalah singkatan dari Rakyat Banting Tulang. Kota Tanjungbalai
di era tujuh puluhan pertama kali mempopulerkan istilah ini bagi penarik ojek,
akhirnya akrab ditelinga masyarakat terutama di Sumatera Utara, Aceh dan Riau.
Di sana mulanya sejumlah orang menggunakan sepeda motor untuk antar jemput
penumpang terutama dari pusat kota ke Pelabuhan Teluk Nibung dan Bagan Asahan.
Pada masa itu angkutan umum di daerah ini masih berupa oplet (bus penumpang tua
yang baknya terbuat dari kayu) dengan nama KAAT (Koperasi Angkutan Asahan
Tanjungbalai), taksi tua merk Chevrolet dan beca dayung. Lama kelamaan angkutan
resmi oplet dan taksi itu habis dengan sendirinya termakan usia karena tak
pernah diremajakan, begitu pula tidak adanya dukungan dari Pemerintah Daerah
terhadap usaha moda angkutan umum ini, kecuali menggantinya dengan angkutan
umum sejenis sudako.
Sejenis taksi yg dulu beroperasi trayek Tanjungbalai-Bagan Asahan
Mungkin para remaja Tanjungbalai dan Asahan sekarang tidak
banyak yang tahu bahwa di daerahnya dulu ada angkutan umum berupa bus dan taksi
yang menghubungkan Tanjungbalai dengan
daerah-daerah Kabupaten Asahan waktu itu (sebelum pemekaran) seperti Sei.
Merbau, Teluk Nibung, Simpang Pematang, Sei. Apung, Asahan Mati dan Bagan
Asahan. Begitu
pula beca dayung yang terlindas persaingan dengan maraknya angkutan RBT sebelum
tergerus juga dengan masuknya angkutan betor (beca bermotor).
Sejenis Angkutan Umum yang telah punah
Sejenis Bus KAAT dulu (menghidupkan mesinnya dengan diengkol)
Beca Dayung yg hampir hilang terlindas zaman
Para
penarik RBT ini biasanya mangkal di sekitar Jalan Gereja ujung (pangkal
jembatan Sei. Silau), di seputaran terminal angkutan umum Tanjungbalai-Bagan
Asahan, Pelabuhan Teluk Nibung, dan Pekan Bagan Asahan. Dengan matinya
beca dayung di Kota ini, pangkalan RBT kemudian berkembang ke Stasiun Kereta
Api, Jl. SM. Raja, Tangkahan Tiga Sen, sekitar “Segi Tiga” Jl. Cokroaminoto/Jl.
Pahlawan, Jl. Veteran, dll.
Setelah beroperasinya terminal bus baru di Km
7 Sijambi Tanjungbalai sekitar akhir 80an maka banyak pula penarik RBT yang
mangkal di sini dan di terminal bus lama untuk menanti penumpang yang akan
menggunakan jasa mereka. Inilah awal menjamurnya RBT di Kota
Tanjungbalai dan semakin diperparah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 itu
dengan banyaknya pengangguran serta sulitnya ekonomi masyarakat yang membuat
sebagian PNS dan karyawan swasta mencari pendapatan sampingan menarik RBT disela-sela
waktunya.
Tarif
yang dikenakan terhadap penumpang bervariasi tergantung tawar menawar namun
dibanding untuk daerah lainnya masih termasuk mahal. Untuk kita ketahui sebagai
penambahan wawasan bahwa ongkos RBT termahal di Indonesia bahkan di dunia
adalah di Seko-Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketinggian lebih kurang 1.800 M
di atas permukaan laut. Ongkos ojek yang dibayarkan untuk sekali jalan dari
Masamba ke Seko berkisar kurang lebih Rp 1 juta dengan medan yang berat
karena rusak dan basah, resiko kerusakan kenderaan dan bahaya sangat tinggi.
Beginilah tantangan RBT di Seko-Sulsel
Beginilah tantangan RBT di Seko-Sulsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar