Rabu, 16 Juli 2014

RBT di Tanjungbalai

TANJUNGBALAI MEMPOPULERKAN RBT DI SUMUT

Ojek adalah transportasi umum informal di Indonesia berupa sepeda motor atau sepeda, namun lebih lazim berupa sepeda motor. Disebut informal karena keberadaannya tidak diakui pemerintah dan tidak ada izin untuk pengoperasiannya. Penumpang biasanya satu orang namun kadang bisa berdua. Dengan harga yang ditentukan dengan tawar menawar dengan sopirnya dahulu setelah itu sang sopir akan mengantar ke tujuan yang diinginkan penumpangnya. 

Ojek atau RBT sebenarnya merupakan alternatif transportasi kota yang dilanda macet sepanjang hari. Selain itu dapat menjangkau daerah-daerah dengan gang-gang yang sempit dan sulit dilalui oleh mobil. Biasanya mereka mangkal di persimpangan jalan yang ramai, atau di jalan masuk kawasan permukiman. Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, profesi ojek menjadi favorit bagi para pengangguran akibat PHK ataupunkesulitan lapangan kerja pada masa itu. Ditambah lagi dengan suburnya industri sepeda motor di Indonesia dari masuknya motor impor Tiongkok, Korea, maupun ATPM yang telah memiliki pabrik di Indonesia. Kalau di Jawa mereka yang memberi jasa seperti ini disebut ojek, yang berasal dari kata “ngobjek”. Di Jakarta jenis ojek sepeda lebih dulu ada, yakni sejak sekitar tahun '60-'70an, ojek sepeda tidak banyak berkembang. Akan tetapi di sekitar Jakarta Kota dan Tanjung Priok masih banyak ojek sepeda yang beroperasi hingga kini, walaupun hanya berjarak pendek. Ketika sepeda motor mulai banyak, para “pembanting tulang” ini beralih dari sepeda ke sepeda motor.
Ojek dapat pula ditemukan di beberapa negara lain di luar Indonesia, termasuk India, Thailand, dan Britania Raya. Berbeda dengan Indonesia, layanan ojek di negara-negara tersebut ada yang merupakan layanan transportasi umum resmi.

RBT sendiri pada awalnya adalah singkatan dari Rakyat Banting Tulang. Kota Tanjungbalai di era tujuh puluhan pertama kali mempopulerkan istilah ini bagi penarik ojek, akhirnya akrab ditelinga masyarakat terutama di Sumatera Utara, Aceh dan Riau. Di sana mulanya sejumlah orang menggunakan sepeda motor untuk antar jemput penumpang terutama dari pusat kota ke Pelabuhan Teluk Nibung dan Bagan Asahan. Pada masa itu angkutan umum di daerah ini masih berupa oplet (bus penumpang tua yang baknya terbuat dari kayu) dengan nama KAAT (Koperasi Angkutan Asahan Tanjungbalai), taksi tua merk Chevrolet dan beca dayung. Lama kelamaan angkutan resmi oplet dan taksi itu habis dengan sendirinya termakan usia karena tak pernah diremajakan, begitu pula tidak adanya dukungan dari Pemerintah Daerah terhadap usaha moda angkutan umum ini, kecuali menggantinya dengan angkutan umum sejenis sudako. 


Sejenis taksi yg dulu beroperasi trayek Tanjungbalai-Bagan Asahan


Mungkin para remaja Tanjungbalai dan Asahan sekarang tidak banyak yang tahu bahwa di daerahnya dulu ada angkutan umum berupa bus dan taksi yang menghubungkan  Tanjungbalai dengan daerah-daerah Kabupaten Asahan waktu itu (sebelum pemekaran) seperti Sei. Merbau, Teluk Nibung, Simpang Pematang, Sei. Apung, Asahan Mati dan Bagan Asahan. Begitu pula beca dayung yang terlindas persaingan dengan maraknya angkutan RBT sebelum tergerus juga dengan masuknya angkutan betor (beca bermotor).

Sejenis Angkutan Umum yang telah punah

Sejenis Bus KAAT dulu (menghidupkan mesinnya dengan diengkol)
Beca Dayung yg hampir hilang terlindas zaman


Para penarik RBT ini biasanya mangkal di sekitar Jalan Gereja ujung (pangkal jembatan Sei. Silau), di seputaran terminal angkutan umum Tanjungbalai-Bagan Asahan, Pelabuhan Teluk Nibung, dan Pekan Bagan Asahan. Dengan matinya beca dayung di Kota ini, pangkalan RBT kemudian berkembang ke Stasiun Kereta Api, Jl. SM. Raja, Tangkahan Tiga Sen, sekitar “Segi Tiga” Jl. Cokroaminoto/Jl. Pahlawan, Jl. Veteran, dll. 
 
Setelah beroperasinya terminal bus baru di Km 7 Sijambi Tanjungbalai sekitar akhir 80an maka banyak pula penarik RBT yang mangkal di sini dan di terminal bus lama untuk menanti penumpang yang akan menggunakan jasa mereka. Inilah awal menjamurnya RBT di Kota Tanjungbalai dan semakin diperparah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 itu dengan banyaknya pengangguran serta sulitnya ekonomi masyarakat yang membuat sebagian PNS dan karyawan swasta mencari pendapatan sampingan menarik RBT disela-sela waktunya.

Tarif yang dikenakan terhadap penumpang bervariasi tergantung tawar menawar namun dibanding untuk daerah lainnya masih termasuk mahal. Untuk kita ketahui sebagai penambahan wawasan bahwa ongkos RBT termahal di Indonesia bahkan di dunia adalah di Seko-Sulawesi Selatan. Daerah dengan ketinggian lebih kurang 1.800 M di atas permukaan laut. Ongkos ojek yang dibayarkan untuk sekali jalan dari Masamba ke Seko berkisar kurang lebih Rp 1 juta  dengan medan yang berat karena rusak dan basah, resiko kerusakan kenderaan dan bahaya sangat tinggi. 

Beginilah tantangan RBT di Seko-Sulsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar