RIWAYAT LAPANGAN PASIR TANJUNGBALAI
Lapangan Pasir Tanjungbalai populer disebut oleh
muda mudi Kota Kerang dengan "Lapas", padahal penyebutan ini bagi
daerah lain maupun Indonesia secara umum adalah singkatan dari Lembaga
Pemasyarakatan. Makanya jangan heran bila masyarakat luar jikalau berkunjung ke
kota ini jika ingin mencari kuliner khas muda mudi Tanjungbalai akan ditawarkan
dan dibawa para abang beca maupun
penarik RBT (ojek) ke "Lapas" ini karena disana banyak ditemukan
jajanan istimewa khas Lapas Tanjungbalai.
Lapangan Pasir Food CourtTanjungbalai sejak sore
hari mulai dipenuhi para pedagang pisang kopit, jagung bakar sebagai kuliner
khas muda mudi Tanjungbalai juga dengan menyediakan minuman ringan air kelapa muda
dan minuman botol lainnya. Mereka mulai menggelar lapaknya masing-masing dengan
mengatur kursi-kursi, meja-meja dan tenda-tenda plastik di pulau serta bahu
jalan sepanjang "Pasar Tongah" Lapangan Pasir. Tempat ini menjadi
primadona muda mudi bahkan anak-anak sampai orang tua untuk sekedar mencari
angin sembari menikmati makanan dan minuman ringan bersama pasangan, teman,
ataupun keluarga di sore ataupun malam hari. Pada malam Kamis dan malam Minggu
kawasan ini lebih ramai dari malam lainnya dipenuhi pasangan muda mudi bersepeda motor terparkir rapi di sepanjang
"Pasar Tongah". Pasar Tongah disini maksudnya bukan pasar tempat
berjualan, tapi jalan yg letaknya di tengah diantara Stadion Asahan Sakti dan
Lapangan Pasir. (Penulis : Pasar dalam pengertian masyarakat Tanjungbalai
adalah jalan).
Pada awalnya dahulu semasa penulis masih duduk di
bangku SMA (sekitar tahun 80an), hanya seorang pedagang yang memulai berjualan
jagung bakar dan pisang kopit disini, yaitu Kak Idar. Kak Idar ini adalah
tetangga kami, tinggal bersama anak-anaknya di Semenanjung dekat jembatan
Pantai Burung. Kak Idar ini sedari mudanya sudah saya kenal karena orang tuanya
yang orang Minang itu adalah tetangga kami di Gg. Andalas (sekarang Gang Aster dekat
terminal lama). Ayahnya seorang tukang pangkas yang cukup senior masa itu di
Tanjungbalai, karena sejak mudanya beliau sudah menjalankan profesinya ini. Ia
membuka “kedai pangkasnya” di Jalan Cokroaminoto Tanjungbalai di barisan antara
Bioskop Horas dan Bioskop Garuda waktu itu. Ibunda Kak Idar yang kami panggil
one (uni) membantu ekonomi keluarga dengan membuat aneka kue basah tradisional
di rumahnya dibantu anak-anaknya (Kak Idar dan adik-adiknya seperti Kak Upik,
Kak Adek, dan Wati). Kue-kue basah produksi One ini dijajakan para anak anak
sekitar lingkungan mereka itu dengan berjalan kaki dari lorong ke lorong bahkan
sampai ke kampung lain di wilayah Tanjungbalai. Penjaja kue ini yang masih saya
ingat seperti Sintong, Butet, Umpang dan beberapa orang lainnya yang masih
duduk dibangku Sekolah Dasar. Mereka mendapat persen dari setiap potong kue
hasil penjualannya. Kue kue One terkenal enak dan lezat juga murah harganya. Kue-kue
One selalu laris dan habis, hingga akhirnya beberapa keluarga di kampung kami
itu mengikuti bisnisnya dengan mengolah dan memproduksi kue kue basah
tradisional sejenis seperti kue lapis, kue jagung, kue cara, kue lumpang, lepat
ubi, lepat nagasari, ombus ombus, dll secara rumahan.
Kembali kita ke cerita Kak Idar. Setelah dewasa
Kak Idar dilamar dan berkeluarga dengan Bang Duan seorang putera Pulau Simardan
berprofesi sebagai tukang beca. Setelah anak pertama mereka (Awaluddin) lahir
mereka berumah sendiri di Semenanjung (Pantai Burung). Setiap sore ia dan suami
(setelah pagi sampai siangnya menarik beca) dibantu dua orang putri mereka (si
kembar, sang putra sulung “Awaluddin” bertugas sebagai Marinir di Jakarta, seorang
lagi putri keduanya Linda meninggal kecelakaan di Jakarta) mempersiapkan segala
sesuatunya seperti panggangan, kipas dari pandan, arang, bangku kayu kecil
(untuk tempat duduk Kak Idar sewaktu membakar jagung atau pisang), sebotol
minyak lampu, sekaleng mentega, bumbu dan saus, gula, garam, beberapa sisir
pisang kepok dan segoni gandum jagung mentah. Hampir setiap sore aktifitas
mereka itu tetap saya lihat, sebab harus melintasi jalanan gang depan rumah
kami dari rumah One (barang-barang perlengkapan jualan mereka simpan disitu
karena dekat ke tempat berjualan) menuju Lapangan Pasir.
Diawal-awal merintis jualan itu Kak Idar belum
menyediakan tempat duduk bagi pembeli dan tidak memakai tenda. Pembeli yang
diharapkan sebagai pelanggan adalah para muda mudi yang biasanya berolahraga
disana. Pasar Tongah itu dibangun Pemko Tanjungbalai sebagai fasilitas olahraga
bagi masyarakat untuk velodrom sepatu roda dan jogging track, juga dilengkapi
taman, lampu-lampu bercorak ikan, udang, dan kerang sebagai ciri khas Kota
Tanjungbalai. Taman ini juga dibuatkan bangku-bangku beton sehingga terlihat indah
dimasa itu. Pada masa itu lapangan pasir dimanfaatkan masyarakat untuk bermain
sepak bola dan bola volley di dua lapangan yang juga dibangun Pemko
Tanjungbalai.
Dari hari kehari dan berkat kesungguhan berusaha
Kak Idar bersama keluarga akhirnya dagangannya semakin laris, setiap sore
sampai malam hari selalu ditongkrongi pembeli utamanya para muda mudi baik
pribumi maupun warga turunan di kota ini. Sejak saat itu mulailah Kak Idar
(Syamsidar) dan Bang Duan (Ridwan) memperbaiki lapaknya dengan menyediakan
beberapa kursi, meja plastik dan tenda untuk memenuhi dan melayani ramainya
pelanggan yang sudah tak cukup lagi duduk di bangku taman. Hingga akhirnya
bisnis ini mulai dilirik masyarakat lainnya dengan didominasi warga sekitar
Lapas seperti dari Semenanjung, Gang Malaka, Gang Turang, dan Lorong Pucuk.
Ironisnya seiring pertambahan pedagang yang berjualan di kawasan itu makin
hilang pula keindahan taman apalagi fasilitas olahraga sepatu roda sesuai peruntukan pembangunannya. Kawasan bermain
anak-anak dan remaja tergantikan menjadi arena pamer sepeda motor dan tempat
kongkow kongkow para muda mudi Tanjungbalai yang puncaknya terjadi pada malam
Kamis dan malam Minggu.
Mari kita tinggalkan dahulu Kak Idar Cs, untuk mengetahui
tentang sejarah berdirinya Lapangan Pasir sebagai alun alun kota Tanjungbalai ada
baiknya kita tinjau masa lalunya. Keberadaan lapangan pasir tak terlepas menjadi
perhatian Pemko Tanjungbalai. Dengan melakukan beberapa kali pertemuan antara
pihak Pemerintah Kota Tanjungbalai dengan pihak ahli waris Kesultanan Asahan
akhirnya dicapai kata sepakat dan kerelaan pihak ahli waris Kesultanan Asahan
untuk menyerahkan aset kerajaan itu kepada masyarakat Tanjungbalai melalui
Pemko Tanjungbalai secara Ijab sekitat tahun 2002 dimasa Walikota dr. Sutrisno
Hadi, SpOG. Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Kesultanan Asahan maka
lapangan ini ditabalkan melalui sebuah Perda Tanjungbalai dengan nama Lapangan
Sultan T. Abdul Djalil Rahmadsyah (Sultan I Asahan).
Dahulunya Lapangan Pasir ini adalah tanah rendah
berawa-rawa yang terbentang di depan Istana Asahan (bangunannya telah
dirubuhkan sekitar awal 80an). Pada masa Tanjungbalai dipimpin seorang Walikota
Patuan Naga Nasution dilaksanakan pengerukan Sungai Silau dan Sungai Asahan yang
mulai mendangkal menggunakan Anggaran Pusat.
Kerukan dari sedimentasi lumpur dan pasir Sungai
Silau dibuang melalui pipa besar ke daerah Pante Olang akhirnya timbul sebuah
daratan baru "Beting Semelur" tempat bak air dang pengolahan PDAM
Tirta Kualo sekarang. Kerukan Sungai Istana sampai Sungai Bengkel dibuang
melalui pipa besar dan panjang ke rawa rawa depan komplek Istana Asahan menjadi
"Lapangan Pasir", yang sekarang berubah pula menjadi alun alun kota. Sedangkan
kerukan dari Muara Sungai Silau di Sungai Asahan buangannya menjadi daratan "Beting
Seroja" di SS. Denki.
Pada awalnya dengan kemunculan dua
"Beting" baru dan satu lapangan ini banyak dimanfaatkan masyarakat
sebagai daerah rekreasi baru. Masyarakat sering mengadakan semacam bazar dan
pasar malam. Berbagai hiburan seperti band (masa itu terkenal Band The Pegneg,
milik Pemkab Asahan karena Tanjungbalai juga berada di bawah teritorial
Kabupaten Asahan), pemilihan Raja dan Ratu, ronggeng serta permainan lainnya
seperti kuda pusing, tong setan bahkan batu gelang dan judi kim ada disana.
Lapangan Pasir ini dulu sebelum diserahkan pengelolaannya kepada Pemko, juga
sering dipakai para pebisnis hiburan sebagai tempat pertunjukan dengan
mendatangkan Klub Circus dari China (Oriental Circus) dan dari India (Holiday
Circus). Seringnya lapangan ini sebagai tempat hiburan membekas di kehidupan
masyarakat Tanjungbalai terutama kaum mudanya. Mungkin karena itulah menjadi
kebiasaan pada muda mudi Tanjungbalai menjadikan Lapangan Pasir sebagai pusat
untuk berkumpul (atau sekedar berkeliling, kata orang iseng "bertawaf”)
utamanya pada Malam Minggu dan Malam Kamis walaupun sebenarnya tiada hiburan
disana pada malam itu. Malam Kamis menjadi tradisi di kalangan kawula muda
Tanjungbalai sebagai medio mingguan atau anak malam Minggu.
Melihat salah kaprahnya sebagian besar kaum muda
Tanjungbalai maka sekitar tahun 2000 an (setelah diserahkan ahli waris
Kesultanan Asahan ke Pemko Tanjungbalai) lapangan ini direnovasi dengan
membangun alun alun atapnya bermotifkan kerang dan dilengkapi dengan sarana
kamar mandi serta dipasang pagar sekelilingnya. Upacara Bendera Hari Hari Besar
Nasional serta acara acara besar seperti Hari Jadi Tanjungbalai pada setiap
tanggal 27 Desember, Pameran dan Festival maka Lapangan Pasir ini menjadi
pilihan.