Benarkah Adolf Hitler Meninggal di
Indonesia
1.
Jika saja ada yang rajin menyimpan
klipingan artikel harian “Pikiran Rakyat” sekitar tahun 1983, tentu akan
menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya bertemu dengan
seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun
1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau
tersebut.
Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!
Beberapa “bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak “bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.
Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.
Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.
Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.
Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!
Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.
Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.
Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!
Beberapa “bukti” diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak “bukti” lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.
Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung ‘penemuannya’. “Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain,” kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.
Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. “Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,” kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.
Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.
Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah “kunci” yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!
Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.
Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul “Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.
Pada halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.
“Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi ‘Hitler’. Semuanya ada kesamaan,” ungkap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, “beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh... kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat.”
Linge melanjutkan, “di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu.” Pada akhir artikel, Linge menulis, “tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan.”
Lalu Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan “Hitler”, saat Sosro berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat ‘pembantaian’ orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.
“Ketika saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing,” tutur Sosrohusodo.
Di sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan “Hitler” hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.
Yang membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman.
“Itu kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja,” ucap istrinya seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan “Dolf”, yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!
Setelah memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!
Untuk menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.
Begitu juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.
Dalam salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku itu milik suami nyonya S.
Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan lambang biologis laki-laki dan wanita. “Jadi kemungkinan besar, buku itu milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun,” tegasnya dengan suara yang agak parau.
Negara yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara
lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu
halamannya ada tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian.
Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos
untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).
Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.
Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.
“Masih banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!” tandasnya.
Mengenai tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman “kuno” sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.
Tetapi penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti “keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg”. Kota ini terdapat di Austria.
Di dalamnya berkisah tentang “kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg”. Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.
Di dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. “Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya,” Sosrohusodo memberikan alasan.
Dari singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!
Ia mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : “Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa”. Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A)”. Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan lainnya.
Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. “Ini juga menunjukkan rute pelarian mereka,” katanya lagi.
Lalu bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian diiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. “Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.
Membaca dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara.
Bahkan Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. “Padahal tidak ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di Indonesia,” katanya mantap.
Bukan hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!
Adalah tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo, nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya dr. Poch.
Mungkin para ahli forensik dapat menjelaskannya lewat penelitian terhadap tulang-tulang jenazahnya. Semua itu tentu berpulang pada kemauan baik semua pihak.
2. TEKA-TEKI kematian diktator Jerman Adolf Hitler, kembali jadi
perbincangan hangat. Koran The Daily Telegraph pada 28 September 2009
menurunkan satu laporan, tengkorak yang selama ini diduga milik Hitler
dan disimpan di Rusia ternyata, bukanlah tengkorak tokoh tersebut. Dalam
Program History Channel Documentary, koran yang terbit di Inggris itu
menjelaskan, tengkorak tersebut merupakan tengkorak perempuan yang
meninggal di bawah usia 40 tahun.
Dengan informasi ini, semakin terbuka munculnya spekulasi seputar kematian tokoh Perang Dunia II tersebut. Selama ini, sebagian masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi (Nationalsozialismus) Jerman tersebut, tewas bunuh diri di salah satu bunker di Berlin pada 30 April 1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika itu usia Hitler 56 tahun.
Sebagian lagi beranggapan, Hitler berhasil melarikan diri bersama Eva Braun, kemudian menghabiskan masa tuanya di Brasil, Argentina, atau wilayah lainnya di Amerika Selatan. Masing-masing pihak mengemukakan berbagai argumen yang memperkuat dugaan mereka. Sejumlah dokumen diungkapkan dan para saksi pun berbicara.
Selain versi yang sudah lama dikenal dunia, terdapat versi Indonesia yang boleh jadi merupakan versi terbaru. Dalam versi itu dijelaskan tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke Indonesia dan meninggal di Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada penuturan seorang dokter warga Bandung, Sosrohusodo.
Sosro adalah dokter lulusan Universitas Indonesia. Dia menuliskan pendapatnya pada satu artikel di Pikiran Rakyat pada 1983. Kemudian pada 1994 saya bertemu dengan Sosrohusodo. Hasil wawancara itu dimuat Pikiran Rakyat pada 24 Februari 1994 dalam bentuk artikel yang cukup panjang. Artikel itulah yang kemudian wara-wiri di dunia maya belakangan ini.
Pertemuan dengan Sosrohusodo ketika itu dilakukan atas permintaannya. ”Saya ini sudah tua. Akan tetapi, saya masih memiliki satu beban besar yang hingga kini belum terungkap, yaitu mengenai diktator Jerman Adolf Hitler,” katanya, saat berbincang di rumahnya Jln. Setiabudhi seberang kampus UPI Bandung. Rumahnya tidak begitu besar, tetapi halamannya cukup luas. Raut gelisah terlihat di wajah Sosrohusodo.
Dengan informasi ini, semakin terbuka munculnya spekulasi seputar kematian tokoh Perang Dunia II tersebut. Selama ini, sebagian masyarakat dunia meyakini pemimpin Nazi (Nationalsozialismus) Jerman tersebut, tewas bunuh diri di salah satu bunker di Berlin pada 30 April 1945 bersama kekasihnya Eva Braun. Ketika itu usia Hitler 56 tahun.
Sebagian lagi beranggapan, Hitler berhasil melarikan diri bersama Eva Braun, kemudian menghabiskan masa tuanya di Brasil, Argentina, atau wilayah lainnya di Amerika Selatan. Masing-masing pihak mengemukakan berbagai argumen yang memperkuat dugaan mereka. Sejumlah dokumen diungkapkan dan para saksi pun berbicara.
Selain versi yang sudah lama dikenal dunia, terdapat versi Indonesia yang boleh jadi merupakan versi terbaru. Dalam versi itu dijelaskan tentang kemungkinan Hitler melarikan diri ke Indonesia dan meninggal di Surabaya. Dugaan ini didasarkan pada penuturan seorang dokter warga Bandung, Sosrohusodo.
Sosro adalah dokter lulusan Universitas Indonesia. Dia menuliskan pendapatnya pada satu artikel di Pikiran Rakyat pada 1983. Kemudian pada 1994 saya bertemu dengan Sosrohusodo. Hasil wawancara itu dimuat Pikiran Rakyat pada 24 Februari 1994 dalam bentuk artikel yang cukup panjang. Artikel itulah yang kemudian wara-wiri di dunia maya belakangan ini.
Pertemuan dengan Sosrohusodo ketika itu dilakukan atas permintaannya. ”Saya ini sudah tua. Akan tetapi, saya masih memiliki satu beban besar yang hingga kini belum terungkap, yaitu mengenai diktator Jerman Adolf Hitler,” katanya, saat berbincang di rumahnya Jln. Setiabudhi seberang kampus UPI Bandung. Rumahnya tidak begitu besar, tetapi halamannya cukup luas. Raut gelisah terlihat di wajah Sosrohusodo.
Dia pun memperlihatkan setumpuk dokumen yang tampak lusuh. Diikat dengan beberapa belit benang. Antara lain berisi foto-foto lama, yang memperlihatkan seorang lelaki dan perempuan bule warga negara Jerman, paspor, dan buku harian dengan tulisan steno. Terdapat pula foto seorang wanita Sunda, yang disebutnya sebagai sumber amat penting dan memperkuat teorinya itu.
Lelaki dalam foto-foto itu bernama dr. Poch, pemimpin salah satu rumah sakit umum di Pulau Sumbawa Besar. Sosro sempat bertemu langsung beberapa kali dengan Poch, saat bertugas sebagai tenaga kesehatan di kapal Hope yang dijadikan rumah sakit pada 1960.
”Melalui perbincangan tentang masa lalunya dan ciri-ciri fisik, saya semakin yakin Poch bukan orang sembarangan. Saya curiga dialah Adolf Hitler yang misterius itu. Apalagi, dia ditemani seorang perempuan yang menurut saya wajahnya mirip Eva Braun, kekasihnya. Akan tetapi, keyakinan ini saya pendam sangat lama. Hingga saya selesai bertugas di kapal Hope, rasa penasaran itu belum terjawab,” kata pria kelahiran Gundih Jawa Tengah, yang saat itu berusia 63 tahun.
Keyakinan dan sekaligus rasa penasaran Sosrohusodo muncul kembali, setelah lebih dari dua puluh tahun kemudian dia menemukan informasi-informasi baru. Maka dia pun melakukan rekonstruksi pengalamannya, membuka kembali catatan-catatan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sosro benar-benar tertantang untuk mengungkap misteri dr. Poch. Saat itu, dia memperlihatkan sejumlah tulisan yang dibuatnya seperti diktat.
Kaki yang diseret
Dari perjumpaannya dengan Poch, Sosro mengetahui kaki kiri dokter tersebut tidak normal. Jika berjalan harus diseret. Sementara tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong pendek dan hanya tersisa di tengah. Persis seperti yang ditirukan komedian terkenal Charlie Chaplin. Tidak tersisa rambut di kepalanya alias plontos.
Jika benar Poch adalah Hitler, pada saat bertemu Sosro dia berusia 71 tahun. Sebab, Hitler lahir pada 1889. ”Saya kira usianya seperti itu, sesuai dengan penampilan fisiknya. Saya ingat betul kondisi fisiknya, karena bukan hanya sekali bertemu dengannya dan berbicara tentang hal itu,” kata Sosro.
Hal lain yang membuatnya heran, ternyata Poch tidak memiliki ijazah kedokteran, tidak memiliki lisensi apa pun di bidang kesehatan. Akan tetapi, ternyata dia bisa memimpin satu rumah sakit. Sehari-hari Poch sering membungkus tubuhnya dengan seragam putih, pakaian khas dunia kedokteran. Sebagai seorang dokter, Sosro pernah memancing Poch dengan percakapan soal kesehatan.
”Poch ternyata tidak menguasai dunia medis, saya tahu itu. Dari pembicaraannya, dia tidak mengerti soal kedokteran. Ini makin misterius saja. Lalu siapa yang mengangkatnya menjadi pemimpin rumah sakit tersebut. Tentu tidak sembarang orang bisa menjadi pimpinan salah satu lembaga penting seperti itu,” kata Sosro.
Pada satu kesempatan berkunjung ke kediaman Poch, banyak hal dikemukakan dokter tua tersebut yang justru memperkuat dugaan Sosro. Misalnya saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, Poch secara terang-terangan memujinya. Dia juga menolak anggapan terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap orang Yahudi di Kamp Auschwicz. Padahal, dalam sejarah dunia kamp yang satu ini merupakan cerita horor legendaris pada masa kejayaan Nazi.
Poch juga mengaku tidak tahu-menahu, ketika ditanya tentang kematian Adolf Hitler pada 1945 di Berlin. Dia hanya bercerita, keadaan saat itu benar-benar kacau-balau dan setiap orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Poch seperti menghindar jika ditanya terlalu jauh soal sosok Hitler dan sepak terjang Nazi.
Hampir sepanjang perbincangan berlangsung, lelaki tua yang gemar memotret itu mengeluhkan tentang tangan kirinya yang gemetar. Sosro kemudian meminta izin untuk memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan. Demikian pula dengan tenggorokannya sehat-sehat saja. Saat itu, Sosro menyimpulkan kemungkinan ”Hitler” hanya menderita parkinson, berkaitan dengan usianya yang lanjut.
Lalu Sosro berasumsi, kemungkinan penyakit itu muncul karena trauma psikis. ”Dugaan saya langsung diiyakan Poch. Saya kaget juga. Akan tetapi, ketika saya tanya lebih jauh sejak kapan penyakit itu menghinggapinya, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman. ”Penyakit kamu muncul sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu, Goebbels memberi tahu kamu dan kamu memukul-mukul meja,” ujar istrinya seperti ditirukan Sosro.
Siapa Goebbels? Apakah yang dimaksud adalah Joseph Goebbels, wartawan yang banyak membantu gerakan Nazi dan kemudian menjadi Menteri Propaganda pada pemerintahan Hitler? ”Tidak tahu keceplosan atau bagaimana, beberapa kali istrinya memanggil Poch dengan sebutan ‘Dolf’. Apakah ini merupakan kependekan dari ‘Adolf’ atau bukan, saya tidak begitu pasti. Namun, itulah yang saya dengar langsung,” katanya.
PERJUMPAAN Sosrohusodo dengan ”Hitler” diwarnai berbagai kebetulan. Kebetulan pertama, ketika dia bertugas di Kapal Hope. Kebetulan kedua terjadi pada tahun 1981. Setelah lebih dari 21 tahun, pengalaman bertemu dengan Poch terekam dalam benaknya dan dicatat pada buku hariannya, seorang keponakannya datang berkunjung ke Bandung dan memperlihatkan mazalah Zaman edisi No. 15 Januari 1980.
Pada majalah tersebut terdapat sebuah artikel yang ditulis Heinz Linge, bekas orang dekat Hitler, berjudul ”Cerita Nyata Hari Terakhir Seorang Diktator”. Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria. Sambil memperlihatkan majalah Zaman, Sosro menerangkan, dalam tulisan itu Linge menceritakan tentang peristiwa bunuh diri Hitler dan Eva Braun. Kemudian menerangkan tentang kondisi fisik Hitler saat itu.
”Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi Hitler. Semuanya ada kesamaan,” ucap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, ”Beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh. Kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler mulai menderita penyakit kejang urat”.
Di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad tidak membawa keberuntungan bagi tentara Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu. Pada akhir artikel, Linge menulis, ”Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan”.
Semangat untuk mengungkap misteri Poch semakin menggebu di dada Sosrohusodo.
Buku-buku tentang Hitler pun dibaca Sosrohusodo. Perhatiannya selalu tertuju pada alinea-alinea yang menggambarkan kondisi fisik Hitler pada masa-masa akhir kekuasaannya. Sebab itulah kunci yang diharapkan akan membawanya lebih jauh masuk ke dunia Hitler.
Sosro pun segera mengontak kenalannya yang ada di Pulau Sumbawa. Dia memperoleh kabar, Poch sudah meninggal dunia di Surabaya. Namun, beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman bersama seorang anak lelakinya. Poch sendiri kemudian menikah dengan seorang wanita asal berinisial S. Wanita ini adalah karyawan salah satu kantor pemerintahan di Sumbawa.
Setelah Poch meninggal dunia, Nyonya S kembali ke Bandung. Untuk menelusuri keberadaan S, bukanlah perkara mudah. Namun ketekunannya membuahkan hasil, beberapa orang memberi tahu keberadaan wanita tersebut. Ternyata S tinggal di sebuah rumah di kawasan Babakan Ciamis.
”Saya bertanya ke sana sini. Akhirnya ditemukan juga keberadaan S. Pada awalnya dia enggan berbicara lebih jauh tentang Poch. Dia seperti menjaga betul rahasia suaminya itu. S mengaku tidak ingin berurusan dengan persoalan macam-macam, ingin hidup tenang. Tetapi, saya terus membujuknya dan akhirnya mau juga berbicara terus terang,” ujar Sosrohusodo.
Di sela-sela pembicaraanya tentang S, Sosro memperlihatkan foto wanita itu. Juga foto saat perkimpoiannya dengan Poch. Foto-foto tersebut merupakan sebagian dari dokumen yang diserahkan S kepada Sosro. Dokumen lainnya berupa rebewes (SIM) yang bercap jempol Poch, paspor yang diterbitkan dari Jerman, serta buku harian yang sebagian halamannya diisi tulisan steno.
Dari Nyonya S pula diketahui bahwa Poch meninggal pada tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 WIB dalam usia 81 tahun di RS Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Poch dimakamkan keesokan harinya di pemakaman Desa Ngagel. Sayang, Sosro tidak bersedia memberikan data secara terperinci tentang S, termasuk alamatnya secara lengkap.
”Saya ini sudah berjanji kepada Nyonya S untuk tidak mengganggu ketenangannya. Yang penting saya sudah bertemu dengannya dan mendapatkan dokumen berharga. Tetapi kalau Anda mau mencarinya sendiri silakan. Bawa foto ini dan tanyakan kepada warga di Babakan Ciamis,” katanya.
SOSROHUSODO menemukan data menarik dalam buku harian berukuran saku milik Poch. Dalam buku lusuh tersebut ditemukan ratusan alamat orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia. Di berbagai halamannya terdapat coretan tangan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman.
”Lihat ini catatannya. Buku ini banyak berbicara dalam upaya pengungkapan sosok misterius Poch. Memang tidak mudah, tetapi saya tertantang. Mungkin ini hanya soal waktu,” kata Sosro sambil membuka halaman-halaman buku kecil itu.
Memang tidak ada identitas jelas pemilik buku itu. Hanya, ada beberapa kode terdiri atas angka-angka yang tidak jelas maknanya. Pada sampul depan bagian dalam, tertulis kode J.R. KePaD No. 35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor ditandai lambang biologis laki-laki dan perempuan. ”Ini memperkuat dugaan saya, buku itu milik kedua orang yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun. Mereka menutup identitasnya rapat-rapat, tetapi tetap ada celah yang menuntun pada kenyataan sebenarnya,” tuturnya.
Sementara nama-nama negara yang tertulis dalam buku itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Disalah satu halamannya terdapat tulisan yang dalam bahasa Indonesia berarti ”Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti Ny. Kruger. Roma Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina)”.
Lalu, ada satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da Imigration Europa – Genua Val Albaro 38. Secara terpisah, di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Sosro kemudian memperlihatkan majalah Intisari terbitan Oktober 1983, yang memuat sosok Klaus Barbie alias Klaus Altmann, bekas anggota polisi rahasia Jerman zaman Nazi. Di situ tertulis satu alamat Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada 1983, Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada 1947.
”Masih banyak alamat dalam buku ini yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi,” katanya.
Setelah menerima buku catatan harian dr. Poch dari Ny. S, Sosrohusodo bingung ketika harus menerjemahkan bagian yang ditulis dengan huruf steno. Dia bertanya ke beberapa orang yang mengerti soal stenografi. Namun, mereka kurang paham karena model steno itu jarang dipakai pada masa sekarang.
”Akhirnya saya menyurati penerbit buku steno di Jerman, minta bantuan mereka. Selang beberapa waktu kemudian datang jawaban, steno yang contohnya saya kirimkan itu merupakan stenografi Jerman yang sudah ’kuno’. Namanya sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak dipakai lagi,” tutur Sosrohusodo.
Meski demikan, pihak penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli steno Gabelsberger. Ternyata penerbit itu menepati janjinya, dengan mengirimkan terjemahan steno itu ke dalam bahasa Jerman. Lalu Sosro menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Judul catatan itu kurang lebih ”Keterangan Singkat tentang Pengejaran Perorangan oleh Sekutu dan Penguasa Setempat pada Tahun 1946 di Salzburg”. Salzburg adalah nama kota di Austria. Di dalam catatan itu antara lain tertulis, ”Kami berdua, istri saya dan saya, pada tahun 1945 di Salzburg”.
Memang tidak secara jelas diterangkan identitas ”kami berdua” dalam catatan tersebut. Akan tetapi, yang jelas tersirat mereka berdua berada dalam ancaman. Antara lain dikejar-kejar oleh CIC (Dinas Rahasia AS). ”Pokoknya catatan itu menggambarkan penderitaan orang yang diburu pihak keamanan,” tutur Sosrohusodo.
Selain itu, terdapat pula abjad yang ditulis dengan huruf besar secara mencolok. Kalau diurutkan, kemungkinan merupakan rute pelarian keduanya. Huruf-huruf itu adalah B, S, G, J, B, S, R. Menurut Sosro, cara menyingkat tulisan seperti itu merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan. ”Kebiasaan ini ditemukan pula dalam literatur lain yang saya baca,” ujarnya.
Lalu dia menerjemahkan dan mengaitkannya dengan kemungkinan rute pelarian Hitler. Kedua insan itu memulai pelariannya dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo), dan R (Roma). Roma, menurut dia, sebagai kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelarian kedua orang itu. Setelah itu, mereka keluar dari benua tersebut menuju sebuah tempat bernama Pulau Sumbawa.
Sosro membacakan hasil terjemahan dari catatan harian itu, ”Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima surat paspor yang kemudian berhasil membawa kami meninggalkan Eropa”. Keterangan ini sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan, paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir a). Pada catatan buku itu nama Dragnovic dikaitkan dengan Roma.
Sosro kembali memperlihatkan majalah Zaman edisi 14 Mei 1984 ketika membahas tentang Berlin dan Salzburg. Menurut dia, sejarah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler di sekitar Jerman Timur tahun 1945. Kenyataan ini menjadi petunjuk tentang rute pelarian mereka.
Tentang pelarian Hitler, Sosrohusodo menyimpan kisah yang didengar dari masyarakat tempatnya bertugas di Sumbawa. Masyarakat di sana bercerita, pada suatu ketika mereka melihat munculnya kapal selam dari laut yang disusul dengan pendaratan sebuah wahana yang berbentuk bulat.
”Saya mendengar cerita ini dari mulut ke mulut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini ada kaitan dengan kemungkinan larinya Hitler menggunakan kapal selam dari Eropa ke perairan Sumbawa? Tidak begitu jelas. Tapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin,” katanya.
Sosro sangat yakin, orang sebesar dan sepenting Hitler memiliki pengikut setia. Mustahil jika mereka tidak memiliki strategi penyelamatan atas pimpinan tertingginya. Apalagi kemudian diketahui beberapa dugaan terdahulu tentang akhir hidup Hitler, belum ada satu pun yang pasti.
”Jadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin jika pengikutnya memilih Pulau Sumbawa di Indonesia. Sebab saat itu Indonesia boleh dibilang sebagai wilayah yang masih terbuka untuk dijadikan tempat persembunyian. Lokasi Pulau Sumbawa juga begitu jauh dari Benua Eropa,” ujarnya beralasan.
Sosro pun bercerita tentang pengakuan Nyonya S berkaitan dengan hal itu. Suatu hari suaminya mencukur kumisnya mirip dengan kumis Hitler, kemudian S mempertanyakan kemiripan kumisnya itu dengan kumis Hitler. Poch malah mengiyakan bahwa dirinya adalah Hitler. ”Tapi jangan bilang sama siapa-siapa,” begitu Sosro mengutip ucapan Nyonya S.
Sosrohusodo mungkin termasuk orang yang teguh memegang amanah. Hal itu terbukti ketika dia menutup rapat-rapat kepanjangan nama Nyonya S. Dia hanya memberi pintu masuk menuju identitas lengkapnya dalam bentuk foto-foto dan nama tempat Babakan Ciamis.
Setidaknya terdapat dua foto yang menunjukkan hubungan suami istri antara Ny. S dan Poch. Foto yang dibuat di Sumbawa itu disebut Sosro sebagai foto saat keduanya melangsungkan pernikahan di pendopo kabupaten. Penggunaan pendopo sebagai tempat hajatan menunjukkan posisi Poch yang dihormati di kalangan masyarakat setempat.
Pada foto itu terlihat Poch sudah semakin tua, bersetelan jas yang agak kebesaran, kemeja putih berdasi, dan berkacamata. Sementara S mengenakan kebaya putih, berkain batik, dan sanggul beruntai bunga yang jatuh di dada kanannya. Tangan kanannya memegang kipas. Mereka diabadikan dalam posisi berdiri.
Sementara pada foto yang satu lagi, Poch dan S duduk di kursi. Sementara di belakang mereka berdiri tiga pria. Jika senyum tampak tersungging di bibir S, maka di kedua foto itu wajah Poch begitu dingin. Menjelang pernikahan itulah, kata Sosro, konon Poch pindah agama menjadi seorang Muslim. Dia berganti nama menjadi Djamaluddin. Kemudian mereka pindah ke Surabaya.
Namun nama barunya sebagai seorang mualaf itu tampaknya tidak digunakan. Hal itu bisa dilihat pada makam Poch di Pemakaman Umum Ngagel Utara, Jalan Bung Tomo, Surabaya. Pada batu nisannya tertulis nama G. A. Poch. Belakangan saya baru tahu G.A. adalah kependekan dari Georg (tanpa ”e”) Anton.
(Sumber : Berbagai Media Online)