Senin, 19 Mei 2014

Perkembangan Tanjungbalai Dari Masa ke Masa



    1. Masa Kerajaan Pardembanan dan Kesultanan Asahan
  

      Kampung di ujung tanjung itu sejak kepulangan Sultan Iskandar Muda (Raja Aceh 1612 M) darisana hari ke hari semakin ramai dan dikenal masyarakat sekitarnya. Balai tempat menghadap Raja Margolang kepada Sultan Iskandar Muda itupun tetap dipertahankan sampai menunggu lahirnya sang Pangeran yang akan dinobatkan sebagai Sultan I Asahan sesuai perjanjian antara Bayak Lingga (Haro-haro) dengan Sultan Iskandar Muda bergelar Sultan Aladdin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayatsyah "Al Qahhar"), Bayak Lingga datang menghadap bersama kedua abang Puteri Ungu Selendang Awan (Puteri Raja Air Merah-Panai) untuk menjemput sang Puteri yang sedang hamil.

    Kampung ini lama kelamaan berubah menjadi bandar yang ramai tempat bertemunya masyarakat petani yang membawa untuk menjual hasil-hasil hutan dan pertanian dari hulu Sungai Asahan (suku Batak) dan Sungai Silau (suku Simalungun) dengan nelayan, pelaut, dan pedagang dari pesisir Sumatera Timur bahkan Semenanjung Malaysia  (suku Melayu, Bugis, China, dan Arab). Akhirnya dikenal masyarakat dengan Tanjungbalai daerah yang menjadi koloni Kerajaan Aceh dibawah pengawasan Raja Margolang yang berkuasa di sekitar Bandar Pulau (ke hulu Sungai Asahan). 

     Marga “Simargolang” berasal dari Raja Simargolang salah seorang putera dari Ompu Sahang Mataniari. Tarombo marga Simargolang (karena sudah sejak lama dan seluruhnya telah meninggalkan daerah Toba) tidak begitu jelas lagi dalam buku-buku tarombo marga-marga suku Batak Toba tua.

     Menurut hikayat lama adapun Ompu Sahang Mataniari alias Ompu Sahang Matanibulan, adalah paman dari Si Nagaisori yang tercatat dalam buku tarombo sebagai putera dari Sipongki Nangolngolan (Tuanku Rao), masuk ke dalam tarombo marga Rajagukguk (salah satu cabang dari marga Aritonang). Berdasarkan penyelusuran dan penelitian sejarah sebenarnya Margolang masuk marga Sinambela cucu dari Si Singa Mangaraja ke VIII. Kerajaan Margolang awalnya berpusat di Pulau Raja dengan wilayah penyebaran mencakup sebagian Asahan dan sebagian Labuhan Batu, Raja terakhir yang mejadi pemimpin masyarakat ini adalah Raja Marlau.



Situs sejarah dari Raja Simargolang I dan II di Dusun Dolok Maraja, Desa Lobu Rappa, Kecamatan Aek Songsongan dan Raja Simargolang pada keturunan berikutnya sampai ke Kampung Pea atau Kampung Sawah, Desa Marjanji Aceh, Kecamatan Aek Songsongan dan di Dusun Pancuran Raja, Des Rahuning Kecamatan Rahuning, di Kampung Pertandanan, Dusun Titi Putih, Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning. Akhirnya pada keturunan ke V sampai ke Kampung Pertandaan, Dusun Titi Putih, Desa Gunung Melayu.



Disamping komunitas masyarakat Margolang di daerah ini juga ditemukan komunitas masyarakat Nahombang. Hal ini dapat dilihat dari ditemukannya patung-patung Raja Tuan Nahombang di Kampung Parhutaan Gana-Gana, Desa Gonting Malaha Kecamatan Bandar Pulau. Ditambah lagi Gua Silalahi yang juga di Bandar Pulau.



Sementara itu di daerah pinggiran Sungai Silau ke hulunya adalah daerah penyebaran komunitas masyarakat Simalungun. Daerah ini dahulunya dibawah kekuasaan Raja Purba Dasuha hingga dibawah kekuasaan Sitorus Pane. 

Ini dapat dilihat dari situs sejarah Istana Kerajaan Pane di Dusun V Desa Simpang Buntu Pane, Kec. Buntu Pane. Di daerah ini terdapat Batu Pelanggiran (terletak di Padang Makkire perkebunan Ambalutu Buntu Pane). Istana Raja Pane yang pertama dibangun di daerah Tratak, namun tidak diketahui siapa Rajanya dimasa itu. Kemudian dipindahkan ke daerah Padang Makkire pada masa Pemerintahan Raja Pane yang ke V yaitu Raja Nabaruton. Kemudian di bangun di daerah Dusun V Desa Simpang Buntu Pane pada Tahun 1939 oleh Raja Pane yang ke XII yaitu Sitorus Pane yang lebih dikenal dengan Raja Idup Sitorus Pane.


Kerajaan Pane sudah diperintah sebanyak 12 raja, diantaranya Buttu Martabun, merupakan Raja Pane yang pertama, Raja Nabaruton, merupakan Raja Pane yang kelima, Sah Maraja, merupakan Raja Pane yang kesembilan, Marihot Jawa, merupakan Raja Pane yang kesepuluh, Sitorus pane, merupakan Raja Pane yang kedua belas, dan bergelar Raja Idup Sitorus Pane.



Dilihat dari suka berpindah-pindahnya pusat kekuasaan kerajaan kecil ini, menunjukkan bahwa mereka hanyalah kelompok-kelompok masyarakat seketurunan dan seasal yang berekspansi alamiah ke daerah sekitarnya melalui darat ataupun sungai karena kebutuhan hidup yang lebih baik. Juga ditandai dengan belum mempunyai tata kelola kepemerintahan yang baik layaknya kerajaan-kerajaan besar masa itu. Mereka mengangkat pemimpinnya diantara mereka dari tokoh yang dituakan ataupun yang lebih berilmu dan sakti diantara mereka atau keturunannya.



Kerajaan Margolang, Kerajaan Nahombang, dan Kerajaan Pane ketiga kerajaan kecil ini disebut juga dengan Batak Pardembanan (Suku Batak di daerah Asahan). 
                Suku Pardembanan (Suku Batak Islam di Asahan) menarikan tarian daerah

Alkisah lahirlah Abdul Djalil Rahmadsyah sang Pangeran di bawah perlindungan dan asuhan Sukma Diraja (keturunan Perlak kepercayaan dari Sultan Iskandar Muda untuk melindungi Pangeran karena Puteri Ungu sesudah melahirkan diperbolehkan menikah lagi dengan Bayak Lingga). Setelah akil baligh (1630 M) dengan disaksikan oleh Pihak Raja Margolang dan Sultan Iskandar Muda, sang Pangeran dinobatkan menjadi Sultan Asahan I dengan gelar Sultan Tuanku Abdul Djalil Rahmadshah di Balai di Ujung Tanjung. Pusat kekuasaan kala itu masih berada di Bandar Pulau dengan menempatkan keluarga “Bahu Kanan (Abdul Karim, putera Raja Bolon dan Siti Onggu)” dan “Bahu Kiri (Abdul Samad dan Abdul Kahar, putera-putera Raja Bolon dengan Puteri Raja Margolang)” memimpin daerah daerah kecil dan tetap tunduk pada Kesultanan Asahan.

Setelah Raja Bolon meninggal dunia terjadi perebutan kekuasaan di Bandar Pulau. Dengan didukung kakeknya (Raja Margolang), Abdul Samad dan Abdul Kahar (putera-putera Raja Bolon dengan Puteri Raja Margolang) berkuasa dan menjadi Raja di Huta Bayu dan Tanjung Pati melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Asahan bahkan menyerangnya. Sultan Abdul Djalil Rahmadsyah dan pasukannya mundur ke Batubara dan darisana meminta pertolongan ke ayah beliau (Raja Aceh).

Mendapat bantuan pasukan Kerajaan Aceh akhirnya Raja Margolang dan cucu-cucunya (Bahu Kiri) dipaksa damai dengan melakukan perjanjian di daerah Marjanji Aceh (daerah dekat Bandar Pulau).Pada saat itu pula Anak Sukmadiraja dinobatkan menjadi Bendahara di Kerajaan Asahan. 
 
Sultan Abdul Jalil menikah dengan Puteri dari Bendahara Pemangku Raja Bahu (anak dari Sukmadiraja dengan Ompa Liang) yang bernama Aminah dan dikaruniai 5 ( Lima ) orang putera yaitu : Sultan Saidi Syah dan Sri Paduka Raja. Kemudian Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah menikah lagi dengan Tengku Ampuan, puteri dari Tengku Sulung (gelar Marhom Mangkat di Simpang) Raja Panai dan Bilah. Dari pernikahan ini mendapat tiga orang puteri Raja Busu, Raja Marsyah dan Raja Huma Akhirnya beliau meninggal di Pangkalan Sitarak dekat Pulau Raja dan dimakamkan disini (Bersambung).

Selasa, 13 Mei 2014

SEJARAH ASAHAN DAN TANJUNGBALAI



MENELUSURI SEJARAH ASAHAN DAN TANJUNGBALAI  MENDEKATI KEBENARAN


Untuk menelusuri kebenaran sejarah tentang asal-usul bermulanya Kota Tanjungbalai, coba kita mundur jauh di bawah tahun 1612 M tahun dimana Sultan Iskandar Muda menemukan sebuah kehidupan masyarakat di pesisir Sungai Asahan. Mari kita bayangkan hanya beberapa rumah saja yang ada ditepian sungai itu dan letaknyapun saling berjauhan. 

Masa itu Selat Malaka sudah menjadi rebutan sebagai bagian kekuasaan dari kerajaan-kerajaan besar di pesisir Timur Sumatera dan Barat Semenanjung Malaya. Kesultanan Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (masa kekuasaannya dari tahun 1607 s/d 1636) adalah masa-masa yang paling jaya dimana hegemoni kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaya (Perak dan Penang) dan bahkan menikahi Putri Pahang (Putroe Phang) yang sangat dicintainya.

Suatu hari di tahun 1612 M armada laut Kesultanan Aceh yang besar dan kuat yang langsung dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda melakukan pengejaran terhadap armada laut Sultan Johor (dari Semenanjung Malaya) yang mencoba melakukan perjanjian dan hubungan kerjasama melalui ikatan hubungan kekeluargaan antar kerajaan yang telah terbina sejak lama dengan Kerajaan Aur (Langkat) yang notabene termasuk dalam kawasan hegemoni Kesultanan Aceh.

Armada Laut Kesultanan Johor yang dipimpin langsung Sultan Johor mendengar kabar bahwa pasukan Kesultanan Aceh akan menyerang mereka segera kembali ke kapalnya dan lari pulang ke Semenanjung Malaya. Dalam pengejaran Sultan Johor inilah Sultan Iskandar Muda sampai pada sebuah muara yang sungainya lebar, itulah Kuala Bagan Asahan yang sekarang. Untuk beristirahat mereka memasuki sungai yang lebar tersebut menyusuri tepiannya. Sambil beristirahat, senjata-senjata yang mereka bawa perlu diasah supaya teap tajam dan tidak berkarat. Mereka mencoba menggunakan daun-daun rumput yang banyak tumbuh di sepanjang sungai itu yang dapat mengasah senjata mereka. Sejak saat itu mereka menamai sungai itu dengan Sungai Asahan dan kawasan sekitarnya dengan Asahan pada peta mereka. 

Coba kita tinggalkan dahulu Sultan Iskandar Muda bersama pasukannya lagi beristirahat di Sungai Asahan ditengah-tengah pengejaran terhadap Sultan Johor dan pasukannya, sembari mengasah senjata-senjata mereka dengan dedaunan tumbuh liar di sepanjang tepian sungai. 

Kita telusuri dahulu si Sungai Asahan ini sampai melewati Teluk Dalam, Pulau Raja dan Bandar Pulau. Disini masa itu (1612 M) sudah ada komunitas masyarakat yang dipimpin seorang penguasa bernama Raja Margolang. Bandar Pulau merupakan kampung ramai sebagai pusat kerajaan kecil itu, kampung ini terletak di tepian hulu Sungai Asahan, sedangkan Pulau Raja adalah kawasan kekuasaan kerajaan yang dahulunya adalah hutan belukar untuk dimanfaatkan oleh kerajaan dan rakyatnya mengambil hasil-hasil hutan, hewan buruan serta sebagai lahan pertanian dan perkebunan untuk rakyat maupun kerajaan. Sementara itu Teluk Dalam merupakan pelabuhan kecil kerajaan juga pemukiman masyarakat nelayan. 

Hikayat Hubungan Kekerabatan Kerajaan Pinang Awan (Kota Pinang), Kerajaan Air Merah (Panai), dan Asahan


Sebelum kerajaan Asahan berdiri terlebih dahulu telah berdiri kerajaan Pinang Awan. Kerajaan Pinang Awan didirikan oleh Batara Sinomba atau disebut juga dengan Batara Gorga Pinayungan yang berasal dari keturunan Minangkabau, anak dari raja Alamsyah Syaifuddin keturunan raja Adithyawarman yang memerintah di kerajaan Pagaruyung pada abad ke XV Masehi.

Raja Alamsyah Syaifuddin ( Raja Pagaruyung pada masa itu ) mengusir seorang anak kandungnya yaitu Batara Gorga Pinayungan dan anak tirinya bernama Puteri Longgogeni dari negeri itu, karena telah melakukan perbuatan yang tercela melanggar adat istiadat mengawini satu garis turunan langsung ataupun satu marga.

Ketika mereka berdua sedang berkemas untuk meninggalkan negeri tersebut, adik kandung Batara Gorga Pinayungan yang bernama Batara Guru Payung bersikeras untuk ikut serta, tetapi tidak diizinkan oleh ayah mereka Sultan Alamsyah Syaifuddin. Diam- diam Batara Guru Payung ikut juga dengan mereka. 

Mereka bertiga memutuskan untuk berangkat ke Negeri Aceh, karena menurut kabar yang mereka dengar bahwa negeri tersebut adalah negeri yang sangat makmur. Tanpa menunggu waktu lama mereka pun berangkat menuju Utara dan sampai di suatu daerah yang bernama Mandailing, karena beradat dan bersikap baik mereka diterima masyarakat, merekapun menetap sementara ditempat tersebut.

Beberapa waktu kemudian penduduk Mandailing mengetahui bahwa mereka bertiga adalah keturunan raja. Karena daerah Mandailing masa itu belum memiliki raja, bermufakatlah para penduduk untuk mengangkat salah seorang dari mereka bertiga untuk menjadi raja di daerah Mandailing ini. Pilihan mereka jatuh kepada Batara Guru Payung (sang Adik). Karena Batara Guru payung menyetujuinya maka dikawinkanlah dia dengan salah seorang Puteri Mandailing dan dinobatkan menjadi raja Mandailing. Menurut hikayat dari sinilah asal mula raja-raja Mandailing dan keturunannya.

Beberapa hari setelah pengangkatan tersebut Batara Gorga Pinayungan ( Batara Sinomba ) dan Puteri Longgogeni melanjutkan kembali perjalanan mereka untuk ke negeri Aceh dengan dibekali dua ekor kuda dan bekal yang cukup. Ditengah perjalanan sampailah mereka ditepi sungai Barumun. Karena hari telah senja dan sudah lelah maka mereka memutuskan untuk beristirahat ditempat itu. 

Keesokan harinya ketika mereka terbangun dan hendak melanjutkan perjalanan, betapa takjubnya mereka melihat pamandangan di daerah tersebut. Tak jauh dari tempat mereka beristirahat ada sebuah pohon pinang yang sangat tinggi dan indah. Dari rasa takjub akan keindahan daerah tersebut mereka pun bermufakat untuk tidak melanjutkan perjalanan ke negeri Aceh akan tetapi menetap selamanya didaerah itu yang mereka beri nama Pinang Awan. 

Masa mereka itu Pinang Awan hanya ada sekelompok penduduk yang terdiri dari dua marga yaitu marga Daposong dan Tambak. Kedua marga tersebut dikepalai oleh Patoean Hadjoran. Mendengar ada putera dari kerajaan Pagaruyung yang singgah didaerah mereka, maka Patoean Hadjoran mengadakan penyambutan yang meriah, diangkatlah Batara Sinomba menjadi raja di daerah Pinang Awan dengan gelar Sultan (Soetan) Sinomba. 

Dalam perjalanan kepemimpinannya Batara Sinomba menjadi raja yang sangat arif dan bijaksana. Dengan kearifannya dan kepintarannya semakin lama kampung tersebut semakin besar hingga menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Pinang Awan dengan letak pusat pemerintahannya dikenal denan nama Hotang Momo (Hotang Mumuk).

Batara Sinomba kemudian menikah lagi dengan seorang puteri dari Marga Daposong dan dikaruniai seorang Putera yang diberi nama Mangkuto Alam dan seorang anak puteri. Puteranya menjadi raja di Air Merah dengan gelar Sultan Mangkuto Alam dan mempunyai dua orang isteri dan seorang selir. Isteri kedua beliau adalah anak dari raja Angkola. Dari kedua orang isterinya tersebut beliau dikaruniai 3 (tiga) orang putera dan 2 (dua) orang puteri yaitu : Tengku Husin, Tengku Abbas, Tengku Karib, Puteri Ungu Selendang Bulan dan Puteri Medja. Dari selirnya beliau juga dikaruniai seorang putera, dengan kelicikannya berhasil mempengaruhi Raja Air merah untuk mengangkat anaknya sebagai pengganti Raja Air Merah. Tengku Husin dan Tengku Abbas diusir oleh ayahnya dari kerajaan Air Merah yang dikenal dengan nama Kerajaan Panai. 

Tengku Husin dan Tengku Abbas tidak senang dengan hal ini dan membawa ibu mereka (permaisuri yang sah) menghadap Sultan Aceh (Sultan Iskandar Muda pada masa itu) untuk meminta bantuan. Dengan kebijaksanaannya Sultan Aceh mengutus salah seorang Panglimanya Raja Muda Pedir untuk menyelesaikan sengketa di Kerajaan Panai tersebut.
Raja Muda Pedir dengan dibekali armada perang kerajaan Aceh berangkat ke Air Merah, terjadilah pertempuraan disana. Dalam pertempuran tersebut Sultan Mangkuto Alam mati terbunuh di bawah pohon jambu. Dan karena itu beliau diberi gelar Marhum mangkat dijambu. Dengan terbunuhnya Sultan Mangkuto Alam, sengketa pun berhasil diselesaikan. Sebagai hadiah atas bantuan Sultan Aceh tersebut Tengku Abbas dan Tengku Husin beserta ibunya bersepakat untuk menyerahkan kedua orang adik perempuan mereka yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan Siti Medja sebagai hadiah kepada Sultan Aceh untuk dijadikan Isteri.

Kembali kita jumpai Sultan Iskandar Muda dan pasukannya yang sedang beristirahat sambil merawat persenjataannya. Sultan melihat dari hulu hanyut kulit nangka dan beberapa potong tungkul jagung, menandakan di hulu ada berdiam manusia. Ia perintahkan pasukannya untuk menyusuri sungai ke hulu untuk memastikannya. Sampailah mereka di pertemuan dua buah sungai. 

Disini mereka melihat sudah ada beberapa rumah penduduk dan tempat para nelayan menambatkan perahunya. Sultan memerintahkan kepada beberapa prajuritnya dengan bersenjata untuk naik ke daratan dan menjumpai pemuka disitu untuk dibawa ke hadapannya. Dari beberapa penduduk yang mereka tanyakan tidak ada satupun yang mengerti bahasa mereka (bahasa Aceh). 

Dengan bahasa isyarat akhirnya mereka dijumpakan penduduk dengan seorang pintar Haro Haro bernama Bayak Lingga yang bisa mengerti sedikit bahasa Aceh. Akhirnya komunikasipun lancar, merekapun disambut dengan baik. Penduduk kampung ini datang berduyun-duyun menyaksikan sandarnya sebuah Kapal Perang Besar dari Kerajaan Besar Aceh dengan dipimpin langsung Sultan Iskandar Muda yang sudah lama mereka dengar kemasyhurannya. Penduduk melalui Bayak Linggapun meminta mereka dapat beristirahat disini untuk beberapa hari untuk memulihkan kebugaran sambil memuat logistiknya.

Sultan Iskandar Muda memutuskan pasukannya beristirahat disitu karena tak mungkin lagi masuk lebih ke hulu ke tempat pusat kerajaan kecil ini (Bandar Pulau) karena sungai semakin kecil dan mendangkal dan tak dapat dilayari kapal besar mereka. Di Di kapal Sultan Iskandar Muda meminta kepada Bayak Lingga untuk menyampaikan kepada penguasa daerah itu (Raja Margolang) untuk membangun “balai-balai” sebagai tempat menghadap di ujung tanjung itu dan menamai kawasan tersebut sebagai Asahan dan tunduk kepada Kesultanan Aceh. Raja Margolang melalui Bayak Lingga memenuhinya karena takut akan kekuatan pasukan serta kebesaran Kerajaan Aceh yang sudah menghegemoni Wilayah Timur Sumatera bahkan Pantai Barat (Kerajaan Pagaruyung). Bandar di ujung tanjung inilah akhirnya berkembang menjadi Tanjung Balai seperti sekarang ini.

Sementara itu Kerajaan Panai kembali bangkit dan menjadi sebuah kerajaan yang makmur. Tengku Husin dan Tengku Abbas teringat dengan kedua adik perempuan mereka yang berada di Kerajaan Aceh. Karena rasa rindu akhirnya mereka memutuskan berangkat ke Kerajaan Aceh untuk menemui adik perempuan mereka tersebut. Sebelum berangkat mereka singgah ke Asahan untuk mengajak salah seorang pemuka disana yang pernah bertemu dengan Sultan Aceh sebelumnya dan mengerti dengan bahasa Aceh, Bayak Lingga Karo-karo dan ia  setuju untuk menemani mereka menemui Sultan Aceh. 

Setibanya mereka di Negeri Aceh, mereka menemukan banyak pendatang dari luar Aceh yang berdatangan ke negeri tersebut karena disana sedang berlangsung sayembara Sabung Ayam ( Laga ayam ) dengan hadiah yang besar. Sultan Iskandar Muda pun ikut ambil bagian dalam sayembara tersebut karena beliau memang senang. Akan tetapi sangat disayangkan ayam milik Sultan banyak yang mengalami kekalahan dari ayam orang Bugis. Mungkin ini jalan yang diberikan oleh Tuhan, mereka bertiga kemudian mencari beberapa ekor ayam untuk dibentuk dan dilatih sebagai petarung. Orang Air Merah (Panai) masa itu memang terkenal ahli dalam sabung ayam, tidak berapa lama mereka telah memiliki beberapa ekor ayam yang telah dilatih dan siap dilaga untuk diserahkan kepada Sultan Iskandar Muda. 

Sultan Iskandar Muda sangat terkejut dan senang karena ayam pemberian mereka banyak yang mengalami kemenangan dalam sayembara tersebut. Akhirnya setelah melewati beberapa sesi pertandingan ayam milik Sultan Iskandar Muda berhasil menjadi juara dalam sayembara tersebut. Atas jasa mereka itu Sultan Iskandar Muda mengundang mereka bertiga dalam acara Jamuan Makan serta menawarkan hadiah apa yang mereka inginkan.  Mendengar hal ini mereka bertiga memohon waktu untuk bermufakat  dan tak lama kemudian mereka bertiga kembali menemui Sultan Iskandar Muda untuk mengajukan permintaan sebagai hadiah yang ditawarkan oleh Sultan. 

Sultan Iskandar Muda sebenarnya sudah merasa apa yang akan mereka pinta, yaitu meminta kedua orang adik  perempuan mereka yaitu Siti Ungu Selendang Bulan dan Siti Medja untuk dapat dibawa pulang ke Kerajaan Panai. Dengan kearifan seorang Sultan Besar serta teguh dengan janjinya Sultan Iskandar Muda pun mengabulkan permintaan mereka dengan beberapa syarat. Pertama :  Karena pada saat itu Siti Ungu Selendang Bulan sedang mengandung, maka sebelum anak yang dikandungnya lahir dia tidak boleh dikawinkan dengan siapa pun. Kedua : Jika anak yang dilahirkannya tersebut adalah seorang Putera maka anak tersebut harus diangkat menjadi raja di Asahan. Mereka bertiga menyetujui syarat tersebut dan langsung bersiap-siap untuk berangkat pulang ke Air Merah (Panai). 

Sebelum mereka berangkat Sultan Iskandar Muda memberikan dua pucuk surat dan berpesan kepada mereka agar singgah terlebih dahulu di Pasai (Aceh Tamiang) untuk membawa serta anak Sakmadiraja, keturunan dari kampung sungai Tarap Minangkabau. Tujuannya agar menjadi saksi hamilnya Siti Ungu Selendang Bulan dan menjadi pengasuh selama anak tersebut beranjak dewasa. Sedangkan surat kedua ditujukan kepada Raja Pasai agar ia setuju untuk melepaskan anak Sakmadiraja tersebut untuk berangkat bersama mereka. 

Setelah menerima pesan dan dua pucuk surat tersebut mereka pun berangkat melalui lautan dengan disaksikan oleh Sultan Iskandar Muda. Seperti yang dipesankan sebelum menuju kampung halaman mereka singgah ke Pasai terlebih dahulu untuk menyerahkan surat untuk membawa anak Sakmadiraja bersama mereka.
Setelah mereka tiba di Air Merah ((Panai), beberapa bulan kemudian Siti Ungu Selendang Bulan pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdul Jalil Rahmatsyah.


Setelah melahirkan Abdul Jalil Rahmatsyah dan mendapatkan gelar Tengku dari Kesultanan Aceh (sesuai  perjanjian dengan Sultan Iskandar Muda) barulah  Siti Onggu (Siti Ungu Selendang Awan) menikah dengan Bayak Lingga Haro-Haro. Setelah masuk  Islam, Haro-haro ini bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Simargolang dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri. 

Makanya di Kesultanan Asahan keturunannya ada yang bergelar Tengku dan Raja. Untuk bangsawan yang bergelar Tengku adalah keturunan dari T. Abdul  Jalil Rahmadsyah. Sedangkan Raja (Bahu Kanan) adalah keturunan dari Raja Abdul Karim (putera T. Siti Ungu Selendang Bulan dan Raja Bolon/Bayak Lingga Haro-Haro). Dan Raja (Bahu Kiri) adalah keturunan dari Raja Abdul Samad dan Abdul Kahar (putera dari Raja Bolon/Bayang Lingga Haro-Haro yang mengawini Putri Raja Margolang). 

Disamping itu adapula gelar Datuk Muda yang merupakan kerabat istana pemangku jabatan di Kerajaan Asahan.

Cicit Sultan Asahan I yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.

Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.

Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.

Ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.

Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.