ANTARA MEDAN DAN BAROMBANG
Undangan khusus yang disampaikan adinda Reni Hsb (salah satu putri ayahanda
Husnan Hsb) mengadakan pesta aqiqah, mengayunkan serta pesta ulang tahun anak-anak mereka
yang disampaikan melalui Facebook di Grup Keluarga Besar Ibrahim Azhar Hsb adalah mulanya menjadi awal pertimbangan kami berangkat ke Sungai Berombang, kampung halaman tercinta.
Melalui komunikasi yang baru terjalin melaui dunia maya telah mengalami beberapa kali perubahan rencana kenderaan untuk keberangkatan dengan berbagai pertimbangan antara lain, masalah waktu kerja dengan masa liburan, efisiensi, efektifitas, keamanan, kenyamanan, kondisi fisik, dll. Sebelum hari H akhirnya disepakatilah keberangkatan kami kesana menggunakan kenderaan sendiri dari Medan.
Melalui komunikasi yang baru terjalin melaui dunia maya telah mengalami beberapa kali perubahan rencana kenderaan untuk keberangkatan dengan berbagai pertimbangan antara lain, masalah waktu kerja dengan masa liburan, efisiensi, efektifitas, keamanan, kenyamanan, kondisi fisik, dll. Sebelum hari H akhirnya disepakatilah keberangkatan kami kesana menggunakan kenderaan sendiri dari Medan.
Selepas melaksanakan tugas-tugas rutin kantor pada hari Rabu, tanggal 23 Desember 2015
sekitar pukul 16.40 WIB bergeraklah aku sendiri dari rumah mengendarai mobil
dinasku. Tangki minyak telah kuisi penuh cukup untuk sekali perjalanan
menuju Rantau Prapat serta beberapa kaleng minuman ringan bekal diperjalanan.
Dengan ucapan Basmalah kumulai perjalanan "Titian Muhibah" ini.
Sore itu kenderaan di Kota Medan luar biasa ramai dan macat. Waktu normal
yang biasanya dapat ditempuh dari rumah (Pangkalan Mashyur Medan Johor) ke
Tanjung Morawa Simpang Kuala Namu sekitar 30 menit, sore itu kutempuh tak kurang dari 2
jam. Luarbiasa lamanya, ini semua berkaitan dengan libur panjang yang dimulai
esok harinya (Kamis) sampai dengan Minggu (ada waktu libur 4 hari). Kenderaan
umum dan pribadi yang masuk maupun keluar Kota Medan amatlah ramainya, berjalan
merambat perlahan bahkan sesekali berhenti total sampai bermenit-menit setiap
persimpangan yang dilalui.
Tak berbeda dengan arus lalu lintas di jalan besar menuju Kisaran, bising,
ramai dan macat. Inilah suasana abnormal di jalan lintas bila liburan panjang
datang. Volume kenderaan semakin banyak tapi fisik jalan masih begitu-begitu
saja.
Sampai di Kisaran waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih. Aku menuju
kediaman adinda Ely dan Yan Azis
yang memang dilewati bila dari Medan menuju Rantau Prapat, tepatnya hanya
beberapa meter sebelah kanan setelah melewati lintasan kereta api dekat Kantor
Bupati Asahan.
Dalam perjalan tadi sebelum sampai ke Kisaran, adinda Ely ada beberapa kali
menghubungiku melalui handphone sudah berada dimana. Kurasa mereka khawatir aku
ada masalah di jalan atau juga mungkin ragu jangan-jangan perjalanan ini gagal.
Begitu sampai di depan pagar kediaman adinda Ely/Yan Azis, Faraz putera sulung
mereka langsung membukakan pintu pagar dan mempersilahkan uwaknya untuk masuk
beristirahat sejenak. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah tengah malam,
disamping itu sahabatku Arifin Nasution juga sudah menunggu di Simpang Kawat
maka kuputuskan untuk segera melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini.
Adinda Ely bersama dua orang putrinyapun kupersilahkan menaiki mobil dan
kamipun berangkat.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 12 malam tepat sampailah kami di
Simpang Kawat, disana sudah menunggu temanku semasa SMA, Arifin Nst. Dia
diantar temannya naik sepeda motor dari Tanjungbalai untuk menungguku yang akan
melintasi Simpang Kawat. Memang tadi sebelum berangkat dia telah menghubungiku
melalui hp bila tak ada urusan ke Tanjungbalai tak perlu masuk lagi kesana,
biarlah dia yang menunggu di Simpang Kawat. Sebenarnya inilah yang kuhendaki
semula, namun karena aku yang mengajaknya untuk ikut ke Barombang, tak sanggup
pula kuutarakan. Untunglah dia yang menyampaikan sendiri, kalau tidak tersita
juga waktu dan tenaga kesana.
Sekarang kami ada berlima, Arifin yang duduk di bangku sebelahku sepanjang
perjalanan menemaniku mengobrol ngalur-ngidul matapun tidak mengantuk
dibuatnya, berbeda dari perjalanan Medan-Kisaran sebelumnya, dimana hanya musik
dan minuman ringan yang menemani perjalananku. Di Aek Kanopan kami beristirahat
sejenak, perutku yang diisi di Perbaungan sudah mulai minta diisi kembali. Teh
manis dan nasi goreng jadi pengganjal lapar malam itu bekal perjalanan menuju
Rantau Prapat.
Pukul 3.25 WIB dinihari sampailah kami di rumah Pak Ashari Hsb/Ibu Nur, kami
memutuskan bermalam disini untuk beristirahat barang beberapa jam saja. Ibu
Inur, Pak Sari, adinda Diana masih belum tidur menunggu kedatangan kami.
Penghuni rumah lainnya sudah lelap tertidur terbawa ke alam mimpi.
Pagi itu selepas menunaikan sholat subuh, Pak Shari membangunkan kami yang
terlelap dalam tidur karena kecapekan menempuh perjalanan jauh. Buru-buru
kamipun bergegas ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan berwudhuk memburu
waktu sholat subuh karena matahari telah mulai tersenyum di ufuk Timur Rantau
Prapat. Ibu Nur terlihat sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk kami di dapur.
Setelah mandi dan berpakaian kamipun menuju meja makan, sarapan pagi telah disiapkan Ibu Nur dibantu Diana dan Ely. Hidangan dengan nasi panas lengkap dengan lauknya yang baru dimasak kami santap dengan lahap. Teh manis panas menambah kesegaran menu pagi itu. Terimakasih Ibu Nur dan adik-adikku yang telah sibuk sedari tadi mengurusi kami.
Setelah mandi dan berpakaian kamipun menuju meja makan, sarapan pagi telah disiapkan Ibu Nur dibantu Diana dan Ely. Hidangan dengan nasi panas lengkap dengan lauknya yang baru dimasak kami santap dengan lahap. Teh manis panas menambah kesegaran menu pagi itu. Terimakasih Ibu Nur dan adik-adikku yang telah sibuk sedari tadi mengurusi kami.
Setelah sarapan pagi kami berkemas-kemas untuk berangkat menuju Sungai
Berombang. Tas dan bawaan lainnya diperiksa kembali apakah sudah lengkap dan
tidak ada yang tertinggal. Pak Shari kelihatan lebih sering mengingatkan ini
kepada kami dan anak-anaknya yang ikut (Ely dan Diana). Sebentar kami menunggu
Aldi (putera adinda Idah Jimir Hsb) yang mau ikut bersama kami ke Sungai
Berombang karena sedang liburan sekolah (ia bersekolah di Rantau Prapat). Tak
berapa lama Aldi datang diantar pakciknya (Rahim Hsb) naik sepeda motor.
Sebelum itu Pak Iyus (Yusran Hsb) juga datang menjumpai kami menyampaikan bahwa
dia yang semula berencana hendak ikut juga, karena ada halangan pokok yang
tidak dapat meninggalkan pekerjaannya di Ram Sawit Aek Buru Rantau Prapat maka
dengan sangat kecewa dia tak jadi ikut bersama.
Sekitar jam 7.30 WIB kamipun bergerak meninggalkan Rantau Prapat, di sebuah
pomp bensin di kiri jalan besar menuju Si Gambal kami masuk untuk mengisi bahan
bakar jenis premium, tapi kami ditolak karena mobil kami berplat merah (mobil
dinas), diminta untuk mengisi jenis pertamax. Pak Shari menginformasikan
kepadaku untuk isi minyak di Buluh Cina saja yang jaraknya tidak berapa jauh
lagi dari tempat ini, kamipun meninggalkan pomp bensin itu dengan sedikit
menggerutu. Memang sudah lazim setiap SPBU milik Pertamina tidak membenarkan
kenderaan dinas berplat merah mengisi bahan bakar bensin karena bersubsidi,
tapi tidak demikian halnya SPBU yang dikelola oleh swasta hal ini tidak mereka
berlakukan, semua mendapat perlakuan sama.
Benar, ternyata SPBU di Buluh Cina membenarkan mobil berplat merah mengisi
bahan bakar bensin. Padahal seandaipun susah mencari pomp bensin di Labuhan
Batu yang membenarkan kenderaan berplat merah diisi dengan bensin, aku sudah
siap-siap mengganti plat merah dengan plat hitam yang sudah kusiapkan di bawah
jok belakang mobil ini. Sebenarnya ini bukanlah hal terpuji, tapi tindakanku
ini kurasa juga tidaklah salah-salah benar, karena uang untuk mengisi bahan
bakar mobil dinasku itu bukanlah uang dinas tapi dari uangku pribadi.
Kecualilah mobil dinas itu adalah kenderaan operasional yang diberi jatah bahan
bakar dari kantor (dapat berupa uang tunai ataupun DO).
Ahh….tak usahlah dipermasalahkan dan kita ambil pusing, yang penting tujuan
perjalanan harus sampai. Bismillah……kamipun meneruskan perjalanan. Sepanjang
jalan aku, Pak Shari, Arifin, Ely dan Diana tak habis-habisnya bercerita dan
saling berkelakar, kecuali Aldi yang sedari tadi hanya diam membisu duduk di
jok belakang, dia menjadi pendengar saja sesekali kulihat dari kaca spion
interior di depanku. Musik berirama melayu lama kunyalakan pelan, perjalanan
serasa dinikmati dan tak melelahkan.
Sebelum mengisi bbm di Buluh Cina terlebih dahulu mengisi angin keempat ban
mobil dengan tekanan yg disesuaikan dengan beban kenderaan dan jarak serta
kondisi jalan. Di Buluh Cina tangki bbm sudah terisi penuh. Perjalananpun
diteruskan, Arifin minta AC mobil dimatikan sejenak untuk dapat melepaskan
hasratnya merokok barang sebatang.
Sekarang sudah sampai di Aek Nabara, kami memilih jalan memotong sebelah
kiri sebelum sampai simpang Aek Nabara untuk
menghindari kemacetan pajak Aek Nabara bila ditempuh di pagi hari.
Selepas simpang kami membelok ke kiri menuju Utara melintasi jalan Provinsi
Aek Nabara-Tanjung Sarang Elang yg dihot mix sejak awal tahun 80an oleh
kontraktor Korea Selatan Kutdong sebagai pemenang tender. Panjang jalan ini
sekitar 80 Km. Di kiri kanan jalan terhampar perkebunan sawit milik PTPN sampai
Pangkatan, selepas itu adalah perkebunan sawit milik swasta maupun rakyat.
Suatu spesifik kondisi wilayah Labuhan Batu secara umum hampir di seluruh
wilayahnya sampai ke daerah pesisir di Panai sana, padahal dahulu daerah ini
juga kaya dengan tanaman karet, kelapa, padi, dan palawija.
Harga sawit yg pada masa itu sangat tinggi membuat pemerintah dan
masyarakatnya menjadi tergiur merubah tanamannya, bahkan para investor besar
dan kecil dari luar Labuhan Batupun berdatangan mencari lahan disini, harga
tanahpun menjulang tinggi, banyaklah orang-orang setempat menjadi kaya dadakan.
Setiap tahun kuota haji dari Labuhan Batu terus menaik sampai awal tahun
2000an. Bahkan pada masa resesi ekonomi di tahun 1998 Labuhan Batu malah
semakin makmur karena harga sawit membubung tinggi. Showroom kenderaan bermotor
baik sepeda motor maupun mobil, baik di Labuhan Batu maupun di Medan dibanjiri
masyarakat dari Labuhan Batu. Pada masa itu property di Medan hanya diminati
oleh masyarakat dari sini untuk menyiapkan rumah bagi anak-anaknya yg
melanjutkan sekolah ke Medan ataupun sekedar berinvestasi.
Masa itu populerlah di Sumut masyarakat Labuhan Batu masyakat makmur
"pesawit" daerah orang orang kaya baru. Pejabatnya juga menjadi
eksklusif dan bermandi kemewahan. Pusat-pusat perbelanjaan di Medan bahkan
Pekanbaru pada hari hari libur dipenuhi masyarakat dari sini. Bus bus dari
Labuhan Batu ke Medan semakin banyak dan bagus armadanya yg dilengkapi dengan
AC dan TV, begitu pula rangkaian gerbong Kereta Api jurusan Medan-Rantau Prapat
sudah tidak ada lagi kelas Ekonomi, kecuali Bisnis dan Eksekutif.
Kultur
Budaya masyarakat setempat mulai bergeser, tadinya sangat terbuka, ramah,
sosial, peduli dan religius (rural) mulai terkontaminasi budaya hidup perkotaan
(urban) yang konsumtif, egois, modis, glamour, hura hura, siapa lu siapa gua,
prestisius yang makin menjauh dari ajaran agama.
Kami baru saja melewati Desa Pangkatan, di dalam sana di perkampungannya ada
tinggal keluarga dari alm. Wakanda Irwan Nst (saudara omak seibu lain ayah),
anak-anaknya yg telah berkeluarga masih banyak tinggal disana. Wak kami ini (juga
uwaknya Usman
dan Sjachrizal
Indra Mulia Nst) tadinya adalah seorang kepsek SD begitu juga istrinya,
jadi dapat dimaklumi anak-anaknya banyak yg mengikuti jejak mereka. Seorang
puteranya (Ir. Zuflan Nst) tidak di kampung ini tetapi di Sungai Daun-Riau yg
kabarnya menjabat Adm PTPN IV disana.
Bang Zuflan ini juga lahir di Labuhan Bilik dan kami (saya, Usman Nirwan
Nirwan, bang Zuflan) lahir di rumah yg sama (rumah Wakanda Syahminan
Nst/Maimunah, orang tua Sjachrizal Indra Mulia Nst) Seorang puteranya lagi
(Zul) berada di Kuala Tanjung Asahan.
Di pengkolan itu di sebelah kiri terdapat sebuah musholla kecil, di depannya
terdapat makam pendiri musholla tersebut seorang ulama pendidik agama Islam di
kawasan itu, murid dari Tuanku Syech Abd. Wahab Rokan dari Basilam
(Babussalam-Langkat). Makamnya ada suatu keajaiban dimana tanah-tanahnya seakan
tumbuh naik ke atas menyerupai batu-batu nisan kecil di sekeliling nisan
batunya. Subhanallah.
Pada masa kecil dahulu, apabila Bapak (alm. Mohd. Arsyad Hsb) membawa kami
mengunjungi alm. Wakanda Irwan Nst ataupun mau ke Labuhan Bilik/Sungai
Berombang) lewat jalan darat dari Tanjungbalai, kami biasanya naik bus Maslab
tujuan Negeri Lama (ujung jalan raya yang dapat dilalui mobil pada masa itu.
Dari Negeri Lama baru menumpang naik boat film ke Sungai Berombang menyusuri
Sungai Bilah sampai Kuala Barumun.
Untuk dapat menumpang boat ini harus pandai-pandai memperhitungkan waktu,
karena keberangkatannya hanya satu kali sehari. Dari Negeri Lama sekitar pukul
11 siang karena jam 7 malam sudah harus diputar filmnya di Brombang dan dari
Sei. Berombang setelah pemutaran film terakhir di bioskop Ria Brombang (sekitar
pukul 12 malam) sampainya sudah pagi di Negeri Lama.
Begitulah kondisi trasportasi ke Sungai Berombang masa dibawah tahun 80an.
Omak kami paling takut jalan laut, maka itu bila dia ikut tetaplah melalui moda transportasi ini, padahal dari Tanjungbalai ke Sungai Berombang pada masa itu sudah ada Kapal Feri kayu yang membawa barang-barang dan orang, tetapi omak sering trauma dengan ombak dan mabuk laut.
Omak kami paling takut jalan laut, maka itu bila dia ikut tetaplah melalui moda transportasi ini, padahal dari Tanjungbalai ke Sungai Berombang pada masa itu sudah ada Kapal Feri kayu yang membawa barang-barang dan orang, tetapi omak sering trauma dengan ombak dan mabuk laut.
Kembali ke cerita makam "keramat" (masyarakat setempat percaya
dengan karomah syech guru ini). Dahulu bila kesana sudah pasti pula kami dibawa
Bapak berziarah mengirimkan doa dimakam ini, tak lupa mencuci muka dan berwudhu
dengan air dari tempayannya yg sejuk segar.
Setelah Bapak telah tiada, seingat saya baru sekali mampir berziarah kembali
kesini, itupun sudah lama sekali. Ketika kenderaan kami melintasi makam yg
dikeramatkan masyarakat setempat ini tak lupa kuucapkan salam dan berdoa dalam
hati semoga pusaranya dan kaum keluarga sekalian yg telah mendahului dijadikan
Allah sebagai taman-taman syurga jannatul firdaus. Aamiin.
Dari kaca spion kulihat Arifin sudah mulai gelisah karena hasrat merokoknya
kembali kambuh. Diana, Ely asik dengan pesawat hpnya. Pak Syari yg duduk di
sebelahku mulai nampak mengantuk dan tak banyak lagi bicara.
Sekitar pukul 10 pagi kamipun memasuki kota Negeri Lama, benar...negeri yang
benar-benar lama. Negeri ini dahulu adalah pusat sebuah Kerajaan Melayu kecil
Kesultanan Bilah. Sultan pertamanya bergelar Tengku adalah salah seorang putera
dari Raja Pinang Di Awan (Kota Pinang), seorang puteranya lagi diberikan daerah
baru membuka Kerajaan Panai.
Jejak-jejak
sejarah kerajaan ini sudah hampir tak berbekas dibantai revolusi sosial ditahun
1946 dahulu. Istana sudah rata dengan tanah berganti dengan pasar (pajak)
begitu pula dengan mesjid sultannya. Hanya beberapa makam leluhur yg masih
berdiam kaku di halaman mesjid tua itu menjadi saksi bahwa disini dahulu ada
sebuah dinasti mata rantai sejarah Labuhan Batu.
Saat ini perjalanan kami baru saja
melintasi jembatan panjang Sungai Bilah Negeri Lama. Jembatan ini sebenarnya
bukanlah di atas Sungai Bilah (masih sekitar 300 m lagi disisi kirinya bila
memasuki Negeri Lama), melainkan Sungai Merah yg bermuara ke Sungai Bilah.
Dahulu, sebelum jembatan baru ini
dibangun jembatan lama letaknya lebih rendah maka tak heran bila musim
penghujan tiba ketika Sungai Bilah dan Sungai Merah meluap tak ayal jembatan
lama alamat karam tenggelam. Para penumpang bus dan kenderaan pribadi yang mau
ke Negeri Lama atau lebih ke hilir lagi terpaksa naik perahu penyeberangan
sebagai pekerjaan musiman penduduk setempat.
Dengan berdirinya jembatan baru ini
hal seperti itu sudah jarang terjadi kembali. Demikian pula halnya di daerah
Sennah dan Lubuk Sona yang telah kami lewati sebelum memasuki Negeri Lama ini.
Dahulu disana sebelum dibangun tanggul dan benteng disisi kiri dan kanan jalan,
sudah menjadi langganan tahunan badan jalannya tenggelam dilanda air Sungai
Bilah dari sisi kiri dan air Sungai Merah dari sisi kanan yang meluap. Inilah
yang membuat kondisi jalan disini pada waktu dahulu tidak pernah baik,
berlubang-lubang bagaikan kolam sepanjang tahun.
Untuk mengatasi masalah itu
Pemerintah Provinsi Sumut telah meninggikan badan jalan dan dibangun
menggunakan semen beton (cor) berpondasi rangka besi sepanjang lebih kurang 1
Km.
Keluarga sepupuan Omak banyak
tinggal di daerah sini. Abang kami Unjung (putera Maksum abang sepupu Omak)
rumahnya di sebelah Mesjid Besar Sennah. Disini juga ada Ramlan yang masih
kerabat Omak dan juga keluarganya Arifin Nst, rumahnya berdekatan dengan mesjid
setelah rumah besar milik seorang pengusaha keturunan India, dan masih banyak
yang lainnya lagi. Semasa kanak-kanaknya dahulu Omak bersama Andong (Ibu dari
Omak) dan uwak-uwak kami lainnya pernah tinggal disini.
Kampung ini sejak dahulu bila musim
penghujan tiba dan banjirpun datang panen padi di ladangpun gagal. Tapi terbuka
pintu rejeki yang lain. Ikan-ikan darat (air tawar) yang bersumber dari
lubuk-lubuk di hutan sekitarnya berkeluaran sampai ke halaman rumah penduduk.
Merekapun mendapat rezeki musiman dengan menjala ikan limbat dan sejenisnya.
Hasilnya sangat berlimpah sehingga dapat dijual dikirim ke luar daerah,
sebagian diawetkan dengan cara dikeringkan dengan pengasapan (sale) yang sangat
digemari oleh maayarakat Sumatera Utara dan harganya cukup mahal.
Kita tinggalkan Sennah dan kembali
ke Negeri Lama. Saat berada di atas jembatan itu kulayangkan pandanganku ke
sisi kiri, terlihatlah Sungai Bilah yang saat itu sedang naik pasang, airnya
menuju ke hulu. Terbayanglah olehku dulu ketika air sungai ini memerah tandanya
musim gamak tiba. Gamak adalah sejenis ikan teri air tawar (tali-tali) yang
hidup berkelompok pada suatu musim karena kondisi iklim, tanah dan air suatu
daerah. Bila musim gamak tiba maka berpestalah penduduk Negeri Lama, tua muda
turun ke sungai menjaring gamak cukup dengan kain saja. Ikan gamak yang
berlimpah dijual memakai kaleng bekas tempat susu (muk) dijadikan pergedel,
pepes dan lainnya. Inilah ikon Negeri Lama Si Kota Gamak.
Bila melintasi Negeri Lama
sebelumnya aku sering mampir makan. Ada dua rumah makan disini yang sering
kukunjungi karena menyediakan menu khas pesisir Labuhan Batu seperti anyang
ayam kampung, gulai asam ikan baung dan sumbilang, udang galah goreng, gulai
lomak udang dan ranjungan, dll.
Kutawarkan pada Pak Syari, Arifin,
Ely, Diana dan Aldi untuk singgah disalah satu rumah makan itu, namun mereka
menolak dengan alasan masih belum lapar karena masih pagi (jam menunjukkan
hampir jam 10 pagi). Kata Diana, di Sungai Berombangpun dapat kita buat itu.
Baiklah nanti disana biarlah aku mencari bahan-bahannya, mereka yang masak
niatku dalam hati. Kamipun meneruskan perjalanan.
Dari dalam mobil ketika sedang
menyetir dengan ekor mataku kusempatkan melihat Kedai si Meko di simpang
sebelah kiri menuju tangkahan Sungai Bilah. Disinilah dahulu pangkalan terakhir
bus Maslab dan Bilah Pane sebelum ada jalan raya sampai ke Tanjung Sarang
Elang. Dahulu disinilah tangkahan boat tambang yang membawa film ke Sungai
Berombang.
Selepas itu kami melewati beberapa
pintu ruko, beberapa diantaranya adalah milik beberapa saudara sepupu Omak
seperti alm. Wak Jabbar. Ketika aku mampir beberapa tahun yang lalu kedai ini
masih dilanjutkan oleh anak dan menantu perempuannya.
Di kota tua ini cukup banyak sanak
saudara dari pihak Omak. Ibu Hj. Sulmi wanita hebat dari Kisaran (terkenal
sebagai Ibu PKK yang pintar masak, jahit dan rias) istri Drs. H. Syarkawi
mantan Walikotif Kisaran pertama adalah puteri Negeri Lama (keponakan Omak,
puteri Kepala Desa Pekan Negeri Lama masa dahulu). Sebagian sanak saudara kami
itu masih tinggal disini, namun sayang setelah generasi berganti banyak sudah
yang saling tidak mengenal karena jarangnya bertemu. Ini disebabkan tradisi
saling mengunjungi keluarga bekeluarga yang dekat maupun jauh sudah semakin
menipis kalaupun tak boleh disebut sudah tak ada lagi. Pada pesta keluarga
jikalaupun datang hanya sebatas menghadiri undangan tanpa tegur sapa dan
bercengkerama mempererat silaturahim. Begitupula bila ada masa kemalangan di
salah satu keluarga yang datang hanyalah sebatas keluarga yang biasa dikenal
saja.
Ini merupakan kesalahan berjamaah
keluarga-keluarga kita terdahulu, kita kurang bersilaturahim saling menjenguk
sanak saudara dekat dan jauh, komunikasi juga tak terbina dengan baik.
Inilah salah satu yang kupujikan dan
kubanggakan dari alm. Bapak, dia selalu membawa aku dan adik-adikku bila
mengunjungi sanak saudara baik jauh maupun dekat, baik pihak Bapak maupun Omak.
Dalam kamus hidupnya seakan ada slogan "Tidak boleh ada keluarga yang
tidak bersitandaan".
Sikap hidup almarhum sedikit ada
juga mengalir dalam jiwaku, bila ada waktu dan kesempatan mengunjungi keluarga
yang tempatnya jauh dan jarang bertemu. Ada perasaan puas, senang dan gembira
bila sudah bertemu melepaskan kerinduan.
Herannya mengapa anak-anakku terlalu sulit untuk
kuajak serta, mereka lebih tertarik ke tempat-tempat wisata, mall ataupun
restoran. Anak-anak sekarang lebih tertarik membina pertemanan daripada
persaudaraan apakah itu teman seangkatan, sepermainan, sehobi, sepekerjaan,
dsb. Hubungan mereka ini sebenarnya semu sebatas adanya kepentingan dan
kebutuhan satu dan lainnya. Ada faktor "take and give" disana. Bukan
karena keikhlasan seperti yang diajarkan Islam dan dipraktekkan orang-orang tua
dahulu, tangan kanan memberi tangan kiri tak tahu, cubit di kiri kanan terasa.
Bercerita tentang Negeri Lama dahulu
lebih kurang setahun sebelum aku ada di dunia sekitar tahun 1963. Terjalinlah
kisah percintaan yang terlarang antara seorang perjaka putera Sungai
Berombangbernama Muhammad Arsyad Hasibuan (30 thn) bekerja sebagai PNS di
instansi Bea Cukai bertugas di Labuhan Bilik dengan seorang gadis muda belia
berumur 16 menjelang 17 tahun bernama Nurhani Ritonga rekan sejawat sang
perjaka sama-sama bertugas di Pos Bea dan Cukai Labuhan Bilik. Mereka bekerja disana
dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, si pria dari pendidikan SD
(waktu itu SR) dan si gadis dari latar pendidikan SMP.
Sang gadis belia ini sudah menjalin
hubungan cinta surat menyurat dengan seorang guru bernama Thamrin sahabat
abangnya satu ayah lain ibu Syarifuddin Ritonga yang berprofesi sebagai guru
juga (terakhir beralih status menjadi Peg. Bea Cukai di Medan dan meninggal
disana sekitar tahun 2010 lalu).
Walaupun sudah mendapat persetujuan
keluarga kedua belah pihak (Thamrin-Nurhani Ritonga) dan didukung abang tiri,
sang gadis goyah juga hatinya pada jejaka rekannya sekantor yang setiap hari
mengganggu dan menyampaikan hasrat hatinya secara tulus untuk membawanya ke
mahligai rumah tangga.
Cinta terlarang ini mendapat
rintangan dari pihak keluarga wanita yang tak menyetujui hubungannya dengan
jejaka Sungai Berombang ini. Berbeda dengan keluarga pihak sang pria, mereka
malah mendukung dan memberikan support. Ayah sang jejaka (atok Ibrahim Azhar
Hsb) adalah seorang Tuan Kadhi di Sungai Berombang yang kharismanya dikenal
masyarakat Panai dari Hilir sampai ke Hulu. Sang ayah menyampaikan kepada
putera ketiganya itu (seorang kakak sulungnya Mardiah Hsb dan abangnya M. Samin
Hsb sudah lebih dahulu berumah tangga) bila hatinya sudah tetap untuk membina
rumah tangga pada gadis idamannya itu dan juga disetujui sang gadis, bawalah ia
ke negeri lain yang jauh dari Panai (Labuhan Bilik) sehingga cukup syarat untuk
mencari wali hakim disana, bawa suratku ini jumpai dan serahkan langsung pada
Tuan Kadhi disana, kata sang ayah.
Dengan mengatur strategi bersama
sang gadis dan dibantu beberapa teman serta kerabat dekat si pria (mengingatkan
dan baca kembali kisah Japarimpunan Hsb melarikan kekasihnya Nauli Lubis yang
kutulis terdahulu dalam "SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA), kalau mereka
ini menggunakan sampan dayung dua (kiri dan kanan pakai tiang di tengahnya).
Tujuan mereka adalah Negeri Lama.
Subuh itu perahu dayung mereka membelah Sungai Barumun depan Labuhan Bilik
menuju kuala Sungai Bilah, dari sini mereka menyusuri Sungai Bilah menuju ke
hulu (kalau Japarimpunan dkk dari hulu Barumun ke hilirnya). Secara bergantian
5 orang lelaki dalam perahu itu mengayuh pendayung, kebetulan mengikut arus
yang sedang naik pasang.
Pendek cerita setelah menempuh perjalanan lebih
kurang sehari semalam sampailah mereka di Negeri Lama, dilangsungkanlah akad
nikah pernikahan mereka di depan Wali Hakim dan saksi-saksi dari pihak keluarga
kedua belah pihak yang hadir. Untuk meredam kemarahan keluarga pihak wanita,
diinapkanlah mereka di rumah abang sepupu sang gadis yang tinggal disana
(Jabbar dan Maksum) didampingi kerabat-kerabat lain yang mendukung pernikahan
mereka ini. Akhirnya setelah semuanya reda dan kondusif, kembalilah mereka ke
Sungai Berombang dan dipestakan secara meriah (pakai Orkes Dendang Barumun) di
rumah atok Ibrahim Azhar Hsb.
Melewati Negeri Lama jalan terasa semakin menyempit, bila berpapasan dengan
kenderaan besar harus lebih berhati-hati, bila tidak bisa bersenggolan atau
jatuh ke beram jalan. Para pengendara sepeda motor juga kurang disiplin dalam
berlalu lintas, mereka belum tentu menepi bila dikasi kode klakson untuk
dilalui, mereka juga memotong kenderaan dengan seenaknya saja tanpa menyalakan
lampu sein bahkan terkadang menyalip kenderaan di depannya tanpa memperhitungkan kecepatan ataupun kenderaan yang datang
dari arah berlawanan.
Inilah gambaran umum budaya berlalu lintas kita di Sumatera Utara terutama
di daerah pinggiran. Biasanya mereka ini adalah para remaja yang masih duduk di
bangku SMA bahkan SMP. Nah ketika ia melanjutkan sekolah ke Medan kebiasaan ini
terbawa-bawa karena jalan lebih baik dan lebar. Kukaji-kaji ada juga
kemungkinannya inilah yang menyebabkan jalan-jalan di Medan penuh dengan
pemakai jalan yang tidak tertib berlalu lintas. Banyak mahasiswa-mahasiswa asal
luar Medan membawa sepeda motornya kemari, ditambahi lagi para supir angkot dan
abang beca yang berasal dari luar daerah seperti Tapanuli dan sekitarnya yang
terbiasa tidak tertib di jalan, ugal-ugalan dan semau gue, tidak mengerti atau
tidak mau tahu akan perlunya menjaga budaya antri, tertib berlalu lintas dan
mendahulukan orang lain. Padahal tabiatnya ini dapat menyebabkan bahaya bagi
diri sendiri ataupun orang lain. Kala bertemu simpang, tak perduli dengan lampu
traffic Light yang menyala. Lampu merah diterobos, mencuri jalan orang lain,
membunyikan klakson disaat yang tak perlu, dll yang menjengkelkan hati.
Setelah melewati Sungai Tampang semakin banyak rumah-rumah ibadah umat
Kristiani kulihat di kiri kanan jalan. Ini menunjukkan bahwa eksistensi kaum
pendatang dari daerah lain terutama Tapanuli sudah sangat tinggi di Labuhan
Batu ini. Pada masa di bawah tahun tahun 80an pemandangan seperti ini sangat
langka. Inilah salah satu dampak terbangunnya akses transportasi ke Labuhan
Batu pesisir ini, banyak masyarakat pendatang yang ingin "mencoba
nasib" membuka lahan-lahan tidur baik secara legal maupun ilegal bertanam
padi maupun kelapa sawit. Tadinya mereka ini adalah pekerja-pekerja kasar yang
mengambil upahan di ladang, buruh-buruh kilang, buruh angkutan (truk, bus,
beca, boat, dll). Melihat prospek yang begitu menjanjikan di tanah Labuhan Batu
ini merekapun membawa keluarganya bahkan kerabatnya dari kampung sana untuk
bermigrasi kesini.
Satu
yang perlu diperhatikan pemerintah dan aparat hukum pada "daerah
baru" ini biasanya bila kaum pendatang dimana umumnya kehidupannya lebih
baik dari penduduk asli setempat (pendatang biasanya lebih ulet dan bekerja
lebih keras agar survive) maka akan rentan terhadap kecemburuan sosial. Hal-hal
sepele bisa saja meluas menjadi keributan dan perkelahian massal antar
kelompok. Inilah yang sering kudengar terjadi di daerah ini.
Tanpa terasa kini kami sudah
melintasi Simpang Ajamu setelah melewati beberapa Kecamatan mulai dari Rantau
Utara, Bilah Hulu (Pangkatan), Bilah Hilir (Negeri Lama), sekarang sudah
memasuki Kecamatan Panai Hulu. Banyak sudah desa-desa Labuhan Batu Induk yang
kami lalui, mulai dari Sigambal, Desa Buluh Cina, Aek Nabara, Desa Pangkatan,
Desa Senna, Desa Kampung Bilah, Desa Tanjung Haloban, Desa Sei. Tampang, Desa
Selat Besar, Desa Sei Kasih, Desa Sungai Tarolat, Desa Negeri Baru, Desa
Sidomulyo, dll.
Kami kini sudah sampai di ujung
jalan hotmix lintas Aek Nabara-Tanjung Sarang Elang. Sejak dibukanya jalan ini
sekitar awal tahun 80an terbukalah akses hubungan ke Pesisir Labuhan Batu
semakin ramailah wilayah ini dengan masuknya para pendatang yang tinggal
menetap disini Pendatang-pendatang ini mayoritas berasal dari daerah Tapanuli
dan sekitarnya.
Di ujung jalan Tanjung Sarang Elang
itu mobil kuhentikan untuk beristirahat sejenak. Mobil lalu kumasukkan pada
tempat penyimpanan mobil yang ada di sebelah kanan jalan (sebelumnya kami telah
melewati penyimpanan kenderaan "Tangkahan Amerika". Di daerah
tangkahan besar Tanjung Sarang Elang ini kebetulan pengusahanya masih dikenal
oleh Pak Syari dan masih ada hubungan keluarga. Aku berfikir lebih baik
menyimpan mobil disini selanjutnya menggunakan perahu boat menyeberang ke
Sungai Berombang, aku khawatir jalan di daerah lewat simpang Meranti Paham dan
Sungai Rakyat kondisi jalannya amat parah. Apalagi sekarang sedang musim
penghujan.
Kusampaikan pada Pak Syari untuk
menawar boat yang bisa dicarter di tangkahan itu untuk mengantar kami sekali
jalan saja dari Tanjung Sarang Elang ke Sungai Berombang, kutahu pastilah
sedikit banyaknya dia mengenal atau tanda pada orang-orang yang ada disitu.
Negoisasipun berlangsung dengan harga awal kuminta Pak Syari menawarnya
duaratus ribu rupiah. Ini sudah kuperhitungkan sedari tadi, kuhitung bila naik
boat tambang penyebarangan dari Tangkahan Tanjung Sarang Elang ke Labuhan Bilik
(seberang Tanjung Sarang Elang) tarif perkepala enamribu rupiah, kemudian
dilanjutkan dari Labuhan Bilik ke Sungai Berombang (berjarak hanya sekitar 12
Km) bila naik RBT (ojek) tarifnya berkisar tigapuluh lima ribu rupiah perorang.
Sementara kami ada enam orang, berarti (6 x Rp. 6.000,-) + (6 x Rp. 35.000,-) =
Rp. 246.000,-. Masih untung sekitar limapuluh ribu rupiah, lagi pula tidak
perlu bersusah payah naik mobil dengan medan yang berat kesana.
Ditengah negoisasi mereka, kulihat
Arifin Nst disana sudah menurunkan semua bawaan kami dari mobil dan menjaganya
sambil duduk melepas lelah di sudut pinggir jalan itu sambil menghela sebatang
rokok yang sedari tadi didendamnya. Ditemani Aldi mereka bercengkerama berdua.
Di pojokan, Diana dan Ely sibuk pula berfoto-foto mengabadikan kenangan mereka
saat tiba di ujung jalan pada ujung tanjung ini. Akupun diajak untuk foto
bersama, kupanggil juga Arifin untuk ikut berfoto bersama mengabadikan kenangan
bahwa kami pernah bersama dalam satu perjalanan disini, di ujung jalan ini.
Balai-balai yang dibangun di sisi
kanan tangkahan penyeberangan Tanjung Sarang Elang itu menarik hati kami untuk
berfoto disana, karena dari sana terlihat hamparan luas Sungai Barumun dengan
permukaannya yang tenang berwarna kecoklatan dan Pulau Sikantan yang hijau
serta latar belakang kota Labuhan Bilik penuh dengan gedung-gedung penangkaran
walet memutih sayup-sayup terlihat di seberang sana.
Kuajak Arifin kesana, tapi dia
menolak karena sedang menjaga barang-barang bawaan kami (ada beberapa tas
berisi pakaian) bersama Aldi. Lalu kutawarkan dia untuk minum di warung kopi
yang ada disitu tapi kulihat dia seakan ada keraguan untuk sembarang makan atau
minum di daerah situ, akupun memakluminya. Tak berapa lama Ely datang
membawakan minuman dan makanan ringan pada kami semua.
Pak Syari kulihat masih bernegoisasi
dengan tekong boat, kelihatannya masih belum deal. Sedari tadi kuperhatikan
memang Pak Syari agak berat hatinya bila kami menyeberang menggunakan boat
tambang ke Sungai Berombang langsung ataupun melalui Labuhan Bilik dan
disambung naik RBT ke Sungai Berombang. Dalam hatinya dapat kubaca, alangkah
lebih baik bila perjalanan diteruskan saja menggunakan mobil ke Sungai
Berombang. Pada sesiapa yang diketahuinya mengetahui kondisi jalan kesana kerap
ditanya olehnya apakah melalui HP menghubungi Himpun Hsb (putera sulung Ismail
Banda Hsb) ataupun orang-orang yang ditandanya di sekitar Tangkahan Tanjung
Sarang Elang.
Akupun menyadari itu, tapi
mempertimbangkan kondisi jalan serta jauhnya perjalanan bila dibandingkan
dengan menyeberang saja, karena rute jalan semakin melambung melintasi Desa
Tanjung Sarang Elang, Desa Ajamu, Desa Sei Sentosa, Desa Teluk Sentosa, Simpang
Desa Meranti Paham, Desa Cinta Makmur, Desa Cina Kasih, Desa Sungai Rakyat dan
Desa Cabang Dua. Padahal dengan menyeberang kesemua desa-desa itu akan
terpangkas jaraknya. Sambil menunggu Pak Syari melanjutkan negonya dengan kode
dariku bila mereka mau duaratus limapuluh ribu terima saja, kuajak Diana dan
Ely berfoto sama lagi. Karena orang ketiga harus mengambil kameranya maka hanya
aku dan Diana serta Diana dan Ely yang dapat difoto saat itu.
Pak Syari datang menghampiri, ia
memberi tahu kami kalau pihak mereka tidak mau kurang dari tigaratus ribu
rupiah. Aku sebenarnya tidak keberatan tapi kulihat raut muka Pak Syari seperti
tidak senang dengan sikap mereka itu yang tak mau bertoleransi. Kulihat Pak
Syari sedikit emosional karena tidak merasa dihargai sebagai putera daerah sini
juga. Pura-pura tidak kuketahui perasaannya itu kukeluarkan mobil yang
kebetulan diminta si empunya penitipan untuk digeser karena mobil di depan mau
dikeluarkan dahulu baru mobil kami masuk menggantikan posisi mobil tersebut.
Bukannya menggeser saja malah kuminta pada
Arifin untuk menaikkan kembali tas-tas kami dan semua naik untuk melanjutkan
perjalanan via darat ke Sungai Berombang. Dari percakapan Pak Syari tadi yang
menghubungi beberapa orang yang telah melintasi jalan ini baru-baru ini
kudengar kondisi jalan baik, ada beberapa ruas jalan yang tadinya sempat
dikhawatirkan telah diperbaiki dan sebagian telah digreder dengan pengerasan.
Dengan ucapan Basmalah mobil kupacu kembali.
Dari Tangkahan Besar Tanjung Sarang Elang mobil kuputar ke belakang kembali menuju
Simpang Ajamu yang ada di sebelah kiri, berjarak lebih kurang 800 M (kalau kita
menuju ke Aek Nabara). Letak Pekan Ajamu itu lebih kurang 2 Km dari simpang
kedalam.
Setelah melewati Pekan Ajamu kami bertemu dengan pabrik Pengolahan Kelapa
Sawit (PKS) milik PTPN IV Perkebunan Ajamu, lalu kami membelok ke kiri (desa
Muara Sentosa) kira-kira 400 M kedepan akan mendapatkan simpang tiga (kalau
lurus bisa sampai ke Desa Meranti Paham) kami membelok kiri lagi dan bertemu
simpang tiga, lalu ke kiri lagi baru mengikuti belokan ke kanan.
Perjalanan kami kini dikiri kanannya adalah perkebunan sawit milik
Perkebunan Ajamu dan diselingi pemukiman penduduk tak berapa lama setelahnya
jalan beraspal hotmixpun berakhir, berganti dengan jalan tanah merah
berpengerasan batu padas namun terlihat dalam keadaan baik karena baru
diratakan (digreder). Disebelah kiri kami berbaris rumah-rumah penduduk Desa
Teluk Sentosa yang tampak rumah-rumahnya penuh debu bermandikan tanah merah
berasal dari debu jalanan yang diterbangkan angin bila dilewati kenderaan,
terutama dari truk-truk pengangkut sawit perkebunan milik PTPN, swasta maupun
masyarakat yang ada di sekitarnya juga dari Sungai Rakyat, Labuhan Bilik, dan
Sungai Berombang bahkan Panipahan dari Riau sana.
Sementara disebelah kanan kami terhampar perkebunan sawit milik PTPN IV
Perkebunan Ajamu, tak lama setelahnya kamipun sampai di simpang ke Desa Meranti
Paham (bila terus), kami mengarah ke kiri menuju jembatang panjang Sungai
Rakyat (lebih kurang 4 Km dari simpang ini).
Perkebunan Ajamu baru saja kami tinggalkan, sekarang kami melintasi
pemukiman penduduk dan perkebunan milik swasta maupun masyarakat. Rumah-rumah
disana belum dialiri listrik dari PLN, syukurnya pemerintah membantu dengan
memberikan bantuan listrik bertenaga battery ataupun solar cell (tenaga
matahari) untuk penduduk disana.
Dari bentuk, bahan dan ukuran rumah penduduk disana dapat diprediksi bahwa
tingkat kehidupan masyarakat daerah itu sudah cukup baik. Mereka kebanyakan
adalah pendatang dari sekitar daerah Labuhan Batu itu ataupun sekitarnya
seperti Asahan dan Tapsel juga Jawa, sedangkan masyarakat Tapanuli kurang
diterima oleh masyarakat setempat. Kebanyakan dari mereka membuka perladangan
sawit ataupun menjadi penampung buah sawit yang dibeli dari masyarakat pekebun
sawit daerah itu.
Sekarang sampailah kami di atas jembatan kebanggaan masyarakat pesisir
Labuhan Batu ini. Panjangnya lebih kurang 375 M dengan lebar 4 M (panjang tapi
kurang lebar), dibangun sekitar pertengahan tahun 1990an bersumber dari dana bantuan
pusat APBN pada APBD Provinsi Sumatera Utara. Jembatan besi ini pada masa
awalnya berlantai kayu yang mudah rapuh termakan sengatan matahari dan hujan,
apalagi sering dilintasi kenderaan-kenderaan bermuatan besar.
Dahulu jembatan terpanjang di Sumut ini (sebelum dibangun jembatan Tabayang
-Tanjungbalai Sungai Kepayang) pernah menelan korban jiwa balita berumur 5
tahun, Riska merupakan putri dari pasangan suami istri, Ipur,45, dan Risma,42,
warga Dusun Sungai Cina Desa Sei Rakyat Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten
Labuhanbatu itu bersama ibunya sedang melintas dengan berjalan kaki di jembatan
itu jatuh terperosok di lobang jembatan dan hanyut ditelan arus Sungai Barumun
di bawah jembatan (sumber Sumut Pos, 10 April 2012).
Selepas kejadian itu atas prakarsa DPRD Labuhan Batu untuk meningkatkan
kwalitas fisik jembatan yang kian mengkhawatirkan, beberapa perusahaan
perkebunan yang berada di zona dan memanfaatkan jembatan Sei Rakyat, Panai
Hulu, Labuhanbatu secara swakelola perbaikannya. Perbaikan fisik lantai
jembatan Sei Rakyat tersebut melibatkan enam perusahaan yang menjalankan
bisnisnya di sekitar lokasi tersebut. Sumbangan yang mampu terkumpul saat itu
berjumlah sekitar Rp 221 juta.
Di antara perusahaan tersebut, PT HPP menyumbang hampir 25 persen dari dana
yang terkumpul. PTPN 4 kebun Panai Jaya sebesar 25 persen, PT CSM sebesar 15
persen, PT Milano 15 persen. PT Linggatiga Sawit 10 persen, PT PATI 5 persen
dan ditambah sumbangan dari masyarakat sebesar 5 persen.
Penggalangan dana tersebut dimotivasi Elya Rosa Siregar, Ketua DPRD
Labuhanbatu. Bahkan sebelumnya, menurutnya, pihak DPRD Labuhanbatu juga telah menyurati pihak Pemkab Labuhanbatu agar memperhatikan kondisi
jembatan tersebut. Sehingga mendapat perhatian dari pihak Pemprovsu.
Perbaikan fisik jembatan dengan peningkatan mutu dan kwalitasnya sudah
mendesak untuk segera dilakukan sebelum ambruk atau memakan korban selanjutnya.
Jembatan tersebut satu-satunya prasarana penghubung jalan darat dari Kecamatan
Panai Hulu ke Kecamatan Panai Tengah dan Panai Hilir bahkan Panipahan (daerah
Provinsi Riau Daratan) atau sebaliknya. Dengan baiknya jembatan ini diharapkan
pengangkutan sumber daya alam yang dihasilkan dari daerah-daerah tersebut akan
kian mudah untuk dilakukan.
Sebelum itu diawal-awal jembatan ini baru selesai dioperasionalkan, saat
masyarakat pesisir Labuhan Batu ini baru saja menikmati terbukanya akses darat
dengan adanya jembatan ini, suatu ketika ambruk karena salah satu tiangnya
dihantam kapal tongkang pengangkut balok-balok kayu milik Haji Zulkifli (Zul)
seorang pengusaha HPH asal Tanjungbalai. Pengusaha ini adalah salah satu
perambah hutan-hutan di daerah pesisir Labuhan Batu hingga Labuhan Batu
kehilangan hutannya yang terkenal dengan kayu merantinya begitu pula dengan
binatang-binatang rimbanya seperti rusa, harimau, beruang, dll.
Sekarang
hanya tinggal kenangan dan belakangan tanah-tanah eks hutan Labuhan Batu ini
dikelolanya menjadi perkebunan kelapa sawit hasil persekongkolan dengan
aparatur pemerintah dan hukum, baik pusat maupun daerah. Malah sekarang
pengusaha ini membuka “ram” tempat menampung buah-buah sawit rakyat di dekat
pangkal jembatan ini (Desa Sungai Cina). Sekarang beliau adalah seorang
milyarder di Tanjungbalai. Bagaimana perhatiannya terhadap daerah tempatnya
menambang kekayaan ini?
Ingatanku kembali kemasa-masa jauh sebelum jembatan Sungai
Rakyat ini ada. Masaku kecil dahulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar,
bila berkunjung ke kampung kelahiran juga kampung kedua orang tuaku ini alat
transportasi penghubung ke daerah ini satu-satunya adalah melalui air dari
Sungai Asahan menuju ke Selat Malaka dan dari Selat Malaka dimana pada
musim-musim tertentu bergelombang besar. Dahulu selain menumpang pada boat-boat pembawa
ikan milik juragan jermal Sungai Berombang ataupun Tanjungbalai, ada juga waktu
itu kapal penumpang KM. Mujur yang menarik gandengannya bermuatan kayu papan
dan beroti dari Desa Gajah Mati (Panai Tengah), tapi waktunya tidak setiap hari
ada. Masa itu perjalanan bias ditempah bias sampai sehari semalam tergantung
dengan arus air dan cuaca. Sungguh suatu perjalanan yang sangat melelahkan dan
beresiko.
Haluan ditujukan ke muara Sungai barumun lalu masuk makin ke dalam menuju ke salah satu tanjung di sisi kiri kuala ini yang penuh dengan pohon berombang, itulah Sungai Berombang, bila lebih kehulunya kira-kira berjarak 12 Km dari sini melewati sebuah tanjung yaitu Tanjung Lumba-Lumba itulah Labuhan Bilik yang di tengahnya antara Labuhan Bilik dan Tanjung Sarang Elang terdapat Pulau Sikantan.
Haluan ditujukan ke muara Sungai barumun lalu masuk makin ke dalam menuju ke salah satu tanjung di sisi kiri kuala ini yang penuh dengan pohon berombang, itulah Sungai Berombang, bila lebih kehulunya kira-kira berjarak 12 Km dari sini melewati sebuah tanjung yaitu Tanjung Lumba-Lumba itulah Labuhan Bilik yang di tengahnya antara Labuhan Bilik dan Tanjung Sarang Elang terdapat Pulau Sikantan.
Masa-masa itu di kuala Barumun ini bila air laut lagi pasang
aku kerap melihat berpasang-pasang ikan lumba-lumba saling berkejaran dan
berlompatan di depan ataupun disisi boat yang kami tumpangi. Air lautnya
terlihat bening biru kehijauan, sesekali ikan terbang kecil ataupun ikan timah
masuk terlempar ke boat terbawa hempasan ombak dibelah laju haluan boat
bermesin itu. Burung-burung camar
mengejar ombak yang ditinggalkan buritan kapal, disana burung-burung
camar itu mengintai ikan-ikan yang mabuk karena digulung pusaran air oleh
putaran kipas di bawah boat, lalu mereka sambar dengan menukik tajam
menjatuhkan paruhnya ke air. Di kejauhan di atas sana berpasang-pasang pula
burung elang mengintai ikan-ikan yang sedang berenang-renang mencari makan di
laut yang bening, bila ikan-ikan ini agak naik kepermukaan niscaya cakar tajam
dan kokoh si burung elang akan datang menyambar mereka. Dari gambaran itu
menunjukkan perairan ini kaya dengan
ikan pada masa itu karena airnya belum tercemar juga alat tangkap nelayan tidak
sedahsyat sekarang.
Jermal-jermal berjejer tertancap gagah di kedalaman birunya laut Selat Malaka sejak memasuki perairan Tanjung Siapi-Api sampai lewat perairan Tanjung Leidong, berjarak kira-kira 10 mil dari pantai. Masa itu kayu-kayu panjang sebagai bahan untuk membuat jermal-jermal ini masih mudah didapatkan dari hutan-hutan di pesisir Labuhan Batu. Sejak hutan Labuhan Batu digunduli para penebang legal dan illegal perlahan hilanglah jermal dari perairan Selat Malaka. Jermal adalah tempat menangkap ikan yang didesain juga sebagai tempat tinggal untuk sementara bagi para pekerja dan pengawasnya. Biasanya mereka tinggal berbulan-bulan disini, hasil yang mereka dapat biasanya diasinkan dan dijemur dihamparan lantai jermal itu. Teri, udang pukul, cumi-cumi kering adalah produksi utama jermal, hasil mereka ini sudah ada yang menjemput dalam waktu tertentu yang sudah dikemas dalam keranjang-keranjang bambu. Umumnya jermal ini dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa baik dari Tanjungbalai, Tanjung Leidong, Sungai Berombang maupun Panipahan.
Sudah biasa di jermal ini para tokeh menempatkan pengawas jermalnya adalah dari kerabatnya sendiri dan memelihara anjing untuk turut menjaga jermal dan juga sebagai perlindungan dirinya sendiri. Tak jarang pula hewan ini membuang kotoran dan kencing di hamparan jemuran hasil tangkapan tersebut.
Jermal-jermal berjejer tertancap gagah di kedalaman birunya laut Selat Malaka sejak memasuki perairan Tanjung Siapi-Api sampai lewat perairan Tanjung Leidong, berjarak kira-kira 10 mil dari pantai. Masa itu kayu-kayu panjang sebagai bahan untuk membuat jermal-jermal ini masih mudah didapatkan dari hutan-hutan di pesisir Labuhan Batu. Sejak hutan Labuhan Batu digunduli para penebang legal dan illegal perlahan hilanglah jermal dari perairan Selat Malaka. Jermal adalah tempat menangkap ikan yang didesain juga sebagai tempat tinggal untuk sementara bagi para pekerja dan pengawasnya. Biasanya mereka tinggal berbulan-bulan disini, hasil yang mereka dapat biasanya diasinkan dan dijemur dihamparan lantai jermal itu. Teri, udang pukul, cumi-cumi kering adalah produksi utama jermal, hasil mereka ini sudah ada yang menjemput dalam waktu tertentu yang sudah dikemas dalam keranjang-keranjang bambu. Umumnya jermal ini dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa baik dari Tanjungbalai, Tanjung Leidong, Sungai Berombang maupun Panipahan.
Sudah biasa di jermal ini para tokeh menempatkan pengawas jermalnya adalah dari kerabatnya sendiri dan memelihara anjing untuk turut menjaga jermal dan juga sebagai perlindungan dirinya sendiri. Tak jarang pula hewan ini membuang kotoran dan kencing di hamparan jemuran hasil tangkapan tersebut.
Jermal sebagai alat tangkap ikan menggunakan katrol yang
ditarik beramai-ramai dengan tangan dimana jaring dengan ukuran mata tertentu
ditaruh dibawah lantai jermal. Apabila air laut pasang jaring ini diturunkan
dan bila air surut maka jaring ditarik pakai katrol tangan itu. Ikan-ikan akan
masuk mengikuti arus yang sudah dipancangi tiang-tiang dari jauh berates-ratus
meter jaraknya menuju rumah jermal. Begitulah cara tangkapnya, sederhana dan
manual. Ditiang-tiang jermal ini banyak dipenuhi dengan binatang laut yang
hidup menempel seperti teritip dan kemudi kapal (kerang hijau). Masa itu banyak
nelayan pencari buah laut ini, mereka adalah nelayan-nelayan yang tahan dalam
waktu yang lama menyelam di air laut, mencabuti buah laut ini ditiang-tiang
jermal yang tertancap di kedalaman laut. Sejak jermal sudah hilang dari
perairan Asahan dan Labuhan Batu maka buah laut inipun mulai langka ditemukan
di daerah ini.
Sekarang
model jermal bergerak malah menjadi trend penangkap ikan modal besar di kawasan
ini. Dua buah kapal besar bermesin bertenaga besar digandeng menarik
dibelakangnya jaring bermata halus yang panjang dan lebar sampai kandas ke
dasar laut (lumpur) menggunakan katrol bermesin (trawl). Sepasang kapal
bermesin ini hilir mudik di zona yang tidak jauh dari pantai sehingga para
nelayan tradisional menjadi terganggu. Ikan-ikan besar dan kecil sampai kerang
dan kepah di lumpur dasar lautpun ikut naik terjaring trawl ini. Dimana
pengawasan pemerintah?
Inilah periode hancurnya perairan Asahan dan Labuhan Batu bahkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bibit-bibit ikan bahkan terumbu karang hancur luluh lantak. Ikan terubuk sebelum masuk ke Sungai Barumun untuk menetaskan telurnya ke hulu sungai sudah dihadang trawl di muara. Jikapun lolos sepanjang perjalannya menuju hulu banyak pemangsa-pemangsa mengintai (nelayan) menggunakan jaring bermata halus yang tidak dibatasi besar matanya seperti masa Kolonial dahulu. Air sungai dan lautnyapun sudah tercemar dengan banyaknya perahu-perahu dan kapal bermesin, penggundulan hutan mangrove di sepanjang pesisirnya, pembuangan limbah beracun dari hulu sungai, limbah-limbah rumah tangga dan pasar yang dibuang seenaknya ke sungai, dll. Tak ayal dalam waktu tak terlalu lama lagi akan punahlah ikan khas Panai ini jika tidak ada yang mau perduli akan hal ini.
Inilah periode hancurnya perairan Asahan dan Labuhan Batu bahkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bibit-bibit ikan bahkan terumbu karang hancur luluh lantak. Ikan terubuk sebelum masuk ke Sungai Barumun untuk menetaskan telurnya ke hulu sungai sudah dihadang trawl di muara. Jikapun lolos sepanjang perjalannya menuju hulu banyak pemangsa-pemangsa mengintai (nelayan) menggunakan jaring bermata halus yang tidak dibatasi besar matanya seperti masa Kolonial dahulu. Air sungai dan lautnyapun sudah tercemar dengan banyaknya perahu-perahu dan kapal bermesin, penggundulan hutan mangrove di sepanjang pesisirnya, pembuangan limbah beracun dari hulu sungai, limbah-limbah rumah tangga dan pasar yang dibuang seenaknya ke sungai, dll. Tak ayal dalam waktu tak terlalu lama lagi akan punahlah ikan khas Panai ini jika tidak ada yang mau perduli akan hal ini.
Sampai dengan akhir tahun 70an bila kami mau ke Sei.
Berombang dan Labuhan Bilik hanya dua moda transportasi yang selalu kami
gunakan, kalau tidak menumpang pada boat-boat besar milik tokeh (juragan)
Tanjungbalai/Sei. Berombang (seperti boat si Ucin tokeh turunan Cina pemilik
kilang minyak makan, jermal, boat penangkap ikan, dll dari Sei. Berombang yang
salah satu tekongnya bernama si Kok Kheng) atau juga naik KM. Mujur tapi
tujuannya Labuhan Bilik, karena kapal ini tidak sandar di Sungai Berombang. Bila
naik boat tumpangan seringkali harus menyinggahi beberapa jermal di tengah laut
untuk memuat barang (baik naik maupun turun) milik juragan yang sama (pemilik
boat dan jermal).
Bila kami menumpangi KM. Mujur, dari Labuhan Bilik setelah mengunjungi beberapa kerabat dekat disana (seperti Wak Ipah, Wak Guru Mudi/Wak Unten, Wak Aspan, dll) setelah menginap barang semalam disana barulah kami dijeput oleh kerabat dekat dari Sungai Berombang menggunakan perahu dua dayung (didayung secara berdiri).
Pada masa itu Sungai Berombang-Panai belum dapat ditempuh berkenderaan dari darat kecuali dengan berjalan kaki atau bersepeda itupun baru dapat ditempuh pada musim kemarau.
Bila kami menumpangi KM. Mujur, dari Labuhan Bilik setelah mengunjungi beberapa kerabat dekat disana (seperti Wak Ipah, Wak Guru Mudi/Wak Unten, Wak Aspan, dll) setelah menginap barang semalam disana barulah kami dijeput oleh kerabat dekat dari Sungai Berombang menggunakan perahu dua dayung (didayung secara berdiri).
Pada masa itu Sungai Berombang-Panai belum dapat ditempuh berkenderaan dari darat kecuali dengan berjalan kaki atau bersepeda itupun baru dapat ditempuh pada musim kemarau.
Waktu perjalanan menggunakan perahu dayung ini bila mengikuti arus dari Sungai Berombang ke Labuhan Bilik atau sebaliknya dapat ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam saja, oleh sebab itu keberangkatan harus disesuaikan dengan keadaan air laut. Bila dari Sungai Berombang menuju Labuhan Bilik harus ketika air laut mulai naik pasang karena arusnya sedang menuju ke hulu (Labuhan Bilik letaknya agak lebih ke hulu Sungai Barumun daripada Sungai Berombang yang berada di hilir di Kuala Sungai Barumun). Tetapi bila dari Labuhan Bilik ke Sungai Berombang harus ketika pasang mulai surut ataupun ketika sedang surut, karena arus akan menuju ke laut (hilir).
Alm. Wak Udin Hrp bersama anaknya Bang Bahder ataupun Bang Anan (Kakek dan uwak Khairul Harahap) sering menjeput kami masa itu ke Labuhan Bilik dengan perahu dayung mereka dari Sungai Sakat (di sebelah kiri rumah alm. Wak Udin Hrp/Mardiah Hsb) di Sungai berombang. Mereka sudah mendapat kabar yang disampaikan Bapak melalui tekong atau anggota boat dari Tanjungbalai ke Sungai Berombang yang dikenal Bapak untuk disampaikan kepada kerabat kami disana agar mereka mengetahui bahwa kami pada waktu yang ditentukan sudah berada di Labuhan Bilik dan minta dijeput pada waktu yang ditentukan pula. Masa itu alat komunikasi ke Sungai Berombang selain lisan langsung ataupun berperantara dapat melalui surat (dapat ditiitipkan pada yang dikenal atau melalui Kantor Pos dan telegram yang dikelola oleh Kantor Pos saja).
Berbeda halnya bila kami menumpang boat si Ucin, karena tujuannya langsung ke Sungai Berombang, bila waktu ketibaan kami sudah dekat niscaya kami sudah ditunggu beberapa keponakan Bapak (abang-abang sanak Bapakku) di tangkahan untuk membawakan barang-barang bawaan kami ke rumah yang dituju. Biasanya yang menjeput kami adalah anak-anak dari Wak Udin Hrp/Mardiah Hsb, seperti Bang Bahder, Bang Anan terkadang juga bersama Pak Jimir Hsb (adik Bapak). Mereka-mereka itu semua saat ini telah tiada mendahului kita. Semoga Allah SWT menempatkan mereka di tempat terbaik disisiNYA dan menjadikan kuburannya sebagai taman-taman sorga Jannatul Firdaus. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Pada waktu itu belum ada sepedamotor dan beca disini apalagi mobil disana, jalan dari Pekan Sungai Berombang ke Sungai Sakat desa tempat bermukimnya sebagian besar keluarga dari pihak Bapak sempit sekali diatas tanah liat (lempung), banyak pula melewati sungai kecil yang hanya dihubungkan oleh jembatan papan berlobang-lobang ataupun sekedar jembatan dari batang-batang kelapa saja. Bila pada musim penghujan akan sangat sulit untuk dilalui, jalan-jalan akan dipenuhi bangkar (pelepah tua) kelapa untuk menutupi jalanan yang becek atau kita memilih melalui akar-akar kelapa yang banyak terdapat disisi-sisi jalan kecil itu.
Lebih susah lagi bila menggunakan boat, bukan saja arus tapi ketinggian air juga sangat menentukan. Air yang sedang surut (timpas) sama sekali tidak akan dapat lepas dari tangkahan (tempat boat itu ditambatkan), harus menunggu air mulai naik pasang. Bila kubayangkan masa dahulu itu sungguhlah sangat susahnya transportasi untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain di daerah ini, maka tak heran bila pada masa itu banyak keluarga yang jarang bertemu. Bila sudah bertemu akan saling bertangis-tangisan sambil berpelukan, demikian juga bila tiba saat berpisah maka kata-kata perpisahan yang mendokan kedua belah pihak semoga sehat-sehat dan selamat-selamat disana serta meminta untuk datang menjenguk kembali bila ada kesempatan, mereka saling berpelukan dan bersitangisan (bila wanita akan mengusap dengan ujung kerudungnya, bila pria mengusap air matanya dengan ujung kemejanya).
Disamping nenek, ada beberapa kakak/kakak ipar Bapak yang paling kuingat sangat penangis dan banjir air mata ketika melepas kami kembali, seperti Wak Mardiah, Wak Inur Samin, Wak Unten (Panai), dll. Torehan kenangan masa kecilku ini sering kuingat sampai seumurku ini. Walaupun suasananya sulit tidak seperti sekarang tapi sangatlah indah dan penuh keakraban. Sepanjang jalan menuju rumah tempat tujuan sewaktu datang dan menuju tangkahan sewaktu kembali, kami kerap ditegur sapa masyarakat sekitar dikiri dan kanan (semua adalah kerabat dan mengenal keluarga alm. Bapak). Tak jarang Bapak akan menghentikan langkahnya dan menyalami keluarga yang menegur itu, mereka bertegur sapa barang sejenak baru kemudian meneruskan perjalanan kembali. Suara sapaan mereka yang keras dari balik jendela ataupun pintu yang terbuka di atas rumah panggung itu terdengar jelas dan melengking, menahan laju langkah kami di jalanan kecil berlumpur itu. Terkadang adapula yang menawarkan singgah untuk minum barang sejenak di rumahnya. Jika ini sewaktu datangnya tidak menjadi masalah, tapi bila pada sewaktu kembali menuju tangkahan boat tumpangan andai dipenuhi tak ayal waktu akan tersita banyak, sementara perjalanan boat ditentukan kondisi pasang surutnya air laut. Terlambat berarti kami harus rela ditinggalkan untuk bermalam kembali disini. Hal seperti inilah yang menjadi alasan Bapak untuk menolak secara halus tawaran mereka penduduk Sungai Sakat itu khususnya dan Sungai Berombang umumnya yang sangat ramah-ramah, akrab dan penuh persaudaraan itu.
Seingatku dimasa itu sekitar tahun 70an, dari keluarga dekat
saudara-saudara alm. Bapak yang memiliki perahu kayu berpendayung dua ini ada
tiga keluarga, yaitu alm. Atok Ibrahim Azhar Hsb, alm. Wak Samin Hsb dan Alm.
Wak Udin Hrp. Pada masa itu mesin-mesin kecil seperti mesin Yanmar, Kubota,
Mistsubishi, Yamaha, dll untuk perahu kecil dengan tenaga kecil (TS) belum ada
beredar dipasaran domestik, hanya mesin-mesin besar dengan tenaga besar (PK) untuk
boat-boat besar pula yang ada pada waktu itu. Barulah sejak tahun 80an
perahu-perahu kecil sudah menggunakan mesin kecil, begitu pula di Sungai
Berombang. Suatu waktu pernah pula Alm. Bapak punya sebuah boat kecil bermesin
TS ini yang diusahakan oleh Alm. Pak Jimir Hsb di Sungai Berombang dengan nama “Putera
Berombang” (nama adikku laki-laki yang nomor 7 dan mengingatkan asal kampung halaman).
Bila musim tanam atau musim panen tiba, mereka pergi ke ladang
yang berada di seberang Sungai Berombang di daerah Sungai Pegantungan di
sekitar Sungai Nireh ataupun agak ke ujung tanjung Kuala Barumun di sekitar
Sungai Botol, mereka mempergunakan perahu dayung ini bersama seluruh keluarga
lengkap dengan perbekalan selama di ladang. Bila musim ke ladang tiba maka sunyi
sepilah Sungai Berombang sekitarnya, sekolahpun turut sepi seakan libur
fakultatif karena sebagian guru dan siswanya beramai-ramai sudah mandah ke
ladang. Malah kampung perladangan yang tadinya bagai “tempat jin buang anak”
tak berpenghuni sontak menjadi ramai dan riuh dengan suara-suara orang tua,
remaja dan anak-anak di gubuk-gubuk mereka maupun di areal sawahnya sedang
menanam padi ketika musim tanam atau mengetam padi ketika masa panen tiba.
Sawah disana adalah sawah tadah hujan yang masa tanam dan panennya hanya setahun sekali. Berasnya terkenal harum dan pulen. Bila musim panen telah tiba kami di Tanjungbalai sanapun sering mendapat kiriman “beras baru”, yaitu beras hasil ladang sanak saudara kami di Sungai Alm. Bapak sangatlah gembira bila ada menerima kiriman seperti ini. Beraspun dimasak Omak dengan sayur dan lauk pauk kegemaran Bapak.
Disamping itu Alm. Bapak juga ada menerima bagian dari hasil panen dari tanah ladang warisannya yang dibagi hasilkan dengan keluarga lain yang mau mengusahakannya. Hasilnya memang tidak seberapa tetapi kebahagiannya terasa sungguh luar biasa. Disinilah salah satu nikmat berkeluarga dan bersaudara dimasa dahulu itu, semua saling ingat, rasa merasakan, peduli dan mau tahu. Walaupun kami jauh tapi kami tetap merasa bahagian dari mereka, kami tak pernah merasa ditinggalkan baik dalam duka maupun suka.
Sawah disana adalah sawah tadah hujan yang masa tanam dan panennya hanya setahun sekali. Berasnya terkenal harum dan pulen. Bila musim panen telah tiba kami di Tanjungbalai sanapun sering mendapat kiriman “beras baru”, yaitu beras hasil ladang sanak saudara kami di Sungai Alm. Bapak sangatlah gembira bila ada menerima kiriman seperti ini. Beraspun dimasak Omak dengan sayur dan lauk pauk kegemaran Bapak.
Disamping itu Alm. Bapak juga ada menerima bagian dari hasil panen dari tanah ladang warisannya yang dibagi hasilkan dengan keluarga lain yang mau mengusahakannya. Hasilnya memang tidak seberapa tetapi kebahagiannya terasa sungguh luar biasa. Disinilah salah satu nikmat berkeluarga dan bersaudara dimasa dahulu itu, semua saling ingat, rasa merasakan, peduli dan mau tahu. Walaupun kami jauh tapi kami tetap merasa bahagian dari mereka, kami tak pernah merasa ditinggalkan baik dalam duka maupun suka.
Bila
musim ke ladang tiba janganlah pergi ke Sungai Berombang, ini pesan Alm. Bapak,
karena orang-orang semua pada ke ladang, tak ada yang dapat dijumpai disana
lagi saat-saat seperti itu. Makanya kebiasaan Alm. Bapak bila hendak berkunjung
kesana membawa kami semua pastilah disesuaikan dengan musim ini, yaitu menunggu
sampai musim panen selesai dan masyarakat Sungai Berombang serta seluruh sanak
saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
Saat-saat seperti ini sangatlah indahnya, rak-rak dilangit-langit dapur, lumbung bahkan kolong rumah penuh dengan gabah (padi yang belum dijemur dan masih bertangkai) hasil yang dibawa dari ladang dimuat diperahu bersama keluarga. Baunya yang khas semerbak mengitari rumah masing-masing penduduk disitu. Tikus dan binatang pengerat lainnya turut pula menikmati rahmat Allah ini. Tupai terlihat berlompatan di batang daun kelapa di belakang, di samping dan di depan rumah penduduk Sungai Sakat itu. Ketam merah yang biasanya ramai muncul dari lubang-lubang mereka di bawah kolong rumah dan di halaman, sejak saat itu lubang mereka banyak tertutupi tikar sebagai alas menjemur padi di halaman rumah-rumah.
Indahnya lagi, apabila musim panen tiba maka di Sungai Berombang, Labuhan Bilik, Ajamu, Meranti Paham dan daerah sekitarnya menikmati musim terubuk pula. Di Labuhan Bilik dari Telaga Suka panen pula “nenas Panai” yang terkenal manis dan rapuh itu. Subhanallah, betapa indahnya masa dahulu itu. Allah SWT melimpahkan rezeki dan kebahagiaan bagi penduduk Sungai Berombang sekitarnya dari hasil darat dan laut yang melimpah. Inilah yang sering diimpi dan dirindukan oleh Alm. Bapak yang pergi merantau ke negeri lain meninggalkan kampung halamannya.
Apabila saat-saat seperti ini kami kebetulan sedang berada disana alamatlah tawaran makan bersama di rumah para kerabat dan sanak saudara tidak akan pernah putus kepada kami sampai kami pulang kembali ke Tanjungbalai. Ikan terubuk yang disombam (dibakar) dijepit pada bilah batang daun nipah diletakkan pada tungku pembakaran dari tandan buah nipah pula di bawah paying rimbunan dedaun kelapa yang menari-nari bersiul-siul diterpa angin diatas kami. Proses “penyombaman” terubuk ini dikerjakan pihak anak-anak lelaki ahli bait di halaman belakang rumah. Anak-anak gadis menyiapkan bumbu untuk meramu anyang ayam dan anyang daun buas-buas, ibu-ibu menyiapkan gulai asam ikan mayung dan ikan sumbilang serta gulai lomak ikan pari diasapi lengkap dengan terongnya. Aroma nasi beras baru dari periuk di atas tungku berkayu api itu diterbangkan angin laut sepoi-sepoi dari dapur sampai ke teras rumah panggung itu. Ya Allah masa lalu adalah masa yang paling jauh yang tak mungkin kembali lagi, ijinkanlah kenangan ini kuingat selalu dalam hidupku.
Saat-saat seperti ini sangatlah indahnya, rak-rak dilangit-langit dapur, lumbung bahkan kolong rumah penuh dengan gabah (padi yang belum dijemur dan masih bertangkai) hasil yang dibawa dari ladang dimuat diperahu bersama keluarga. Baunya yang khas semerbak mengitari rumah masing-masing penduduk disitu. Tikus dan binatang pengerat lainnya turut pula menikmati rahmat Allah ini. Tupai terlihat berlompatan di batang daun kelapa di belakang, di samping dan di depan rumah penduduk Sungai Sakat itu. Ketam merah yang biasanya ramai muncul dari lubang-lubang mereka di bawah kolong rumah dan di halaman, sejak saat itu lubang mereka banyak tertutupi tikar sebagai alas menjemur padi di halaman rumah-rumah.
Indahnya lagi, apabila musim panen tiba maka di Sungai Berombang, Labuhan Bilik, Ajamu, Meranti Paham dan daerah sekitarnya menikmati musim terubuk pula. Di Labuhan Bilik dari Telaga Suka panen pula “nenas Panai” yang terkenal manis dan rapuh itu. Subhanallah, betapa indahnya masa dahulu itu. Allah SWT melimpahkan rezeki dan kebahagiaan bagi penduduk Sungai Berombang sekitarnya dari hasil darat dan laut yang melimpah. Inilah yang sering diimpi dan dirindukan oleh Alm. Bapak yang pergi merantau ke negeri lain meninggalkan kampung halamannya.
Apabila saat-saat seperti ini kami kebetulan sedang berada disana alamatlah tawaran makan bersama di rumah para kerabat dan sanak saudara tidak akan pernah putus kepada kami sampai kami pulang kembali ke Tanjungbalai. Ikan terubuk yang disombam (dibakar) dijepit pada bilah batang daun nipah diletakkan pada tungku pembakaran dari tandan buah nipah pula di bawah paying rimbunan dedaun kelapa yang menari-nari bersiul-siul diterpa angin diatas kami. Proses “penyombaman” terubuk ini dikerjakan pihak anak-anak lelaki ahli bait di halaman belakang rumah. Anak-anak gadis menyiapkan bumbu untuk meramu anyang ayam dan anyang daun buas-buas, ibu-ibu menyiapkan gulai asam ikan mayung dan ikan sumbilang serta gulai lomak ikan pari diasapi lengkap dengan terongnya. Aroma nasi beras baru dari periuk di atas tungku berkayu api itu diterbangkan angin laut sepoi-sepoi dari dapur sampai ke teras rumah panggung itu. Ya Allah masa lalu adalah masa yang paling jauh yang tak mungkin kembali lagi, ijinkanlah kenangan ini kuingat selalu dalam hidupku.