Selasa, 12 Januari 2016

ANTARA MEDAN DAN BAROMBANG



                                              ANTARA MEDAN DAN BAROMBANG

Undangan khusus yang disampaikan adinda Reni Hsb (salah satu putri ayahanda Husnan Hsb) mengadakan pesta aqiqah, mengayunkan serta pesta ulang tahun anak-anak mereka yang disampaikan melalui Facebook di Grup Keluarga Besar Ibrahim Azhar Hsb adalah mulanya menjadi awal pertimbangan kami berangkat ke Sungai Berombang, kampung halaman tercinta.

Melalui komunikasi yang baru terjalin melaui dunia maya telah mengalami beberapa kali perubahan rencana kenderaan untuk keberangkatan dengan berbagai pertimbangan antara lain, masalah waktu kerja dengan masa liburan, efisiensi, efektifitas, keamanan, kenyamanan, kondisi fisik, dll. Sebelum hari H akhirnya disepakatilah keberangkatan kami kesana menggunakan kenderaan sendiri dari Medan.
Selepas melaksanakan tugas-tugas rutin kantor pada hari Rabu, tanggal 23 Desember 2015 sekitar pukul 16.40 WIB bergeraklah aku sendiri dari rumah mengendarai mobil dinasku. Tangki minyak telah kuisi penuh cukup untuk sekali perjalanan menuju Rantau Prapat serta beberapa kaleng minuman ringan bekal diperjalanan. Dengan ucapan Basmalah kumulai perjalanan "Titian Muhibah" ini.
Sore itu kenderaan di Kota Medan luar biasa ramai dan macat. Waktu normal yang biasanya dapat ditempuh dari rumah (Pangkalan Mashyur Medan Johor) ke Tanjung Morawa Simpang Kuala Namu sekitar 30 menit, sore itu kutempuh tak kurang dari 2 jam. Luarbiasa lamanya, ini semua berkaitan dengan libur panjang yang dimulai esok harinya (Kamis) sampai dengan Minggu (ada waktu libur 4 hari). Kenderaan umum dan pribadi yang masuk maupun keluar Kota Medan amatlah ramainya, berjalan merambat perlahan bahkan sesekali berhenti total sampai bermenit-menit setiap persimpangan yang dilalui.
Tak berbeda dengan arus lalu lintas di jalan besar menuju Kisaran, bising, ramai dan macat. Inilah suasana abnormal di jalan lintas bila liburan panjang datang. Volume kenderaan semakin banyak tapi fisik jalan masih begitu-begitu saja.
Sampai di Kisaran waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih. Aku menuju kediaman adinda Ely dan Yan Azis yang memang dilewati bila dari Medan menuju Rantau Prapat, tepatnya hanya beberapa meter sebelah kanan setelah melewati lintasan kereta api dekat Kantor Bupati Asahan.
Dalam perjalan tadi sebelum sampai ke Kisaran, adinda Ely ada beberapa kali menghubungiku melalui handphone sudah berada dimana. Kurasa mereka khawatir aku ada masalah di jalan atau juga mungkin ragu jangan-jangan perjalanan ini gagal. Begitu sampai di depan pagar kediaman adinda Ely/Yan Azis, Faraz putera sulung mereka langsung membukakan pintu pagar dan mempersilahkan uwaknya untuk masuk beristirahat sejenak. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah tengah malam, disamping itu sahabatku Arifin Nasution juga sudah menunggu di Simpang Kawat maka kuputuskan untuk segera melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini. Adinda Ely bersama dua orang putrinyapun kupersilahkan menaiki mobil dan kamipun berangkat.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 12 malam tepat sampailah kami di Simpang Kawat, disana sudah menunggu temanku semasa SMA, Arifin Nst. Dia diantar temannya naik sepeda motor dari Tanjungbalai untuk menungguku yang akan melintasi Simpang Kawat. Memang tadi sebelum berangkat dia telah menghubungiku melalui hp bila tak ada urusan ke Tanjungbalai tak perlu masuk lagi kesana, biarlah dia yang menunggu di Simpang Kawat. Sebenarnya inilah yang kuhendaki semula, namun karena aku yang mengajaknya untuk ikut ke Barombang, tak sanggup pula kuutarakan. Untunglah dia yang menyampaikan sendiri, kalau tidak tersita juga waktu dan tenaga kesana.
Sekarang kami ada berlima, Arifin yang duduk di bangku sebelahku sepanjang perjalanan menemaniku mengobrol ngalur-ngidul matapun tidak mengantuk dibuatnya, berbeda dari perjalanan Medan-Kisaran sebelumnya, dimana hanya musik dan minuman ringan yang menemani perjalananku. Di Aek Kanopan kami beristirahat sejenak, perutku yang diisi di Perbaungan sudah mulai minta diisi kembali. Teh manis dan nasi goreng jadi pengganjal lapar malam itu bekal perjalanan menuju Rantau Prapat.
Pukul 3.25 WIB dinihari sampailah kami di rumah Pak Ashari Hsb/Ibu Nur, kami memutuskan bermalam disini untuk beristirahat barang beberapa jam saja. Ibu Inur, Pak Sari, adinda Diana masih belum tidur menunggu kedatangan kami. Penghuni rumah lainnya sudah lelap tertidur terbawa ke alam mimpi. 


Sesampainya di rumah Pak Shari (Ashari Hsb) dan Ibu Nur kami ditawarkan untuk beristirahat, satu kamar telah dipersiapkan untuk kami. Aku dan Arifin pun meluruskan badan barang sejenak di kamar yang kelihatan rapi itu lengkap dengan ranjang berkasur tebal berbalut seprai dan bantal gulingnya.
Pagi itu selepas menunaikan sholat subuh, Pak Shari membangunkan kami yang terlelap dalam tidur karena kecapekan menempuh perjalanan jauh. Buru-buru kamipun bergegas ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan berwudhuk memburu waktu sholat subuh karena matahari telah mulai tersenyum di ufuk Timur Rantau Prapat. Ibu Nur terlihat sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk kami di dapur.

Setelah mandi dan berpakaian kamipun menuju meja makan, sarapan pagi telah disiapkan Ibu Nur dibantu Diana dan Ely. Hidangan dengan nasi panas lengkap dengan lauknya yang baru dimasak kami santap dengan lahap. Teh manis panas menambah kesegaran menu pagi itu. Terimakasih Ibu Nur dan adik-adikku yang telah sibuk sedari tadi mengurusi kami.

Setelah sarapan pagi kami berkemas-kemas untuk berangkat menuju Sungai Berombang. Tas dan bawaan lainnya diperiksa kembali apakah sudah lengkap dan tidak ada yang tertinggal. Pak Shari kelihatan lebih sering mengingatkan ini kepada kami dan anak-anaknya yang ikut (Ely dan Diana). Sebentar kami menunggu Aldi (putera adinda Idah Jimir Hsb) yang mau ikut bersama kami ke Sungai Berombang karena sedang liburan sekolah (ia bersekolah di Rantau Prapat). Tak berapa lama Aldi datang diantar pakciknya (Rahim Hsb) naik sepeda motor. Sebelum itu Pak Iyus (Yusran Hsb) juga datang menjumpai kami menyampaikan bahwa dia yang semula berencana hendak ikut juga, karena ada halangan pokok yang tidak dapat meninggalkan pekerjaannya di Ram Sawit Aek Buru Rantau Prapat maka dengan sangat kecewa dia tak jadi ikut bersama.

Sekitar jam 7.30 WIB kamipun bergerak meninggalkan Rantau Prapat, di sebuah pomp bensin di kiri jalan besar menuju Si Gambal kami masuk untuk mengisi bahan bakar jenis premium, tapi kami ditolak karena mobil kami berplat merah (mobil dinas), diminta untuk mengisi jenis pertamax. Pak Shari menginformasikan kepadaku untuk isi minyak di Buluh Cina saja yang jaraknya tidak berapa jauh lagi dari tempat ini, kamipun meninggalkan pomp bensin itu dengan sedikit menggerutu. Memang sudah lazim setiap SPBU milik Pertamina tidak membenarkan kenderaan dinas berplat merah mengisi bahan bakar bensin karena bersubsidi, tapi tidak demikian halnya SPBU yang dikelola oleh swasta hal ini tidak mereka berlakukan, semua mendapat perlakuan sama.
Benar, ternyata SPBU di Buluh Cina membenarkan mobil berplat merah mengisi bahan bakar bensin. Padahal seandaipun susah mencari pomp bensin di Labuhan Batu yang membenarkan kenderaan berplat merah diisi dengan bensin, aku sudah siap-siap mengganti plat merah dengan plat hitam yang sudah kusiapkan di bawah jok belakang mobil ini. Sebenarnya ini bukanlah hal terpuji, tapi tindakanku ini kurasa juga tidaklah salah-salah benar, karena uang untuk mengisi bahan bakar mobil dinasku itu bukanlah uang dinas tapi dari uangku pribadi. Kecualilah mobil dinas itu adalah kenderaan operasional yang diberi jatah bahan bakar dari kantor (dapat berupa uang tunai ataupun DO).
Ahh….tak usahlah dipermasalahkan dan kita ambil pusing, yang penting tujuan perjalanan harus sampai. Bismillah……kamipun meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan aku, Pak Shari, Arifin, Ely dan Diana tak habis-habisnya bercerita dan saling berkelakar, kecuali Aldi yang sedari tadi hanya diam membisu duduk di jok belakang, dia menjadi pendengar saja sesekali kulihat dari kaca spion interior di depanku. Musik berirama melayu lama kunyalakan pelan, perjalanan serasa dinikmati dan tak melelahkan. 




Sebelum mengisi bbm di Buluh Cina terlebih dahulu mengisi angin keempat ban mobil dengan tekanan yg disesuaikan dengan beban kenderaan dan jarak serta kondisi jalan. Di Buluh Cina tangki bbm sudah terisi penuh. Perjalananpun diteruskan, Arifin minta AC mobil dimatikan sejenak untuk dapat melepaskan hasratnya merokok barang sebatang.
Sekarang sudah sampai di Aek Nabara, kami memilih jalan memotong sebelah kiri sebelum sampai simpang Aek Nabara untuk menghindari kemacetan pajak Aek Nabara bila ditempuh di pagi hari.
Selepas simpang kami membelok ke kiri menuju Utara melintasi jalan Provinsi Aek Nabara-Tanjung Sarang Elang yg dihot mix sejak awal tahun 80an oleh kontraktor Korea Selatan Kutdong sebagai pemenang tender. Panjang jalan ini sekitar 80 Km. Di kiri kanan jalan terhampar perkebunan sawit milik PTPN sampai Pangkatan, selepas itu adalah perkebunan sawit milik swasta maupun rakyat. Suatu spesifik kondisi wilayah Labuhan Batu secara umum hampir di seluruh wilayahnya sampai ke daerah pesisir di Panai sana, padahal dahulu daerah ini juga kaya dengan tanaman karet, kelapa, padi, dan palawija.
Harga sawit yg pada masa itu sangat tinggi membuat pemerintah dan masyarakatnya menjadi tergiur merubah tanamannya, bahkan para investor besar dan kecil dari luar Labuhan Batupun berdatangan mencari lahan disini, harga tanahpun menjulang tinggi, banyaklah orang-orang setempat menjadi kaya dadakan. Setiap tahun kuota haji dari Labuhan Batu terus menaik sampai awal tahun 2000an. Bahkan pada masa resesi ekonomi di tahun 1998 Labuhan Batu malah semakin makmur karena harga sawit membubung tinggi. Showroom kenderaan bermotor baik sepeda motor maupun mobil, baik di Labuhan Batu maupun di Medan dibanjiri masyarakat dari Labuhan Batu. Pada masa itu property di Medan hanya diminati oleh masyarakat dari sini untuk menyiapkan rumah bagi anak-anaknya yg melanjutkan sekolah ke Medan ataupun sekedar berinvestasi.
Masa itu populerlah di Sumut masyarakat Labuhan Batu masyakat makmur "pesawit" daerah orang orang kaya baru. Pejabatnya juga menjadi eksklusif dan bermandi kemewahan. Pusat-pusat perbelanjaan di Medan bahkan Pekanbaru pada hari hari libur dipenuhi masyarakat dari sini. Bus bus dari Labuhan Batu ke Medan semakin banyak dan bagus armadanya yg dilengkapi dengan AC dan TV, begitu pula rangkaian gerbong Kereta Api jurusan Medan-Rantau Prapat sudah tidak ada lagi kelas Ekonomi, kecuali Bisnis dan Eksekutif.
Kultur Budaya masyarakat setempat mulai bergeser, tadinya sangat terbuka, ramah, sosial, peduli dan religius (rural) mulai terkontaminasi budaya hidup perkotaan (urban) yang konsumtif, egois, modis, glamour, hura hura, siapa lu siapa gua, prestisius yang makin menjauh dari ajaran agama.  

Kami baru saja melewati Desa Pangkatan, di dalam sana di perkampungannya ada tinggal keluarga dari alm. Wakanda Irwan Nst (saudara omak seibu lain ayah), anak-anaknya yg telah berkeluarga masih banyak tinggal disana. Wak kami ini (juga uwaknya Usman dan Sjachrizal Indra Mulia Nst) tadinya adalah seorang kepsek SD begitu juga istrinya, jadi dapat dimaklumi anak-anaknya banyak yg mengikuti jejak mereka. Seorang puteranya (Ir. Zuflan Nst) tidak di kampung ini tetapi di Sungai Daun-Riau yg kabarnya menjabat Adm PTPN IV disana.
Bang Zuflan ini juga lahir di Labuhan Bilik dan kami (saya, Usman Nirwan Nirwan, bang Zuflan) lahir di rumah yg sama (rumah Wakanda Syahminan Nst/Maimunah, orang tua Sjachrizal Indra Mulia Nst) Seorang puteranya lagi (Zul) berada di Kuala Tanjung Asahan.
Di pengkolan itu di sebelah kiri terdapat sebuah musholla kecil, di depannya terdapat makam pendiri musholla tersebut seorang ulama pendidik agama Islam di kawasan itu, murid dari Tuanku Syech Abd. Wahab Rokan dari Basilam (Babussalam-Langkat). Makamnya ada suatu keajaiban dimana tanah-tanahnya seakan tumbuh naik ke atas menyerupai batu-batu nisan kecil di sekeliling nisan batunya. Subhanallah.
Pada masa kecil dahulu, apabila Bapak (alm. Mohd. Arsyad Hsb) membawa kami mengunjungi alm. Wakanda Irwan Nst ataupun mau ke Labuhan Bilik/Sungai Berombang) lewat jalan darat dari Tanjungbalai, kami biasanya naik bus Maslab tujuan Negeri Lama (ujung jalan raya yang dapat dilalui mobil pada masa itu. Dari Negeri Lama baru menumpang naik boat film ke Sungai Berombang menyusuri Sungai Bilah sampai Kuala Barumun.
Untuk dapat menumpang boat ini harus pandai-pandai memperhitungkan waktu, karena keberangkatannya hanya satu kali sehari. Dari Negeri Lama sekitar pukul 11 siang karena jam 7 malam sudah harus diputar filmnya di Brombang dan dari Sei. Berombang setelah pemutaran film terakhir di bioskop Ria Brombang (sekitar pukul 12 malam) sampainya sudah pagi di Negeri Lama.
Begitulah kondisi trasportasi ke Sungai Berombang masa dibawah tahun 80an.
Omak kami paling takut jalan laut, maka itu bila dia ikut tetaplah melalui moda transportasi ini, padahal dari Tanjungbalai ke Sungai Berombang pada masa itu sudah ada Kapal Feri kayu yang membawa barang-barang dan orang, tetapi omak sering trauma dengan ombak dan mabuk laut.
Kembali ke cerita makam "keramat" (masyarakat setempat percaya dengan karomah syech guru ini). Dahulu bila kesana sudah pasti pula kami dibawa Bapak berziarah mengirimkan doa dimakam ini, tak lupa mencuci muka dan berwudhu dengan air dari tempayannya yg sejuk segar.
Setelah Bapak telah tiada, seingat saya baru sekali mampir berziarah kembali kesini, itupun sudah lama sekali. Ketika kenderaan kami melintasi makam yg dikeramatkan masyarakat setempat ini tak lupa kuucapkan salam dan berdoa dalam hati semoga pusaranya dan kaum keluarga sekalian yg telah mendahului dijadikan Allah sebagai taman-taman syurga jannatul firdaus. Aamiin.
Dari kaca spion kulihat Arifin sudah mulai gelisah karena hasrat merokoknya kembali kambuh. Diana, Ely asik dengan pesawat hpnya. Pak Syari yg duduk di sebelahku mulai nampak mengantuk dan tak banyak lagi bicara.
Sekitar pukul 10 pagi kamipun memasuki kota Negeri Lama, benar...negeri yang benar-benar lama. Negeri ini dahulu adalah pusat sebuah Kerajaan Melayu kecil Kesultanan Bilah. Sultan pertamanya bergelar Tengku adalah salah seorang putera dari Raja Pinang Di Awan (Kota Pinang), seorang puteranya lagi diberikan daerah baru membuka Kerajaan Panai.
Jejak-jejak sejarah kerajaan ini sudah hampir tak berbekas dibantai revolusi sosial ditahun 1946 dahulu. Istana sudah rata dengan tanah berganti dengan pasar (pajak) begitu pula dengan mesjid sultannya. Hanya beberapa makam leluhur yg masih berdiam kaku di halaman mesjid tua itu menjadi saksi bahwa disini dahulu ada sebuah dinasti mata rantai sejarah Labuhan Batu. 

Saat ini perjalanan kami baru saja melintasi jembatan panjang Sungai Bilah Negeri Lama. Jembatan ini sebenarnya bukanlah di atas Sungai Bilah (masih sekitar 300 m lagi disisi kirinya bila memasuki Negeri Lama), melainkan Sungai Merah yg bermuara ke Sungai Bilah.
Dahulu, sebelum jembatan baru ini dibangun jembatan lama letaknya lebih rendah maka tak heran bila musim penghujan tiba ketika Sungai Bilah dan Sungai Merah meluap tak ayal jembatan lama alamat karam tenggelam. Para penumpang bus dan kenderaan pribadi yang mau ke Negeri Lama atau lebih ke hilir lagi terpaksa naik perahu penyeberangan sebagai pekerjaan musiman penduduk setempat.
Dengan berdirinya jembatan baru ini hal seperti itu sudah jarang terjadi kembali. Demikian pula halnya di daerah Sennah dan Lubuk Sona yang telah kami lewati sebelum memasuki Negeri Lama ini. Dahulu disana sebelum dibangun tanggul dan benteng disisi kiri dan kanan jalan, sudah menjadi langganan tahunan badan jalannya tenggelam dilanda air Sungai Bilah dari sisi kiri dan air Sungai Merah dari sisi kanan yang meluap. Inilah yang membuat kondisi jalan disini pada waktu dahulu tidak pernah baik, berlubang-lubang bagaikan kolam sepanjang tahun.
Untuk mengatasi masalah itu Pemerintah Provinsi Sumut telah meninggikan badan jalan dan dibangun menggunakan semen beton (cor) berpondasi rangka besi sepanjang lebih kurang 1 Km.
Keluarga sepupuan Omak banyak tinggal di daerah sini. Abang kami Unjung (putera Maksum abang sepupu Omak) rumahnya di sebelah Mesjid Besar Sennah. Disini juga ada Ramlan yang masih kerabat Omak dan juga keluarganya Arifin Nst, rumahnya berdekatan dengan mesjid setelah rumah besar milik seorang pengusaha keturunan India, dan masih banyak yang lainnya lagi. Semasa kanak-kanaknya dahulu Omak bersama Andong (Ibu dari Omak) dan uwak-uwak kami lainnya pernah tinggal disini.
Kampung ini sejak dahulu bila musim penghujan tiba dan banjirpun datang panen padi di ladangpun gagal. Tapi terbuka pintu rejeki yang lain. Ikan-ikan darat (air tawar) yang bersumber dari lubuk-lubuk di hutan sekitarnya berkeluaran sampai ke halaman rumah penduduk. Merekapun mendapat rezeki musiman dengan menjala ikan limbat dan sejenisnya. Hasilnya sangat berlimpah sehingga dapat dijual dikirim ke luar daerah, sebagian diawetkan dengan cara dikeringkan dengan pengasapan (sale) yang sangat digemari oleh maayarakat Sumatera Utara dan harganya cukup mahal.
Kita tinggalkan Sennah dan kembali ke Negeri Lama. Saat berada di atas jembatan itu kulayangkan pandanganku ke sisi kiri, terlihatlah Sungai Bilah yang saat itu sedang naik pasang, airnya menuju ke hulu. Terbayanglah olehku dulu ketika air sungai ini memerah tandanya musim gamak tiba. Gamak adalah sejenis ikan teri air tawar (tali-tali) yang hidup berkelompok pada suatu musim karena kondisi iklim, tanah dan air suatu daerah. Bila musim gamak tiba maka berpestalah penduduk Negeri Lama, tua muda turun ke sungai menjaring gamak cukup dengan kain saja. Ikan gamak yang berlimpah dijual memakai kaleng bekas tempat susu (muk) dijadikan pergedel, pepes dan lainnya. Inilah ikon Negeri Lama Si Kota Gamak.
Bila melintasi Negeri Lama sebelumnya aku sering mampir makan. Ada dua rumah makan disini yang sering kukunjungi karena menyediakan menu khas pesisir Labuhan Batu seperti anyang ayam kampung, gulai asam ikan baung dan sumbilang, udang galah goreng, gulai lomak udang dan ranjungan, dll.
Kutawarkan pada Pak Syari, Arifin, Ely, Diana dan Aldi untuk singgah disalah satu rumah makan itu, namun mereka menolak dengan alasan masih belum lapar karena masih pagi (jam menunjukkan hampir jam 10 pagi). Kata Diana, di Sungai Berombangpun dapat kita buat itu. Baiklah nanti disana biarlah aku mencari bahan-bahannya, mereka yang masak niatku dalam hati. Kamipun meneruskan perjalanan.
Dari dalam mobil ketika sedang menyetir dengan ekor mataku kusempatkan melihat Kedai si Meko di simpang sebelah kiri menuju tangkahan Sungai Bilah. Disinilah dahulu pangkalan terakhir bus Maslab dan Bilah Pane sebelum ada jalan raya sampai ke Tanjung Sarang Elang. Dahulu disinilah tangkahan boat tambang yang membawa film ke Sungai Berombang.
Selepas itu kami melewati beberapa pintu ruko, beberapa diantaranya adalah milik beberapa saudara sepupu Omak seperti alm. Wak Jabbar. Ketika aku mampir beberapa tahun yang lalu kedai ini masih dilanjutkan oleh anak dan menantu perempuannya.
Di kota tua ini cukup banyak sanak saudara dari pihak Omak. Ibu Hj. Sulmi wanita hebat dari Kisaran (terkenal sebagai Ibu PKK yang pintar masak, jahit dan rias) istri Drs. H. Syarkawi mantan Walikotif Kisaran pertama adalah puteri Negeri Lama (keponakan Omak, puteri Kepala Desa Pekan Negeri Lama masa dahulu). Sebagian sanak saudara kami itu masih tinggal disini, namun sayang setelah generasi berganti banyak sudah yang saling tidak mengenal karena jarangnya bertemu. Ini disebabkan tradisi saling mengunjungi keluarga bekeluarga yang dekat maupun jauh sudah semakin menipis kalaupun tak boleh disebut sudah tak ada lagi. Pada pesta keluarga jikalaupun datang hanya sebatas menghadiri undangan tanpa tegur sapa dan bercengkerama mempererat silaturahim. Begitupula bila ada masa kemalangan di salah satu keluarga yang datang hanyalah sebatas keluarga yang biasa dikenal saja. 
Ini merupakan kesalahan berjamaah keluarga-keluarga kita terdahulu, kita kurang bersilaturahim saling menjenguk sanak saudara dekat dan jauh, komunikasi juga tak terbina dengan baik.
Inilah salah satu yang kupujikan dan kubanggakan dari alm. Bapak, dia selalu membawa aku dan adik-adikku bila mengunjungi sanak saudara baik jauh maupun dekat, baik pihak Bapak maupun Omak. Dalam kamus hidupnya seakan ada slogan "Tidak boleh ada keluarga yang tidak bersitandaan".
Sikap hidup almarhum sedikit ada juga mengalir dalam jiwaku, bila ada waktu dan kesempatan mengunjungi keluarga yang tempatnya jauh dan jarang bertemu. Ada perasaan puas, senang dan gembira bila sudah bertemu melepaskan kerinduan. 




Herannya mengapa anak-anakku terlalu sulit untuk kuajak serta, mereka lebih tertarik ke tempat-tempat wisata, mall ataupun restoran. Anak-anak sekarang lebih tertarik membina pertemanan daripada persaudaraan apakah itu teman seangkatan, sepermainan, sehobi, sepekerjaan, dsb. Hubungan mereka ini sebenarnya semu sebatas adanya kepentingan dan kebutuhan satu dan lainnya. Ada faktor "take and give" disana. Bukan karena keikhlasan seperti yang diajarkan Islam dan dipraktekkan orang-orang tua dahulu, tangan kanan memberi tangan kiri tak tahu, cubit di kiri kanan terasa. 

Bercerita tentang Negeri Lama dahulu lebih kurang setahun sebelum aku ada di dunia sekitar tahun 1963. Terjalinlah kisah percintaan yang terlarang antara seorang perjaka putera Sungai Berombangbernama Muhammad Arsyad Hasibuan (30 thn) bekerja sebagai PNS di instansi Bea Cukai bertugas di Labuhan Bilik dengan seorang gadis muda belia berumur 16 menjelang 17 tahun bernama Nurhani Ritonga rekan sejawat sang perjaka sama-sama bertugas di Pos Bea dan Cukai Labuhan Bilik. Mereka bekerja disana dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, si pria dari pendidikan SD (waktu itu SR) dan si gadis dari latar pendidikan SMP.
Sang gadis belia ini sudah menjalin hubungan cinta surat menyurat dengan seorang guru bernama Thamrin sahabat abangnya satu ayah lain ibu Syarifuddin Ritonga yang berprofesi sebagai guru juga (terakhir beralih status menjadi Peg. Bea Cukai di Medan dan meninggal disana sekitar tahun 2010 lalu).
Walaupun sudah mendapat persetujuan keluarga kedua belah pihak (Thamrin-Nurhani Ritonga) dan didukung abang tiri, sang gadis goyah juga hatinya pada jejaka rekannya sekantor yang setiap hari mengganggu dan menyampaikan hasrat hatinya secara tulus untuk membawanya ke mahligai rumah tangga.
Cinta terlarang ini mendapat rintangan dari pihak keluarga wanita yang tak menyetujui hubungannya dengan jejaka Sungai Berombang ini. Berbeda dengan keluarga pihak sang pria, mereka malah mendukung dan memberikan support. Ayah sang jejaka (atok Ibrahim Azhar Hsb) adalah seorang Tuan Kadhi di Sungai Berombang yang kharismanya dikenal masyarakat Panai dari Hilir sampai ke Hulu. Sang ayah menyampaikan kepada putera ketiganya itu (seorang kakak sulungnya Mardiah Hsb dan abangnya M. Samin Hsb sudah lebih dahulu berumah tangga) bila hatinya sudah tetap untuk membina rumah tangga pada gadis idamannya itu dan juga disetujui sang gadis, bawalah ia ke negeri lain yang jauh dari Panai (Labuhan Bilik) sehingga cukup syarat untuk mencari wali hakim disana, bawa suratku ini jumpai dan serahkan langsung pada Tuan Kadhi disana, kata sang ayah. 
Dengan mengatur strategi bersama sang gadis dan dibantu beberapa teman serta kerabat dekat si pria (mengingatkan dan baca kembali kisah Japarimpunan Hsb melarikan kekasihnya Nauli Lubis yang kutulis terdahulu dalam "SUNGAI BEROMBANG DARI MASA KE MASA), kalau mereka ini menggunakan sampan dayung dua (kiri dan kanan pakai tiang di tengahnya).
Tujuan mereka adalah Negeri Lama. Subuh itu perahu dayung mereka membelah Sungai Barumun depan Labuhan Bilik menuju kuala Sungai Bilah, dari sini mereka menyusuri Sungai Bilah menuju ke hulu (kalau Japarimpunan dkk dari hulu Barumun ke hilirnya). Secara bergantian 5 orang lelaki dalam perahu itu mengayuh pendayung, kebetulan mengikut arus yang sedang naik pasang.
Pendek cerita setelah menempuh perjalanan lebih kurang sehari semalam sampailah mereka di Negeri Lama, dilangsungkanlah akad nikah pernikahan mereka di depan Wali Hakim dan saksi-saksi dari pihak keluarga kedua belah pihak yang hadir. Untuk meredam kemarahan keluarga pihak wanita, diinapkanlah mereka di rumah abang sepupu sang gadis yang tinggal disana (Jabbar dan Maksum) didampingi kerabat-kerabat lain yang mendukung pernikahan mereka ini. Akhirnya setelah semuanya reda dan kondusif, kembalilah mereka ke Sungai Berombang dan dipestakan secara meriah (pakai Orkes Dendang Barumun) di rumah atok Ibrahim Azhar Hsb.



Melewati Negeri Lama jalan terasa semakin menyempit, bila berpapasan dengan kenderaan besar harus lebih berhati-hati, bila tidak bisa bersenggolan atau jatuh ke beram jalan. Para pengendara sepeda motor juga kurang disiplin dalam berlalu lintas, mereka belum tentu menepi bila dikasi kode klakson untuk dilalui, mereka juga memotong kenderaan dengan seenaknya saja tanpa menyalakan lampu sein bahkan terkadang menyalip kenderaan di depannya tanpa memperhitungkan kecepatan ataupun kenderaan yang datang dari arah berlawanan.
Inilah gambaran umum budaya berlalu lintas kita di Sumatera Utara terutama di daerah pinggiran. Biasanya mereka ini adalah para remaja yang masih duduk di bangku SMA bahkan SMP. Nah ketika ia melanjutkan sekolah ke Medan kebiasaan ini terbawa-bawa karena jalan lebih baik dan lebar. Kukaji-kaji ada juga kemungkinannya inilah yang menyebabkan jalan-jalan di Medan penuh dengan pemakai jalan yang tidak tertib berlalu lintas. Banyak mahasiswa-mahasiswa asal luar Medan membawa sepeda motornya kemari, ditambahi lagi para supir angkot dan abang beca yang berasal dari luar daerah seperti Tapanuli dan sekitarnya yang terbiasa tidak tertib di jalan, ugal-ugalan dan semau gue, tidak mengerti atau tidak mau tahu akan perlunya menjaga budaya antri, tertib berlalu lintas dan mendahulukan orang lain. Padahal tabiatnya ini dapat menyebabkan bahaya bagi diri sendiri ataupun orang lain. Kala bertemu simpang, tak perduli dengan lampu traffic Light yang menyala. Lampu merah diterobos, mencuri jalan orang lain, membunyikan klakson disaat yang tak perlu, dll yang menjengkelkan hati.
Setelah melewati Sungai Tampang semakin banyak rumah-rumah ibadah umat Kristiani kulihat di kiri kanan jalan. Ini menunjukkan bahwa eksistensi kaum pendatang dari daerah lain terutama Tapanuli sudah sangat tinggi di Labuhan Batu ini. Pada masa di bawah tahun tahun 80an pemandangan seperti ini sangat langka. Inilah salah satu dampak terbangunnya akses transportasi ke Labuhan Batu pesisir ini, banyak masyarakat pendatang yang ingin "mencoba nasib" membuka lahan-lahan tidur baik secara legal maupun ilegal bertanam padi maupun kelapa sawit. Tadinya mereka ini adalah pekerja-pekerja kasar yang mengambil upahan di ladang, buruh-buruh kilang, buruh angkutan (truk, bus, beca, boat, dll). Melihat prospek yang begitu menjanjikan di tanah Labuhan Batu ini merekapun membawa keluarganya bahkan kerabatnya dari kampung sana untuk bermigrasi kesini.
Satu yang perlu diperhatikan pemerintah dan aparat hukum pada "daerah baru" ini biasanya bila kaum pendatang dimana umumnya kehidupannya lebih baik dari penduduk asli setempat (pendatang biasanya lebih ulet dan bekerja lebih keras agar survive) maka akan rentan terhadap kecemburuan sosial. Hal-hal sepele bisa saja meluas menjadi keributan dan perkelahian massal antar kelompok. Inilah yang sering kudengar terjadi di daerah ini.  

Tanpa terasa kini kami sudah melintasi Simpang Ajamu setelah melewati beberapa Kecamatan mulai dari Rantau Utara, Bilah Hulu (Pangkatan), Bilah Hilir (Negeri Lama), sekarang sudah memasuki Kecamatan Panai Hulu. Banyak sudah desa-desa Labuhan Batu Induk yang kami lalui, mulai dari Sigambal, Desa Buluh Cina, Aek Nabara, Desa Pangkatan, Desa Senna, Desa Kampung Bilah, Desa Tanjung Haloban, Desa Sei. Tampang, Desa Selat Besar, Desa Sei Kasih, Desa Sungai Tarolat, Desa Negeri Baru, Desa Sidomulyo, dll.
Kami kini sudah sampai di ujung jalan hotmix lintas Aek Nabara-Tanjung Sarang Elang. Sejak dibukanya jalan ini sekitar awal tahun 80an terbukalah akses hubungan ke Pesisir Labuhan Batu semakin ramailah wilayah ini dengan masuknya para pendatang yang tinggal menetap disini Pendatang-pendatang ini mayoritas berasal dari daerah Tapanuli dan sekitarnya.
Di ujung jalan Tanjung Sarang Elang itu mobil kuhentikan untuk beristirahat sejenak. Mobil lalu kumasukkan pada tempat penyimpanan mobil yang ada di sebelah kanan jalan (sebelumnya kami telah melewati penyimpanan kenderaan "Tangkahan Amerika". Di daerah tangkahan besar Tanjung Sarang Elang ini kebetulan pengusahanya masih dikenal oleh Pak Syari dan masih ada hubungan keluarga. Aku berfikir lebih baik menyimpan mobil disini selanjutnya menggunakan perahu boat menyeberang ke Sungai Berombang, aku khawatir jalan di daerah lewat simpang Meranti Paham dan Sungai Rakyat kondisi jalannya amat parah. Apalagi sekarang sedang musim penghujan.
Kusampaikan pada Pak Syari untuk menawar boat yang bisa dicarter di tangkahan itu untuk mengantar kami sekali jalan saja dari Tanjung Sarang Elang ke Sungai Berombang, kutahu pastilah sedikit banyaknya dia mengenal atau tanda pada orang-orang yang ada disitu. Negoisasipun berlangsung dengan harga awal kuminta Pak Syari menawarnya duaratus ribu rupiah. Ini sudah kuperhitungkan sedari tadi, kuhitung bila naik boat tambang penyebarangan dari Tangkahan Tanjung Sarang Elang ke Labuhan Bilik (seberang Tanjung Sarang Elang) tarif perkepala enamribu rupiah, kemudian dilanjutkan dari Labuhan Bilik ke Sungai Berombang (berjarak hanya sekitar 12 Km) bila naik RBT (ojek) tarifnya berkisar tigapuluh lima ribu rupiah perorang. Sementara kami ada enam orang, berarti (6 x Rp. 6.000,-) + (6 x Rp. 35.000,-) = Rp. 246.000,-. Masih untung sekitar limapuluh ribu rupiah, lagi pula tidak perlu bersusah payah naik mobil dengan medan yang berat kesana.
Ditengah negoisasi mereka, kulihat Arifin Nst disana sudah menurunkan semua bawaan kami dari mobil dan menjaganya sambil duduk melepas lelah di sudut pinggir jalan itu sambil menghela sebatang rokok yang sedari tadi didendamnya. Ditemani Aldi mereka bercengkerama berdua. Di pojokan, Diana dan Ely sibuk pula berfoto-foto mengabadikan kenangan mereka saat tiba di ujung jalan pada ujung tanjung ini. Akupun diajak untuk foto bersama, kupanggil juga Arifin untuk ikut berfoto bersama mengabadikan kenangan bahwa kami pernah bersama dalam satu perjalanan disini, di ujung jalan ini.
Balai-balai yang dibangun di sisi kanan tangkahan penyeberangan Tanjung Sarang Elang itu menarik hati kami untuk berfoto disana, karena dari sana terlihat hamparan luas Sungai Barumun dengan permukaannya yang tenang berwarna kecoklatan dan Pulau Sikantan yang hijau serta latar belakang kota Labuhan Bilik penuh dengan gedung-gedung penangkaran walet memutih sayup-sayup terlihat di seberang sana.
Kuajak Arifin kesana, tapi dia menolak karena sedang menjaga barang-barang bawaan kami (ada beberapa tas berisi pakaian) bersama Aldi. Lalu kutawarkan dia untuk minum di warung kopi yang ada disitu tapi kulihat dia seakan ada keraguan untuk sembarang makan atau minum di daerah situ, akupun memakluminya. Tak berapa lama Ely datang membawakan minuman dan makanan ringan pada kami semua.
Pak Syari kulihat masih bernegoisasi dengan tekong boat, kelihatannya masih belum deal. Sedari tadi kuperhatikan memang Pak Syari agak berat hatinya bila kami menyeberang menggunakan boat tambang ke Sungai Berombang langsung ataupun melalui Labuhan Bilik dan disambung naik RBT ke Sungai Berombang. Dalam hatinya dapat kubaca, alangkah lebih baik bila perjalanan diteruskan saja menggunakan mobil ke Sungai Berombang. Pada sesiapa yang diketahuinya mengetahui kondisi jalan kesana kerap ditanya olehnya apakah melalui HP menghubungi Himpun Hsb (putera sulung Ismail Banda Hsb) ataupun orang-orang yang ditandanya di sekitar Tangkahan Tanjung Sarang Elang.
Akupun menyadari itu, tapi mempertimbangkan kondisi jalan serta jauhnya perjalanan bila dibandingkan dengan menyeberang saja, karena rute jalan semakin melambung melintasi Desa Tanjung Sarang Elang, Desa Ajamu, Desa Sei Sentosa, Desa Teluk Sentosa, Simpang Desa Meranti Paham, Desa Cinta Makmur, Desa Cina Kasih, Desa Sungai Rakyat dan Desa Cabang Dua. Padahal dengan menyeberang kesemua desa-desa itu akan terpangkas jaraknya. Sambil menunggu Pak Syari melanjutkan negonya dengan kode dariku bila mereka mau duaratus limapuluh ribu terima saja, kuajak Diana dan Ely berfoto sama lagi. Karena orang ketiga harus mengambil kameranya maka hanya aku dan Diana serta Diana dan Ely yang dapat difoto saat itu.
Pak Syari datang menghampiri, ia memberi tahu kami kalau pihak mereka tidak mau kurang dari tigaratus ribu rupiah. Aku sebenarnya tidak keberatan tapi kulihat raut muka Pak Syari seperti tidak senang dengan sikap mereka itu yang tak mau bertoleransi. Kulihat Pak Syari sedikit emosional karena tidak merasa dihargai sebagai putera daerah sini juga. Pura-pura tidak kuketahui perasaannya itu kukeluarkan mobil yang kebetulan diminta si empunya penitipan untuk digeser karena mobil di depan mau dikeluarkan dahulu baru mobil kami masuk menggantikan posisi mobil tersebut.
Bukannya menggeser saja malah kuminta pada Arifin untuk menaikkan kembali tas-tas kami dan semua naik untuk melanjutkan perjalanan via darat ke Sungai Berombang. Dari percakapan Pak Syari tadi yang menghubungi beberapa orang yang telah melintasi jalan ini baru-baru ini kudengar kondisi jalan baik, ada beberapa ruas jalan yang tadinya sempat dikhawatirkan telah diperbaiki dan sebagian telah digreder dengan pengerasan. Dengan ucapan Basmalah mobil kupacu kembali.  
 
Dari Tangkahan Besar Tanjung Sarang Elang mobil kuputar ke belakang kembali menuju Simpang Ajamu yang ada di sebelah kiri, berjarak lebih kurang 800 M (kalau kita menuju ke Aek Nabara). Letak Pekan Ajamu itu lebih kurang 2 Km dari simpang kedalam.
Setelah melewati Pekan Ajamu kami bertemu dengan pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) milik PTPN IV Perkebunan Ajamu, lalu kami membelok ke kiri (desa Muara Sentosa) kira-kira 400 M kedepan akan mendapatkan simpang tiga (kalau lurus bisa sampai ke Desa Meranti Paham) kami membelok kiri lagi dan bertemu simpang tiga, lalu ke kiri lagi baru mengikuti belokan ke kanan.
Perjalanan kami kini dikiri kanannya adalah perkebunan sawit milik Perkebunan Ajamu dan diselingi pemukiman penduduk tak berapa lama setelahnya jalan beraspal hotmixpun berakhir, berganti dengan jalan tanah merah berpengerasan batu padas namun terlihat dalam keadaan baik karena baru diratakan (digreder). Disebelah kiri kami berbaris rumah-rumah penduduk Desa Teluk Sentosa yang tampak rumah-rumahnya penuh debu bermandikan tanah merah berasal dari debu jalanan yang diterbangkan angin bila dilewati kenderaan, terutama dari truk-truk pengangkut sawit perkebunan milik PTPN, swasta maupun masyarakat yang ada di sekitarnya juga dari Sungai Rakyat, Labuhan Bilik, dan Sungai Berombang bahkan Panipahan dari Riau sana.
Sementara disebelah kanan kami terhampar perkebunan sawit milik PTPN IV Perkebunan Ajamu, tak lama setelahnya kamipun sampai di simpang ke Desa Meranti Paham (bila terus), kami mengarah ke kiri menuju jembatang panjang Sungai Rakyat (lebih kurang 4 Km dari simpang ini).
Perkebunan Ajamu baru saja kami tinggalkan, sekarang kami melintasi pemukiman penduduk dan perkebunan milik swasta maupun masyarakat. Rumah-rumah disana belum dialiri listrik dari PLN, syukurnya pemerintah membantu dengan memberikan bantuan listrik bertenaga battery ataupun solar cell (tenaga matahari) untuk penduduk disana.
Dari bentuk, bahan dan ukuran rumah penduduk disana dapat diprediksi bahwa tingkat kehidupan masyarakat daerah itu sudah cukup baik. Mereka kebanyakan adalah pendatang dari sekitar daerah Labuhan Batu itu ataupun sekitarnya seperti Asahan dan Tapsel juga Jawa, sedangkan masyarakat Tapanuli kurang diterima oleh masyarakat setempat. Kebanyakan dari mereka membuka perladangan sawit ataupun menjadi penampung buah sawit yang dibeli dari masyarakat pekebun sawit daerah itu.
Sekarang sampailah kami di atas jembatan kebanggaan masyarakat pesisir Labuhan Batu ini. Panjangnya lebih kurang 375 M dengan lebar 4 M (panjang tapi kurang lebar), dibangun sekitar pertengahan tahun 1990an bersumber dari dana bantuan pusat APBN pada APBD Provinsi Sumatera Utara. Jembatan besi ini pada masa awalnya berlantai kayu yang mudah rapuh termakan sengatan matahari dan hujan, apalagi sering dilintasi kenderaan-kenderaan bermuatan besar.
Dahulu jembatan terpanjang di Sumut ini (sebelum dibangun jembatan Tabayang -Tanjungbalai Sungai Kepayang) pernah menelan korban jiwa balita berumur 5 tahun, Riska merupakan putri dari pasangan suami istri, Ipur,45, dan Risma,42, warga Dusun Sungai Cina Desa Sei Rakyat Kecamatan Panai Tengah, Kabupaten Labuhanbatu itu bersama ibunya sedang melintas dengan berjalan kaki di jembatan itu jatuh terperosok di lobang jembatan dan hanyut ditelan arus Sungai Barumun di bawah jembatan (sumber Sumut Pos, 10 April 2012).
Selepas kejadian itu atas prakarsa DPRD Labuhan Batu untuk meningkatkan kwalitas fisik jembatan yang kian mengkhawatirkan, beberapa perusahaan perkebunan yang berada di zona dan memanfaatkan jembatan Sei Rakyat, Panai Hulu, Labuhanbatu secara swakelola perbaikannya. Perbaikan fisik lantai jembatan Sei Rakyat tersebut melibatkan enam perusahaan yang menjalankan bisnisnya di sekitar lokasi tersebut. Sumbangan yang mampu terkumpul saat itu berjumlah sekitar Rp 221 juta.
Di antara perusahaan tersebut, PT HPP menyumbang hampir 25 persen dari dana yang terkumpul. PTPN 4 kebun Panai Jaya sebesar 25 persen, PT CSM sebesar 15 persen, PT Milano 15 persen. PT Linggatiga Sawit 10 persen, PT PATI 5 persen dan ditambah sumbangan dari masyarakat sebesar 5 persen.
Penggalangan dana tersebut dimotivasi Elya Rosa Siregar, Ketua DPRD Labuhanbatu. Bahkan sebelumnya, menurutnya, pihak DPRD Labuhanbatu juga telah menyurati pihak Pemkab Labuhanbatu agar memperhatikan kondisi jembatan tersebut. Sehingga mendapat perhatian dari pihak Pemprovsu.
Perbaikan fisik jembatan dengan peningkatan mutu dan kwalitasnya sudah mendesak untuk segera dilakukan sebelum ambruk atau memakan korban selanjutnya. Jembatan tersebut satu-satunya prasarana penghubung jalan darat dari Kecamatan Panai Hulu ke Kecamatan Panai Tengah dan Panai Hilir bahkan Panipahan (daerah Provinsi Riau Daratan) atau sebaliknya. Dengan baiknya jembatan ini diharapkan pengangkutan sumber daya alam yang dihasilkan dari daerah-daerah tersebut akan kian mudah untuk dilakukan.
Sebelum itu diawal-awal jembatan ini baru selesai dioperasionalkan, saat masyarakat pesisir Labuhan Batu ini baru saja menikmati terbukanya akses darat dengan adanya jembatan ini, suatu ketika ambruk karena salah satu tiangnya dihantam kapal tongkang pengangkut balok-balok kayu milik Haji Zulkifli (Zul) seorang pengusaha HPH asal Tanjungbalai. Pengusaha ini adalah salah satu perambah hutan-hutan di daerah pesisir Labuhan Batu hingga Labuhan Batu kehilangan hutannya yang terkenal dengan kayu merantinya begitu pula dengan binatang-binatang rimbanya seperti rusa, harimau, beruang, dll.

Sekarang hanya tinggal kenangan dan belakangan tanah-tanah eks hutan Labuhan Batu ini dikelolanya menjadi perkebunan kelapa sawit hasil persekongkolan dengan aparatur pemerintah dan hukum, baik pusat maupun daerah. Malah sekarang pengusaha ini membuka “ram” tempat menampung buah-buah sawit rakyat di dekat pangkal jembatan ini (Desa Sungai Cina). Sekarang beliau adalah seorang milyarder di Tanjungbalai. Bagaimana perhatiannya terhadap daerah tempatnya menambang kekayaan ini?  

Ingatanku kembali kemasa-masa jauh sebelum jembatan Sungai Rakyat ini ada. Masaku kecil dahulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, bila berkunjung ke kampung kelahiran juga kampung kedua orang tuaku ini alat transportasi penghubung ke daerah ini satu-satunya adalah melalui air dari Sungai Asahan menuju ke Selat Malaka dan dari Selat Malaka dimana pada musim-musim tertentu bergelombang besar.  Dahulu selain menumpang pada boat-boat pembawa ikan milik juragan jermal Sungai Berombang ataupun Tanjungbalai, ada juga waktu itu kapal penumpang KM. Mujur yang menarik gandengannya bermuatan kayu papan dan beroti dari Desa Gajah Mati (Panai Tengah), tapi waktunya tidak setiap hari ada. Masa itu perjalanan bias ditempah bias sampai sehari semalam tergantung dengan arus air dan cuaca. Sungguh suatu perjalanan yang sangat melelahkan dan beresiko.

Haluan ditujukan ke muara Sungai barumun lalu masuk makin ke dalam menuju ke salah satu tanjung di sisi kiri kuala ini yang penuh dengan pohon berombang, itulah Sungai Berombang, bila lebih kehulunya kira-kira berjarak 12 Km dari sini melewati sebuah tanjung yaitu Tanjung Lumba-Lumba itulah Labuhan Bilik yang di tengahnya antara Labuhan Bilik dan Tanjung Sarang Elang terdapat Pulau Sikantan.
Masa-masa itu di kuala Barumun ini bila air laut lagi pasang aku kerap melihat berpasang-pasang ikan lumba-lumba saling berkejaran dan berlompatan di depan ataupun disisi boat yang kami tumpangi. Air lautnya terlihat bening biru kehijauan, sesekali ikan terbang kecil ataupun ikan timah masuk terlempar ke boat terbawa hempasan ombak dibelah laju haluan boat bermesin itu. Burung-burung camar  mengejar ombak yang ditinggalkan buritan kapal, disana burung-burung camar itu mengintai ikan-ikan yang mabuk karena digulung pusaran air oleh putaran kipas di bawah boat, lalu mereka sambar dengan menukik tajam menjatuhkan paruhnya ke air. Di kejauhan di atas sana berpasang-pasang pula burung elang mengintai ikan-ikan yang sedang berenang-renang mencari makan di laut yang bening, bila ikan-ikan ini agak naik kepermukaan niscaya cakar tajam dan kokoh si burung elang akan datang menyambar mereka. Dari gambaran itu menunjukkan  perairan ini kaya dengan ikan pada masa itu karena airnya belum tercemar juga alat tangkap nelayan tidak sedahsyat sekarang.

Jermal-jermal berjejer tertancap gagah di kedalaman birunya laut Selat Malaka sejak memasuki perairan Tanjung Siapi-Api sampai lewat perairan Tanjung Leidong, berjarak kira-kira 10 mil dari pantai. Masa itu kayu-kayu panjang sebagai bahan untuk membuat jermal-jermal ini masih mudah didapatkan dari hutan-hutan di pesisir Labuhan Batu. Sejak hutan Labuhan Batu digunduli para penebang legal dan illegal perlahan hilanglah jermal dari perairan Selat Malaka. Jermal adalah tempat menangkap ikan yang didesain juga sebagai tempat tinggal untuk sementara bagi para pekerja dan pengawasnya. Biasanya mereka tinggal berbulan-bulan disini, hasil yang mereka dapat biasanya diasinkan dan dijemur dihamparan lantai jermal  itu. Teri, udang pukul, cumi-cumi kering adalah produksi utama jermal, hasil mereka ini sudah ada yang menjemput dalam waktu tertentu yang sudah dikemas dalam keranjang-keranjang bambu. Umumnya jermal ini dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa baik dari Tanjungbalai, Tanjung Leidong, Sungai Berombang maupun Panipahan.

Sudah biasa di jermal ini para tokeh menempatkan pengawas jermalnya adalah dari kerabatnya sendiri dan memelihara anjing untuk turut menjaga jermal dan juga sebagai perlindungan dirinya sendiri. Tak jarang pula hewan ini membuang kotoran dan kencing di hamparan jemuran hasil tangkapan tersebut.
Jermal sebagai alat tangkap ikan menggunakan katrol yang ditarik beramai-ramai dengan tangan dimana jaring dengan ukuran mata tertentu ditaruh dibawah lantai jermal. Apabila air laut pasang jaring ini diturunkan dan bila air surut maka jaring ditarik pakai katrol tangan itu. Ikan-ikan akan masuk mengikuti arus yang sudah dipancangi tiang-tiang dari jauh berates-ratus meter jaraknya menuju rumah jermal. Begitulah cara tangkapnya, sederhana dan manual. Ditiang-tiang jermal ini banyak dipenuhi dengan binatang laut yang hidup menempel seperti teritip dan kemudi kapal (kerang hijau). Masa itu banyak nelayan pencari buah laut ini, mereka adalah nelayan-nelayan yang tahan dalam waktu yang lama menyelam di air laut, mencabuti buah laut ini ditiang-tiang jermal yang tertancap di kedalaman laut. Sejak jermal sudah hilang dari perairan Asahan dan Labuhan Batu maka buah laut inipun mulai langka ditemukan di daerah ini.
Sekarang model jermal bergerak malah menjadi trend penangkap ikan modal besar di kawasan ini. Dua buah kapal besar bermesin bertenaga besar digandeng menarik dibelakangnya jaring bermata halus yang panjang dan lebar sampai kandas ke dasar laut (lumpur) menggunakan katrol bermesin (trawl). Sepasang kapal bermesin ini hilir mudik di zona yang tidak jauh dari pantai sehingga para nelayan tradisional menjadi terganggu. Ikan-ikan besar dan kecil sampai kerang dan kepah di lumpur dasar lautpun ikut naik terjaring trawl ini. Dimana pengawasan pemerintah?


Inilah periode hancurnya perairan Asahan dan Labuhan Batu bahkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bibit-bibit ikan bahkan terumbu karang hancur luluh lantak. Ikan terubuk sebelum masuk ke Sungai Barumun untuk menetaskan telurnya ke hulu sungai sudah dihadang trawl di muara. Jikapun lolos sepanjang perjalannya menuju hulu banyak pemangsa-pemangsa mengintai (nelayan) menggunakan jaring bermata halus yang tidak dibatasi besar matanya seperti masa Kolonial dahulu. Air sungai dan lautnyapun sudah tercemar dengan banyaknya perahu-perahu dan kapal bermesin, penggundulan hutan mangrove di sepanjang pesisirnya, pembuangan limbah beracun dari hulu sungai, limbah-limbah rumah tangga dan pasar yang dibuang seenaknya ke sungai, dll. Tak ayal dalam waktu tak terlalu lama lagi akan punahlah ikan khas Panai ini jika tidak ada yang mau perduli akan hal ini.  

Sampai dengan akhir tahun 70an bila kami mau ke Sei. Berombang dan Labuhan Bilik hanya dua moda transportasi yang selalu kami gunakan, kalau tidak menumpang pada boat-boat besar milik tokeh (juragan) Tanjungbalai/Sei. Berombang (seperti boat si Ucin tokeh turunan Cina pemilik kilang minyak makan, jermal, boat penangkap ikan, dll dari Sei. Berombang yang salah satu tekongnya bernama si Kok Kheng) atau juga naik KM. Mujur tapi tujuannya Labuhan Bilik, karena kapal ini tidak sandar di Sungai Berombang. Bila naik boat tumpangan seringkali harus menyinggahi beberapa jermal di tengah laut untuk memuat barang (baik naik maupun turun) milik juragan yang sama (pemilik boat dan jermal).

Bila kami menumpangi KM. Mujur, dari Labuhan Bilik setelah mengunjungi beberapa kerabat dekat disana (seperti Wak Ipah, Wak Guru Mudi/Wak Unten, Wak Aspan, dll) setelah menginap barang semalam disana barulah kami dijeput oleh kerabat dekat dari Sungai Berombang menggunakan perahu dua dayung (didayung secara berdiri).






Pada masa itu Sungai Berombang-Panai belum dapat ditempuh berkenderaan dari darat kecuali dengan berjalan kaki atau bersepeda itupun baru dapat ditempuh pada musim kemarau.

Waktu perjalanan menggunakan perahu dayung ini bila mengikuti arus dari Sungai Berombang  ke Labuhan Bilik atau sebaliknya dapat ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam saja, oleh sebab itu keberangkatan harus disesuaikan dengan keadaan air laut. Bila dari Sungai Berombang menuju Labuhan Bilik harus ketika air laut mulai naik pasang karena arusnya sedang menuju ke hulu (Labuhan Bilik letaknya agak lebih ke hulu Sungai Barumun daripada Sungai Berombang yang berada di hilir di Kuala Sungai Barumun). Tetapi bila dari Labuhan Bilik ke Sungai Berombang harus ketika pasang mulai surut ataupun ketika sedang surut, karena arus akan menuju ke laut (hilir).
Alm. Wak Udin Hrp bersama anaknya Bang Bahder ataupun Bang Anan (Kakek dan uwak Khairul Harahap) sering menjeput kami masa itu ke Labuhan Bilik dengan perahu dayung mereka dari Sungai Sakat (di sebelah kiri rumah alm. Wak Udin Hrp/Mardiah Hsb) di Sungai berombang. Mereka sudah mendapat kabar yang disampaikan Bapak melalui tekong atau anggota boat dari Tanjungbalai ke Sungai Berombang yang dikenal Bapak untuk disampaikan kepada kerabat kami disana agar mereka mengetahui bahwa kami pada waktu yang ditentukan sudah berada di Labuhan Bilik dan minta dijeput pada waktu yang ditentukan pula. Masa itu alat komunikasi ke Sungai Berombang selain lisan langsung ataupun berperantara dapat melalui surat (dapat ditiitipkan pada yang dikenal atau melalui Kantor Pos dan telegram yang dikelola oleh Kantor Pos saja). 

Berbeda halnya bila kami menumpang boat si Ucin, karena tujuannya langsung ke Sungai Berombang, bila waktu ketibaan kami sudah dekat niscaya kami sudah ditunggu beberapa keponakan Bapak (abang-abang sanak Bapakku) di tangkahan untuk membawakan barang-barang bawaan kami ke rumah yang dituju. Biasanya yang menjeput kami adalah anak-anak dari Wak Udin Hrp/Mardiah Hsb, seperti Bang Bahder, Bang Anan terkadang juga bersama Pak Jimir Hsb (adik Bapak). Mereka-mereka itu semua saat ini telah tiada mendahului kita. Semoga Allah SWT menempatkan mereka di tempat terbaik disisiNYA dan menjadikan kuburannya sebagai taman-taman sorga Jannatul Firdaus. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.

Pada waktu itu belum ada sepedamotor dan beca disini apalagi mobil disana, jalan dari Pekan Sungai Berombang ke Sungai Sakat desa tempat bermukimnya sebagian besar keluarga dari pihak Bapak sempit sekali diatas tanah liat (lempung), banyak pula melewati sungai kecil yang hanya dihubungkan oleh jembatan papan berlobang-lobang ataupun sekedar jembatan dari batang-batang kelapa saja. Bila pada musim penghujan akan sangat sulit untuk dilalui, jalan-jalan akan dipenuhi bangkar (pelepah tua) kelapa untuk menutupi jalanan yang becek atau kita memilih melalui akar-akar kelapa yang banyak terdapat disisi-sisi jalan kecil itu.

Lebih susah lagi bila menggunakan boat, bukan saja arus tapi ketinggian air juga sangat menentukan. Air yang sedang surut (timpas) sama sekali tidak akan dapat lepas dari tangkahan (tempat boat itu ditambatkan), harus menunggu air mulai naik pasang. Bila kubayangkan masa dahulu itu sungguhlah sangat susahnya transportasi untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain di daerah ini, maka tak heran bila pada masa itu banyak keluarga yang jarang bertemu. Bila sudah bertemu akan saling bertangis-tangisan sambil berpelukan, demikian juga bila tiba saat berpisah maka kata-kata perpisahan yang mendokan kedua belah pihak semoga sehat-sehat dan selamat-selamat disana serta meminta untuk datang menjenguk kembali bila ada kesempatan, mereka saling berpelukan dan bersitangisan (bila wanita akan mengusap dengan ujung kerudungnya, bila pria mengusap air matanya dengan ujung kemejanya). 

Disamping nenek, ada beberapa kakak/kakak ipar Bapak yang paling kuingat sangat penangis dan banjir air mata ketika melepas kami kembali, seperti Wak Mardiah, Wak Inur Samin, Wak Unten (Panai), dll. Torehan kenangan masa kecilku ini sering kuingat sampai seumurku ini. Walaupun suasananya sulit tidak seperti sekarang tapi sangatlah indah dan penuh keakraban. Sepanjang jalan menuju rumah tempat tujuan sewaktu datang dan menuju tangkahan sewaktu kembali, kami kerap ditegur sapa masyarakat sekitar dikiri dan kanan (semua adalah kerabat dan mengenal keluarga alm. Bapak). Tak jarang Bapak akan menghentikan langkahnya dan menyalami keluarga yang menegur itu, mereka bertegur sapa barang sejenak baru kemudian meneruskan perjalanan kembali. Suara sapaan mereka yang keras dari balik jendela ataupun pintu yang terbuka di atas rumah panggung itu terdengar jelas dan melengking, menahan laju langkah kami di jalanan kecil berlumpur itu. Terkadang adapula yang menawarkan singgah untuk minum barang sejenak di rumahnya. Jika ini sewaktu datangnya tidak menjadi masalah, tapi bila pada sewaktu kembali menuju tangkahan boat tumpangan andai dipenuhi tak ayal waktu akan tersita banyak, sementara perjalanan boat ditentukan kondisi pasang surutnya  air laut. Terlambat berarti kami harus rela ditinggalkan untuk bermalam kembali disini. Hal seperti inilah yang menjadi alasan Bapak untuk menolak secara halus tawaran mereka penduduk Sungai Sakat itu khususnya dan Sungai Berombang umumnya yang sangat ramah-ramah, akrab dan penuh persaudaraan itu. 

Seingatku dimasa itu sekitar tahun 70an, dari keluarga dekat saudara-saudara alm. Bapak yang memiliki perahu kayu berpendayung dua ini ada tiga keluarga, yaitu alm. Atok Ibrahim Azhar Hsb, alm. Wak Samin Hsb dan Alm. Wak Udin Hrp. Pada masa itu mesin-mesin kecil seperti mesin Yanmar, Kubota, Mistsubishi, Yamaha, dll untuk perahu kecil dengan tenaga kecil (TS) belum ada beredar dipasaran domestik, hanya mesin-mesin besar dengan tenaga besar (PK) untuk boat-boat besar pula yang ada pada waktu itu. Barulah sejak tahun 80an perahu-perahu kecil sudah menggunakan mesin kecil, begitu pula di Sungai Berombang. Suatu waktu pernah pula Alm. Bapak punya sebuah boat kecil bermesin TS ini yang diusahakan oleh Alm. Pak Jimir Hsb di Sungai Berombang dengan nama “Putera Berombang” (nama adikku laki-laki yang nomor 7 dan mengingatkan asal kampung halaman).




Bila musim tanam atau musim panen tiba, mereka pergi ke ladang yang berada di seberang Sungai Berombang di daerah Sungai Pegantungan di sekitar Sungai Nireh ataupun agak ke ujung tanjung Kuala Barumun di sekitar Sungai Botol, mereka mempergunakan perahu dayung ini bersama seluruh keluarga lengkap dengan perbekalan selama di ladang. Bila musim ke ladang tiba maka sunyi sepilah Sungai Berombang sekitarnya, sekolahpun turut sepi seakan libur fakultatif karena sebagian guru dan siswanya beramai-ramai sudah mandah ke ladang. Malah kampung perladangan yang tadinya bagai “tempat jin buang anak” tak berpenghuni sontak menjadi ramai dan riuh dengan suara-suara orang tua, remaja dan anak-anak di gubuk-gubuk mereka maupun di areal sawahnya sedang menanam padi ketika musim tanam atau mengetam padi ketika masa panen tiba.  
Sawah disana adalah sawah tadah hujan yang masa tanam dan panennya hanya setahun sekali. Berasnya terkenal harum dan pulen. Bila musim panen telah tiba kami di Tanjungbalai sanapun sering mendapat kiriman “beras baru”, yaitu beras hasil ladang sanak saudara kami di Sungai   Alm. Bapak sangatlah gembira bila ada menerima kiriman seperti ini. Beraspun dimasak Omak dengan sayur dan lauk pauk kegemaran Bapak.
Disamping itu Alm. Bapak juga ada menerima bagian dari hasil panen dari tanah ladang warisannya yang dibagi hasilkan dengan keluarga lain yang mau mengusahakannya. Hasilnya memang tidak seberapa tetapi kebahagiannya terasa sungguh luar biasa. Disinilah salah satu nikmat berkeluarga dan bersaudara dimasa dahulu itu, semua saling ingat, rasa merasakan, peduli dan mau tahu. Walaupun kami jauh tapi kami tetap merasa bahagian dari mereka, kami tak pernah merasa ditinggalkan baik dalam duka maupun suka.

Bila musim ke ladang tiba janganlah pergi ke Sungai Berombang, ini pesan Alm. Bapak, karena orang-orang semua pada ke ladang, tak ada yang dapat dijumpai disana lagi saat-saat seperti itu. Makanya kebiasaan Alm. Bapak bila hendak berkunjung kesana membawa kami semua pastilah disesuaikan dengan musim ini, yaitu menunggu sampai musim panen selesai dan masyarakat Sungai Berombang serta seluruh sanak saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing. 


Saat-saat seperti ini sangatlah indahnya, rak-rak dilangit-langit dapur, lumbung bahkan kolong rumah penuh dengan gabah (padi yang belum dijemur dan masih bertangkai) hasil yang dibawa dari ladang dimuat diperahu bersama keluarga. Baunya yang khas semerbak mengitari rumah masing-masing penduduk disitu. Tikus dan binatang pengerat lainnya turut pula menikmati rahmat Allah ini. Tupai terlihat berlompatan di batang daun kelapa di belakang, di samping dan di depan rumah penduduk Sungai Sakat itu. Ketam merah yang biasanya ramai muncul dari lubang-lubang mereka di bawah kolong rumah dan di halaman, sejak saat itu lubang mereka banyak tertutupi tikar sebagai alas menjemur padi di halaman rumah-rumah.


Indahnya lagi, apabila musim panen tiba maka di Sungai Berombang, Labuhan Bilik, Ajamu, Meranti Paham dan daerah sekitarnya menikmati musim terubuk pula. Di Labuhan Bilik dari Telaga Suka panen pula “nenas Panai” yang terkenal manis dan rapuh itu. Subhanallah, betapa indahnya masa dahulu itu. Allah SWT melimpahkan rezeki dan kebahagiaan bagi penduduk Sungai Berombang sekitarnya dari hasil darat dan laut yang melimpah. Inilah yang sering diimpi dan dirindukan oleh Alm. Bapak yang pergi merantau ke negeri lain meninggalkan kampung halamannya. 













Apabila saat-saat seperti ini kami kebetulan sedang berada disana alamatlah tawaran makan bersama di rumah para kerabat dan sanak saudara tidak akan pernah putus kepada kami sampai kami pulang kembali ke Tanjungbalai. Ikan terubuk yang disombam (dibakar) dijepit pada bilah batang daun nipah diletakkan pada tungku pembakaran dari tandan buah nipah pula di bawah paying rimbunan dedaun kelapa yang menari-nari bersiul-siul diterpa angin diatas kami. Proses “penyombaman” terubuk ini dikerjakan pihak anak-anak lelaki ahli bait di halaman belakang rumah. Anak-anak gadis menyiapkan bumbu untuk meramu anyang ayam dan anyang daun buas-buas, ibu-ibu menyiapkan gulai asam ikan mayung dan ikan sumbilang serta gulai lomak ikan pari diasapi lengkap dengan terongnya. Aroma nasi beras baru dari periuk di atas tungku berkayu api itu diterbangkan angin laut sepoi-sepoi  dari dapur sampai ke teras rumah panggung itu. Ya Allah masa lalu adalah masa yang paling jauh yang tak mungkin kembali lagi, ijinkanlah kenangan ini kuingat selalu dalam hidupku.