Selasa, 05 Agustus 2014

Nuansa Silaturahim Lebaran Yang Memudar



KEBESARAN DAN KEMERIAHAN LEBARAN ITU MULAI MEMUDAR


Teringat ke masa-masa dahulu saat aku masih berusia sekolah, menghadapi lebaran (Hari Raya Idul Fitri) dan suasana ketika perayaan lebaran sangatlah meriah dan indahnya. Rumah-rumah penduduk berhias mulai dari dalam sampai luarnya, mulai dari mengkapur rumah (waktu itu masih menggunakan kapur dalam mengecat rumah, kalaupun ada yang menggunakan cat berwarna pastilah dari kalangan keluarga yang mampu dan berada), mengganti gordin, perabotan baru, merawat pagar dan tanaman, dll. 

Aroma bakaran kue-kue kering dari dapur-dapur penduduk berseliweran dari mana-mana terbawa angin. Terdengar alu bertalu-talu tanda sebagian wanitanya sedang menumbuk beras ataupun kacang (kacang tanah dan kacang hijau) menjadi tepung untuk dijadikan bahan pembuat kue. Sebagian anak gadisnya lagi sedang merendam buah enau (kolang-kaling) untuk dibuat halua dan membungkus wajik. Di daerah pinggiran Tanjungbalai seperti Teluk Nibung, Bagan Asahan, Sungai Kepayang, dll para anak-anak mudanya beramai-ramai mengkacau dodol dalam wajan yang besar secara bergantian.


Para orang tua sudah menyiapkan baju baru untuk anak-anak dan keluarganya, tidak banyak dan sederhana saja namun membuat kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Pada malam-malam beberapa hari menjelang lebaran (malam 27 Ramadhan sampai malam lebaran) anak-anak memasang lilin berwarna-warni di pagar-pagar rumahnya dan bermain kembang api yang amat sangat sederhana namun kesederhanaan ini sungguh berkesan di hati.


Bila malam lebaran tiba maka takbiran bergema dari seluruh pelosok kampung yang ditakbirkan para anak-anak berkeliling kampung, tradisi ini akhirnya diakomodir Pemerintah Daerah dengan melaksanakan Takbiran Bersama keliling Kota Tanjungbalai.

Menyambut lebaran persiapan tempat dengan menghias dan membuat gapura-gapura bernuansa Islami mengucapkan Selamat hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faidzhin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin terpasang di pintu-pintu masuk lapangan. Aku hampir setiap tahun memperhatikan pembuatannya yang dilukis Asmadi HS, pelukis Tanjungbalai masa itu. Stadion Asahan Sakti kala itu digunakan sebagai tempat melaksanakan Sholat Ied baru semenjak akhir tahun 70an beralih ke Lapangan Pasir Tanjungbalai.

Selesai Sholat Ied para keluarga sudah saling mengunjungi dengan membawa tintingan rantang yang berisi makanan khas lebaran seperti lontong, ketupat, tapai, mie, kue-kue lebaran, dll. Saling berbagi dan menikmati penganan buatannya masing-masing. Tali silaturahmi semakin terbina dengan saling bersimaafan satu sama lainnya. Anak-anak mendapat uang jajan sedikit dari orang tua dan para sanak keluarganya yang datang tanda bergembira. Inilah kemudian yang berkembang menjadi tradisi THR dan Angpao Lebaran bagi anak-anak. Setelah itu anak-anak inipun termasuk aku bersama teman-teman lainnya mencari beca dayung untuk berkeliling kota dengan pakaian baru. Ongkos beca ini biasanya dibayar perkepala 7-8 orang. Dalam kesederhanaan dan kemeriahan yang alami semua bergembira.



Nuansa Lebaran di Indonesia


Apapun agamanya, Lebaran telah menjadi tradisi perayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing dalam merayakan hari raya tersebut. Beberapa daerah merayakan Idul Fitri dengan festival-festival unik. Sebagian besar malahan merupakan ritual yang berusia sudah sangat tua. Sayangnya, beberapa tradisi sudah mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, sangat layak jika festival-festival tersebut menjadi agenda wisata Indonesia agar dapat terus lestari.
 
Seperti di Bengkulu yang memiliki tradisi "Bakar Gunung Api". Suku Serawai melakukan tradisi tersebut secara turun temurun selama beratus tahun. Ritual "Bakar Gunung Api" dilaksanakan dalam rangka menyambut Idul Fitri. Oleh karena itu, ritual pun biasa dilakukan di halaman rumah saat malam takbiran atau setelah shalat Isya. Dalam ritual, batok kelapa disusun seperti tusuk sate sehingga bentuknya menjadi tinggi menjulang, kemudian batok kelapa dibakar. Ada nuansa magis saat melihat api yang membumbung. Batok kelapa ini menjadi simbol ucapan syukur kepada Tuhan dan juga doa bagi arwah keluarga agar tentram di dunia akhirat. 

 
Sementara itu, di Dompu, Nusa Tenggara Barat, dikenal tradisi membakar ilo sanggari atau lentera. Lentera dipasang di sekeliling rumah. Tradisi ini sudah mulai jarang dilakukan karena perkembangan lampu sebagai penerangan modern. Lentera tersebut dibuat dari bambu dan dililit minyak biji jarak. Kemudian masyarakat memasangnya di sekeliling rumah lalu dibakar. Ilo sanggari dinyalakan untuk menyambut Idul Fitri. Penduduk setempat percaya dengan menyalakan lentera, malaikat dan roh leluhur akan datang dan memberikan berkah di hari Idul Fitri. 
 
Serupa dengan tradisi di Dompu, di Gorontalo terdapat festival Tumbilotohe. Masyarakat setempat memasang lampu sejak tiga malam terakhir menjelang Idul Fitri.

Tradisi memasang lampu tersebut awalnya untuk memudahkan warga memberikat zakat fitrah di malam hari. Kala itu, lampu terbuat dari damar dan getah pohon. Seiring waktu, lampu diganti dengan minyak kelapa dan kemudian beralih menggunakan minyak tanah.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-15 M. Kini, lampu yang dipasang hadir dalam berbagai bentuk dan warna. Lampu dipasang tak hanya di rumah, melainkan di kantor, masjid, hingga sawah.
Sebelum adanya penerangan seperti lampu, warga Dompu menyambut hari Lebaran dengan membakar ilo sanggari atau lentera. Warga percaya bahwa dengan membakar ilo sanggari akan mengundang malaikat dan roh leluhur yang akan memberikan berkah di hari Lebaran keesokan harinya. Namun sekarang, tradisi ini jarang dilakukan karena lentera sudah jarang digunakan.

Tradisi ini mirip dengan Bakar Ilo Sanggari di NTB yang memasang lampu di sekitar rumah. Lampu yang terbuat dari damar dan getah pohon dipasang sejak 3 malam terakhir menjelang Lebaran. Tujuan festival ini agar masyarakat mudah dalam memberikan zakat fitrah malam hari. Seiring perkembangan zaman, lampu yang dipasang kini memiliki berbagai bentuk dan warna.



Tradisi ini biasa dilakukan satu minggu setelah solat eid. Kegiatannya berupa perang topat dimana warga sekitar saling melempar ketupat satu sama lain. Tradisi ini dipercaya dapat mengabulkan doa-doa mereka yang telah dipanjatkan di Hari Raya Idul Fitri.



Beralih ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, para suku Sasak memiliki tradisi yang disebut Lebaran Topat. Tradisi ini baru dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Saat itu, masyarakat suku Sasak akan saling bersilahturahmi dan berziarah.

Hanya saja di Pura Lingsar yang berlokasi di Lombok Barat terdapat tradisi unik yaitu Perang Topat. Masyarakat sekitar pura akan saling melempar ketupat. Mereka percaya dengan melakukan ritual tersebut, Tuhan akan mengabulkan doa mereka.

Sedangkan di Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tradisi yang sudah dilakukan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Festival tersebut disebut sebagai Festival Meriam Karbit.

Meriam karbit merupakan meriam besar dengan diameter lebih dari 30 sentimeter dan terbuat dari kayu. Meriam tersebut dipasang di tepian Sungai Kapuas. Saat meriam dinyalakan, suara dentuman keras akan terdengar membahana. Awalnya, meriam tersebut dibunyikan untuk mengusir kuntilanak. Kini, meriam itu dibunyikan untuk menyambut Idul Fitri. 


Di Yogyakarta, tradisi Grebeg Syawal sudah sangat terkenal. Grebeg Syawal merupakan sebuah ritual Keraton Yogyakarta dalam memperingati Idul Fitri yang dilangsukan tepat pada 1 Syawal. Masyarakat setempat percaya, Gunungan Grebeg membawa berkah dan ketenteraman. Upacara tersebut diawali dengan keluarnya Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan. Gunung Lanang terbuat dari sayur-sayuran dan hasil bumi lainnya. Gunungan tersebut dikawal oleh prajurit keraton. Nantinya, masyarakat berebutan mengambil hasil bumi yang terdapat di gunungan. Tradisi ini pun sudah berlangsung secara turun temurun.Grebeg syawal adalah tradisi “menggerebeg” gunungan yang berisi kacang panjang, cabai, dan hasil bumi lainnya. Tradisi ini dilakukan setiap tanggal 1 syawal sebagai perwujudan sedekah dari Sultan kepada rakyatnya. Masyarakat berebut mendapatkan isi dari gunungan karena dipercaya dapat mendatangkan berkah dan ketentraman bagi siapa saja yang mengambilnya.


Lebaran tak bisa lepas dari acara makan-makan. Di Sulawei Utara, masyarakat Motoboi Besar melakukan tradisi Binarundak atau memasak bersama-sama nasi jaha. Tradisi ini dilakukan tiga hari setelah Idul Fitri. Sebenarnya, tradisi Binarundak tergolong baru dan terinspirasi dari tradisi Lebaran Ketupat yang dilakukan di Minahasa dan Gorontalo. Hanya saja dalam Binarundak, bukan ketupat yang dimakan, melainkan nasi jaha.
Nasi jaha merupakan makanan khas Sulawesi Utara yang terbuat dari beras ketan, santan, dan jahe. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang. Bambu lalu dibakar dengan serabut kelapa. Dalam perayaan tersebut, bambu-bambu dibakar di jalanan atau lapangan. Saat matang, nasi jaha dinikmati beramai-ramai oleh para perantau yang pulang bersama masyarakat setempat. Acara makan bersama pun menjadi ajang silahturahmi sekaligus sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.

Tradisi kenduri Lebaran di Ketapang-Kalbar adalah tradisi berkunjung ke rumah kerabat lalu membacakan doa dirumahnya. Kegiatan ini biasa diiringi dengan tradisi “ketupat colet” yaitu cara memakan ketupat yang berbeda dengan biasanya. Ketupat yang sudah dipotong-potong tidak boleh dimakan langsung menggunakan sendok dan lauk pauk, melainkan “dicolet”. Masyakarat Sulawesi Utara melakukan Binarundak 3 hari setelah Lebaran. Tradisi ini berupa memasak nasi jaha dan memakannya bersama-sama. Nasi Jaha adalah beras ketan, santan, dan jahe yang dimasukkan ke dalam batang bambu, dilapisi daun pisang kemudian dibakar dengan serabut kelapa. Nasi Jaha dimakan beramai-ramai dengan perantau yang mudik sehingga menjadi acara silaturahmi dan simbol syukur kepada Allah SWT.



 
Asal-usul ketupat

Seperti tradisi-tradisi lain di indonesia pasti memiliki,sejarah latar belakang, tidak jarang ada makna filosofi dari tradisi-tradisi tersebut. Umumnya ketupat identik sebagai hidangan spesial lebaran, tradisi ketupat ini diperkirakan berasal dari saat Islam masuk ke tanah Jawa.


Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.


Ketupat sendiri menurut para ahli memiliki beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua, mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak hari yang fitri.


Ketupat atau Kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara yang dibuat dari beras. Beras ini dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa dan dikukus sehingga matang. Ketupat paling banyak ditemui sekitar waktu Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Ketupat juga sering dihidangkan dengan sate. Bila dihidangkan dengan tahu dan gulai menjadi kupat tahu.Terus jika dihidangkan ditemani sayur labu/buncis menjadi lezat tentunya . Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan sebagainya.


Di antara beberapa kalangan di Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Di Bali ketupat sering pula dipersembahkan sebagai sesajian upacara

Tradisi makan-makan pun dikenal di kalangan "nyama Selam" di Bali. Nyama selam yang artinya saudara dari kalangan Muslim, merupakan sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas Hindu kepada kerabat sekampung yang beragama Islam.

Salah satu tradisi yang kental dilakukan nyama Selam adalah "ngejot" yang sudah berlangsung secara turun temurun. Tradisi ini juga menyiratkan keindahan toleransi beragama. Menjelang Idul Fitri, warga Muslim akan melakukan "ngejot" atau memberikan hidangan kepada masyarakat sekitarnya, tidak peduli apapun agamanya. Tradisi ini sudah dilakukan sejak masa kerajaan dan hampir dapat ditemukan di sebagian besar daerah di Bali. Biasanya, umat Hindu akan memberikan balasan dengan melakukan "ngejot" kepada warga Muslim di hari Nyepi atau Galungan.

Nyama selam adalah sebutan penduduk Bali yang beragama Hindu kepada kerabat mereka yang beragama Islam. Menjelang Hari Raya Idul Fitri warga muslim menggelar tradisi “ngejot” atau membagi-bagikan makanan kepada masayarakat sekitar tanpa membeda-bedakan agama yang dianutnya. Sehingga tercipta keharmonisan saat hari Lebaran nanti.
 

 
Tradisi Ngadongkapkeun di Banten adalah sejenis ucapan persembahan doa sebagai ucapan sukur kepada Allah SWT yang dilanjutkan sungkem pada yang lebih tua. Tradisi ini bisa dilakukan massal atau secara pribadi di rumah an dipimpin oleh kelapa keluarga. Ngadongkapkeun sering dilakukan sehari sebelum Lebaran, setelah buka puasa terakhir.


Malam Takbiran menjadi sangat menakutkan di Pontianak karena suara meriam akan berdentum semalaman. Meriam berukuran jumbo yang terbuat dari batang kayu ini biasa dipasang di tepian sungai Kapuas. Dahulu, meriam ini dinyalakan untuk mengusir kuntilanak, namun sekarang itu dinyalakan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri.






Tradisi Berbaju Baru 


Di Indonesia perayaan Idul Fitri, selalu dibarengi dengan tradisi memakai baju baru. Tidak heran ketika memasuki hari-hari terakhir Ramadan, sejumlah pusat perbelanjaan ramai dikunjungi. Utamanya, mereka datang untuk membeli baju lebaran baru.

Tradisi memakai baju baru ini sudah berlangsung cukup lama, dan turun temurun. Meski tidak ada kewajiban agama untuk melakukannya, namun mayoritas Muslim Indonesia sesudah terbiasa tampil dengan baju baru di hari suci.


Sejak tahun 1596, tradisi memakai baju baru saat lebaran sudah terjadi. Dalam buku Sejarah nasional Indonesia tulisan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan, ketika menyambut lebaran, mayoritas penduduk di bawah kerajaan Banten sibuk menyiapkan baju baru. Namun bedanya waktu itu, hanya sedikit masyarakat yang membeli baju baru. Mayoritas mereka menjahit sendiri, ini lantaran masih terbatasnya teknologi waktu itu. Hanya kalangan kerajaan yang memiliki akses luas mendapatkan baju bagus untuk lebaran.
 
Digambarkan suasana Banten waktu itu ketika menyambut lebaran sangat ramai, berbeda dari hari-hari biasanya. Dan juga, mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani, ramai-ramai berubah menjadi tukang jahit dadakan. Pada malam hari, sepanjang jalanan dipenuhi oleh cahaya obor yang menghiasi di tiap sisi.

Kondisi senada juga terjadi di kerajaan Mataram (Yogyakarta). Memasuki hari terakhir Ramadan, orang-orang Muslim Mataram sibuk membuat pakaian baru untuk dipakai pada hari raya.


Tradisi baju baru juga diiringi dengan pemukulan beduk pada malam hari raya dan sebelum salat Ied. Umumnya beduk yang digunakan terdapat di musola atau surau. Jika hari biasa, beduk-beduk itu digunakan untuk memberitahu waktu masuk salat. Karena waktu itu, jam merupakan benda mahal yang hanya dimiliki oleh kerajaan.

Sama seperti fungsinya untuk memberitahu waktu salat, penggunaan beduk pada malam Idul Fitri adalah untuk menginformasikan jika pada malam itu adalah buka puasa terakhir Ramadan. Begitu juga dengan pemukulan beduk pada saat salat Ied, untuk memberitahukan jika hari itu sudah masuk 1 Syawal.




Semua kenangan itu dalam kemeriahan menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Fitri dari tahun ke tahun semakin hilang nuansa Islami dan kekeluargaannya. Akhir-akhir ini lebih kepada kemeriahan "mudik", para perantau-perantau yang meninggalkan kampunghalamannya untuk bekerja ataupun belajar ke kota lain pulang beramai-ramai saat menjelang lebaran. 

Cukup menarik mengamati geliat kota-kota di musim lebaran 2014 yang baru lewat. Sepanjang perjalanan, mengobservasi hal-hal unik di kota-kota yang dilalui secara kasat mata saja.
Kota pertama yang dianalisis adalah Medan. Karakter kota ini sudah sangat mirip Jakarta, dimana pada masa lebaran kota menjadi lengang di banding hari-hari sebelum dan sesudah lebaran. Meski tidak selengang Jakarta, namun saya cukup surprise dengan situasi dalam kota Medan. Saya berpikir bahwa gejala ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Medan adalah pendatang dari luar kota, dan sekaligus menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi di Medan sudah jauh meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Medan adalah daerah inti yang membutuhkan wilayah penyangga di sekitarnya.



Melihat makin padatnya pengguna jalan di Provinsi Sumatera Utara, sudah selayaknya ada akses jalan tol langsung yang menghubungkan Medan dengan kota-kota penyangga tersebut (Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, dll), sehingga transportasi orang dan barang bisa lebih lancar. Karena evolusi Medan sangat serupa Jakarta, ada kemungkinan masalah-masalah sosial perkotaan yang saat ini terjadi di Jakarta juga akan terjadi di Medan. Kemacetan yang teramat parah yang disikapi dengan rencana pembangunan MRT (mass rapid transportation), atau banjir yang semakin menggila yang direspon dengan wacana membangun deep tunnel, bukan tidak mungkin akan muncul di Medan. Oleh karena itu, semestinya sejak sekarang Pemko Medan sudah harus mengambil langkah strategis untuk mengerem laju urbanisasi, sekaligus mempersiapkan infrastruktur transportasi massal dan sistem sanitasi perkotaan, termasuk peta infrastruktur bawah tanahnya. Tanpa ada persiapan seperti ini, “kegagalan” Jakarta sebagai sebuah kota modern akan terulang di Medan yang hanya akan berkembang menjadi “kampung besar”.



Selanjutnya saya ingin “mengkritik” Tanjungbalai, kota yang telah menjadi tempat tinggal keluarga kami sejak 48 tahun yang lalu. Pada tahun 1983 ketika saya meninggalkan Tanjungbalai untuk melanjutkan kuliah ke Medan, adalah salah satu kota kecil di Sumatera Utara yang cukup dikenal baik masyarakatnya maupun tokoh-tokohnya. Sumatera Utara  menyebut Tanjungbalai sebagai “lumbung para Qori dan Qoriah serta ulama”. Namun setelah 48 tahun berlalu, Sumatera Utara bahkan Indonesia malah menyebutnya sebagai “kota mafia, kota penyelundupan, dan kota narkoba”, yang kemajuannya mungkin sudah jauh tertinggal di banding Kisaran yang dibesarkannya dahulu. 

Memang nampak adanya peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan, serta terjadi kepadatan di pusat kota. Namun, itu hanya terjadi di inti kota (Tanjungbalai Utara dan Selatan), sementara bagian kota yang lain sebagai daerah pemekaran masih sepi seperti tiada perobahan. Bahkan stasiun kereta api dan terminal bus tidak terlihat ada kemajuan yang signifikan seperti perluasan area, lonjakan armada atau frekuensi bongkar muat penumpang, dan sejenisnya. Hanya ada satu pusat perbelanjaan baru (Hypermart). Tidak ada pusat hiburan baru. Tidak ada pula taman-taman bermain baru. Apa yang saya lihat hari ini adalah juga apa yang relatif sama 10-20 tahun lalu. Pustaka Budi, Toko Djagannath,Restoran Tip Top, Restoran Bengawan, Bioskop Horas, Bioskop Garuda, Bioskop Ganesha, Bioskop Ramai, dll sudah tidak ada lagi.



Saya lantas berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan kebijakan di Kota Kerang ini. Paling tidak, Tanjungbalai gagal menciptakan pusat keramaian, pusat perdagangan, atau pusat pertumbuhan baru. Dalam benak saya, mestinya bukan hal sulit bagi Pemko setempat untuk mengarahkan perkembangan kota kearah pemekaran, yakni di Kecamatan Sijambi. Datuk Bandar, Sei. Tualang Raso, Selat Lancang, Pulau Simardan, dll bahkan lebih jauh ke arah Teluk Nibung dan Sei. Suka juga bukan hal yang sulit. Yang dibutuhkan hanyalah perencanaan tata kota yang lebih baik dan berorientasi masa depan, dengan mempertimbangkan fungsi pemukiman, perdagangan, dan ruang terbuka hijau secara seimbang. Dengan kondisi seperti saat ini, nampak sekali bahwa Kota Tanjungbalai identik dengan Jalan Sisingamangaraja, Jl. Teuku Umar dan Jl. Sudirman saja, yang itu berarti tidak ada pemerataan pembangunan. Saat inipun, jalan ini sudah sangat crowded karena kekurang disiplinan para pengguna jalan serta petugas lalinnya (Dishub dan Satlantas) yang kurang bertanggung jawab pada tugasnya.



Saya juga melihat bahwa semangat wirausaha dari penduduk Tanjungbalai sangat rendah. Prosentase ratio pengusaha dibanding total jumlah penduduk Tanjungbalai sangat kecil. Namun dengan melihat pemain-pemain bisnis lama yang bertahan turun temurun di sepanjang Jalan Protokol itu, saya menduga bahwa penduduk Tanjungbalai lebih dominan sebagai konsumen yang konsumtif dibanding para pelaku bisnis yang produktif. Dan nampaknya, pelaku bisnis dari luar daerah agak enggan membuka usaha dan investasi di Tanjungbalai karena prospeknya yang kurang menarik. Dari yang saya amati, penambahan bisnis yang ada hanya terjadi pada skala kecil dan mikro seperti Indomaret dan kuliner, namun tidak ada dealer mobil baru, pabrik industri besar yang menyerap tenaga kerja besar, atau sejenisnya. Malah perusahaan-perusahaan besar yang sudah lama di sana seperti PT. Timur Jaya dan PT. Hari Sawit Jaya sudah kesulitan dalam operasionalisasinya.



Rendahnya jiwa kewirausahaan dari masyarakat inipun boleh dikatakan sebagai kegagalan kebijakan pemerintah setempat. Mungkin sudah ada upaya yang dilakukan, namun dari dampak yang belum terasa menunjukkan bahwa upaya tersebut sangatlah kurang memadai. Untuk itu, revitalisasi kebijakan untuk mendorong tumbuhnya gairah sektor riil dan pertumbuhan UMKM harus terus dikebut. Beberapa langkah promotif yang bisa disarankan misalnya peningkatan kredit usaha yang lebih besar, pemberian insentif fiskal atau non-fiskal bagi pengajuan ijin-ijin usaha baru, penyederhanaan birokrasi perijinan, penyediaan lahan untuk pengembangan kawasan khusus perdagangan, pelatihan wirausaha bagi penduduk lokal, penguatan kemitraan antara usaha besar dan kecil/menengah dalam bentuk “bapak asuh”, pengembangan jejaring dengan pasar global maupun domestik, dan sebagainya. Intinya, pemda setempat harus melakukan analisis tentang pilihan kebijakan terbaik untuk mendorong semakin bergairahnya iklim usaha di daerah.



SELAMAT LEBARAN DALAM BERBAGAI BAHASA DI DUNIA

Indonesia : Selamat Lebaran, Selamat Idul Fitri

Banjar : Salamat Bahari raya

Jawa : Sugeng Riyadin

Padang : Selamet Idul Fitri

Sunda : Wilujeng boboran siyam

Afghanistan : Kochnay Akhtar

Arab : Aid Mubarok

Bangladesh : Rojar Eid

Belanda : Eigendom Mubarak

Bosnia : Ramazanski Bajram

Bulgaria : Pritezhavani Mubarak

Chech : Vlastnictvi Mubarak

Cina : Guoyou Mubalake

Denmark : Ejet Mubarak

Finladia : Omistama Mubarakiin

Inggris : Happy Eid El Fitr

Israel : Bebe’lanat Mawba’rak

Itali : Proprieta Mubarak

Jepang : Chuuko Mubaraku

Jerman : Besitz Mubarak

Korea : Junggo mubarakeu

Kroasia : Vlasnistvu Mubarak

Kurdishtan : Cejna RemezanĂȘ

Malaysia : Salam Aidilfitri

Mesir : Ed Karim atau Eid Sahid

Nigeria : Sallah

Perancis : Fete de l’aid

Persia Iran : Eid-e-Sayed Fitr

Polandia : Wlasnosia Mubarak

Portugis : Mubarak propriedade

Rumania : Mubarak aflate in proprietatea

Rusia : Prinadlezhashchikh Mubarakj

Senegal : Korite

Spanyol : Mubarak, de propiedad

Swedia : Agda Mubarak

Turki : Ramazan Bayrami

Urdu India : Choti Eid

Yunani : Aneekoeen Moeemparak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar