KEBESARAN DAN KEMERIAHAN
LEBARAN ITU MULAI MEMUDAR
Teringat ke masa-masa dahulu saat aku masih berusia
sekolah, menghadapi lebaran (Hari Raya Idul Fitri) dan suasana ketika perayaan
lebaran sangatlah meriah dan indahnya. Rumah-rumah penduduk berhias mulai dari
dalam sampai luarnya, mulai dari mengkapur rumah (waktu itu masih menggunakan kapur dalam
mengecat rumah, kalaupun ada yang menggunakan cat berwarna pastilah dari
kalangan keluarga yang mampu dan berada), mengganti gordin, perabotan baru, merawat
pagar dan tanaman, dll.
Aroma bakaran kue-kue kering dari dapur-dapur penduduk
berseliweran dari mana-mana terbawa angin. Terdengar alu bertalu-talu tanda
sebagian wanitanya sedang menumbuk beras ataupun kacang (kacang tanah dan
kacang hijau) menjadi tepung untuk dijadikan bahan pembuat kue. Sebagian anak
gadisnya lagi sedang merendam buah enau (kolang-kaling) untuk dibuat halua dan
membungkus wajik. Di daerah pinggiran Tanjungbalai seperti Teluk Nibung, Bagan
Asahan, Sungai Kepayang, dll para anak-anak mudanya beramai-ramai mengkacau
dodol dalam wajan yang besar secara bergantian.
Para orang tua sudah menyiapkan baju baru untuk anak-anak
dan keluarganya, tidak banyak dan sederhana saja namun membuat kebahagiaan tersendiri
bagi seluruh keluarga. Pada malam-malam beberapa hari menjelang lebaran (malam
27 Ramadhan sampai malam lebaran) anak-anak memasang lilin berwarna-warni di
pagar-pagar rumahnya dan bermain kembang api yang amat sangat sederhana namun kesederhanaan
ini sungguh berkesan di hati.
Bila malam lebaran tiba maka takbiran bergema dari
seluruh pelosok kampung yang ditakbirkan para anak-anak berkeliling kampung,
tradisi ini akhirnya diakomodir Pemerintah Daerah dengan melaksanakan Takbiran
Bersama keliling Kota Tanjungbalai.
Menyambut lebaran persiapan tempat dengan menghias dan
membuat gapura-gapura bernuansa Islami mengucapkan Selamat hari Raya Idul
Fitri, Minal Aidin Wal Faidzhin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin terpasang di
pintu-pintu masuk lapangan. Aku hampir setiap tahun memperhatikan pembuatannya
yang dilukis Asmadi HS, pelukis Tanjungbalai masa itu. Stadion Asahan Sakti kala
itu digunakan sebagai tempat melaksanakan Sholat Ied baru semenjak akhir tahun
70an beralih ke Lapangan Pasir Tanjungbalai.
Selesai Sholat Ied para keluarga sudah saling mengunjungi
dengan membawa tintingan rantang yang berisi makanan khas lebaran seperti
lontong, ketupat, tapai, mie, kue-kue lebaran, dll. Saling berbagi dan
menikmati penganan buatannya masing-masing. Tali silaturahmi semakin terbina
dengan saling bersimaafan satu sama lainnya. Anak-anak mendapat uang jajan sedikit
dari orang tua dan para sanak keluarganya yang datang tanda bergembira. Inilah
kemudian yang berkembang menjadi tradisi THR dan Angpao Lebaran bagi anak-anak.
Setelah itu anak-anak inipun termasuk aku bersama teman-teman lainnya mencari
beca dayung untuk berkeliling kota dengan pakaian baru. Ongkos beca ini
biasanya dibayar perkepala 7-8 orang. Dalam kesederhanaan dan kemeriahan yang
alami semua bergembira.
Nuansa Lebaran di Indonesia
Apapun agamanya, Lebaran telah menjadi
tradisi perayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Apalagi setiap daerah
memiliki kekhasannya masing-masing dalam merayakan hari raya tersebut. Beberapa daerah merayakan Idul Fitri dengan
festival-festival unik. Sebagian besar malahan merupakan ritual yang berusia
sudah sangat tua. Sayangnya, beberapa tradisi sudah mulai ditinggalkan. Oleh
karena itu, sangat layak jika festival-festival tersebut menjadi agenda wisata
Indonesia agar dapat terus lestari.
Seperti di Bengkulu yang memiliki tradisi
"Bakar Gunung Api". Suku Serawai melakukan tradisi tersebut secara
turun temurun selama beratus tahun. Ritual "Bakar Gunung Api"
dilaksanakan dalam rangka menyambut Idul Fitri. Oleh karena itu, ritual pun
biasa dilakukan di halaman rumah saat malam takbiran atau setelah shalat Isya. Dalam ritual, batok kelapa disusun seperti
tusuk sate sehingga bentuknya menjadi tinggi menjulang, kemudian batok kelapa
dibakar. Ada nuansa magis saat melihat api yang membumbung. Batok kelapa ini
menjadi simbol ucapan syukur kepada Tuhan dan juga doa bagi arwah keluarga agar
tentram di dunia akhirat.
Sementara itu, di Dompu, Nusa Tenggara Barat,
dikenal tradisi membakar ilo sanggari atau lentera. Lentera dipasang di
sekeliling rumah. Tradisi ini sudah mulai jarang dilakukan karena perkembangan
lampu sebagai penerangan modern. Lentera tersebut dibuat dari bambu dan
dililit minyak biji jarak. Kemudian masyarakat memasangnya di sekeliling rumah
lalu dibakar. Ilo sanggari dinyalakan untuk menyambut Idul Fitri. Penduduk
setempat percaya dengan menyalakan lentera, malaikat dan roh leluhur akan
datang dan memberikan berkah di hari Idul Fitri.
Serupa dengan tradisi di Dompu, di Gorontalo
terdapat festival Tumbilotohe. Masyarakat setempat memasang lampu sejak tiga
malam terakhir menjelang Idul Fitri.
Tradisi memasang lampu tersebut awalnya untuk
memudahkan warga memberikat zakat fitrah di malam hari. Kala itu, lampu terbuat
dari damar dan getah pohon. Seiring waktu, lampu diganti dengan minyak kelapa
dan kemudian beralih menggunakan minyak tanah.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad
ke-15 M. Kini, lampu yang dipasang hadir dalam berbagai bentuk dan warna. Lampu
dipasang tak hanya di rumah, melainkan di kantor, masjid, hingga sawah.
Sebelum adanya penerangan seperti lampu, warga Dompu
menyambut hari Lebaran dengan membakar ilo sanggari atau lentera. Warga percaya
bahwa dengan membakar ilo sanggari akan mengundang malaikat dan roh leluhur
yang akan memberikan berkah di hari Lebaran keesokan harinya. Namun sekarang,
tradisi ini jarang dilakukan karena lentera sudah jarang digunakan.
Tradisi ini mirip dengan Bakar Ilo Sanggari di NTB yang
memasang lampu di sekitar rumah. Lampu yang terbuat dari damar dan getah pohon
dipasang sejak 3 malam terakhir menjelang Lebaran. Tujuan festival ini agar
masyarakat mudah dalam memberikan zakat fitrah malam hari. Seiring perkembangan
zaman, lampu yang dipasang kini memiliki berbagai bentuk dan warna.
Tradisi ini biasa dilakukan satu minggu setelah solat
eid. Kegiatannya berupa perang topat dimana warga sekitar saling melempar
ketupat satu sama lain. Tradisi ini dipercaya dapat mengabulkan doa-doa mereka
yang telah dipanjatkan di Hari Raya Idul Fitri.
Beralih ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, para
suku Sasak memiliki tradisi yang disebut Lebaran Topat. Tradisi ini baru
dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri. Saat itu, masyarakat suku Sasak akan
saling bersilahturahmi dan berziarah.
Hanya saja di Pura Lingsar yang berlokasi di
Lombok Barat terdapat tradisi unik yaitu Perang Topat. Masyarakat sekitar pura
akan saling melempar ketupat. Mereka percaya dengan melakukan ritual tersebut,
Tuhan akan mengabulkan doa mereka.
Sedangkan di Pontianak, Kalimantan Barat,
terdapat tradisi yang sudah dilakukan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu.
Festival tersebut disebut sebagai Festival Meriam Karbit.
Meriam karbit merupakan meriam besar dengan
diameter lebih dari 30 sentimeter dan terbuat dari kayu. Meriam tersebut
dipasang di tepian Sungai Kapuas. Saat meriam dinyalakan, suara dentuman keras
akan terdengar membahana. Awalnya, meriam tersebut dibunyikan untuk mengusir
kuntilanak. Kini, meriam itu dibunyikan untuk menyambut Idul Fitri.
Di Yogyakarta, tradisi Grebeg Syawal sudah
sangat terkenal. Grebeg Syawal merupakan sebuah ritual Keraton Yogyakarta dalam
memperingati Idul Fitri yang dilangsukan tepat pada 1 Syawal. Masyarakat setempat percaya, Gunungan Grebeg
membawa berkah dan ketenteraman. Upacara tersebut diawali dengan keluarnya
Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk
didoakan. Gunung Lanang terbuat dari sayur-sayuran dan
hasil bumi lainnya. Gunungan tersebut dikawal oleh prajurit keraton. Nantinya,
masyarakat berebutan mengambil hasil bumi yang terdapat di gunungan. Tradisi
ini pun sudah berlangsung secara turun temurun.Grebeg syawal adalah tradisi “menggerebeg” gunungan yang
berisi kacang panjang, cabai, dan hasil bumi lainnya. Tradisi ini dilakukan
setiap tanggal 1 syawal sebagai perwujudan sedekah dari Sultan kepada
rakyatnya. Masyarakat berebut mendapatkan isi dari gunungan karena dipercaya
dapat mendatangkan berkah dan ketentraman bagi siapa saja yang mengambilnya.
Lebaran tak bisa lepas dari acara
makan-makan. Di Sulawei Utara, masyarakat Motoboi Besar melakukan tradisi
Binarundak atau memasak bersama-sama nasi jaha. Tradisi ini dilakukan tiga hari
setelah Idul Fitri. Sebenarnya, tradisi Binarundak tergolong baru
dan terinspirasi dari tradisi Lebaran Ketupat yang dilakukan di Minahasa dan
Gorontalo. Hanya saja dalam Binarundak, bukan ketupat yang dimakan, melainkan
nasi jaha.
Nasi jaha merupakan makanan khas Sulawesi
Utara yang terbuat dari beras ketan, santan, dan jahe. Campuran ini kemudian
dimasukan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang. Bambu lalu
dibakar dengan serabut kelapa. Dalam perayaan tersebut, bambu-bambu dibakar
di jalanan atau lapangan. Saat matang, nasi jaha dinikmati beramai-ramai oleh
para perantau yang pulang bersama masyarakat setempat. Acara makan bersama pun
menjadi ajang silahturahmi sekaligus sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.
Tradisi kenduri Lebaran di Ketapang-Kalbar adalah tradisi
berkunjung ke rumah kerabat lalu membacakan doa dirumahnya. Kegiatan ini biasa
diiringi dengan tradisi “ketupat colet” yaitu cara memakan ketupat yang berbeda
dengan biasanya. Ketupat yang sudah dipotong-potong tidak boleh dimakan
langsung menggunakan sendok dan lauk pauk, melainkan “dicolet”. Masyakarat Sulawesi Utara melakukan Binarundak 3 hari
setelah Lebaran. Tradisi ini berupa memasak nasi jaha dan memakannya
bersama-sama. Nasi Jaha adalah beras ketan, santan, dan jahe yang dimasukkan ke
dalam batang bambu, dilapisi daun pisang kemudian dibakar dengan serabut
kelapa. Nasi Jaha dimakan beramai-ramai dengan perantau yang mudik sehingga
menjadi acara silaturahmi dan simbol syukur kepada Allah SWT.
Asal-usul ketupat
Seperti tradisi-tradisi
lain di indonesia pasti memiliki,sejarah latar belakang, tidak jarang ada makna
filosofi dari tradisi-tradisi tersebut. Umumnya ketupat identik sebagai hidangan
spesial lebaran, tradisi ketupat ini diperkirakan berasal dari saat Islam masuk
ke tanah Jawa.
Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang
yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan
dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai
seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah
Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa
muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang
lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.
Ketupat sendiri menurut para ahli memiliki
beberapa arti, diantaranya adalah mencerminkan berbagai macam kesalahan
manusia, dilihat dari rumitnya anyaman bungkus ketupat. Yang kedua,
mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala
kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua. Yang ketiga
mencerminkan kesempurnaan, jika dilihat dari bentuk ketupat. Semua itu
dihubungkan dengan kemenangan umat Muslim setelah sebulan lamanya berpuasa dan
akhirnya menginjak hari yang fitri.
Ketupat atau Kupat adalah hidangan khas Asia
Tenggara yang dibuat dari beras. Beras ini dimasukkan ke dalam anyaman daun
kelapa dan dikukus sehingga matang. Ketupat paling banyak ditemui sekitar waktu
Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Ketupat juga
sering dihidangkan dengan sate. Bila dihidangkan dengan tahu dan gulai menjadi
kupat tahu.Terus jika dihidangkan ditemani sayur labu/buncis menjadi lezat
tentunya . Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura
dan sebagainya.
Di antara beberapa kalangan di Jawa, ketupat
sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Di Bali
ketupat sering pula dipersembahkan sebagai sesajian upacara
Tradisi makan-makan pun dikenal di kalangan
"nyama Selam" di Bali. Nyama selam yang artinya saudara dari kalangan
Muslim, merupakan sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas Hindu kepada
kerabat sekampung yang beragama Islam.
Salah satu tradisi yang kental dilakukan
nyama Selam adalah "ngejot" yang sudah berlangsung secara turun
temurun. Tradisi ini juga menyiratkan keindahan toleransi beragama. Menjelang Idul Fitri, warga Muslim akan
melakukan "ngejot" atau memberikan hidangan kepada masyarakat
sekitarnya, tidak peduli apapun agamanya. Tradisi ini sudah dilakukan sejak
masa kerajaan dan hampir dapat ditemukan di sebagian besar daerah di Bali.
Biasanya, umat Hindu akan memberikan balasan dengan melakukan
"ngejot" kepada warga Muslim di hari Nyepi atau Galungan.
Nyama selam adalah sebutan penduduk Bali yang beragama
Hindu kepada kerabat mereka yang beragama Islam. Menjelang Hari Raya Idul Fitri
warga muslim menggelar tradisi “ngejot” atau membagi-bagikan makanan kepada
masayarakat sekitar tanpa membeda-bedakan agama yang dianutnya. Sehingga
tercipta keharmonisan saat hari Lebaran nanti.
Tradisi Ngadongkapkeun di Banten adalah sejenis ucapan
persembahan doa sebagai ucapan sukur kepada Allah SWT yang dilanjutkan sungkem
pada yang lebih tua. Tradisi ini bisa dilakukan massal atau secara pribadi di
rumah an dipimpin oleh kelapa keluarga. Ngadongkapkeun sering dilakukan sehari
sebelum Lebaran, setelah buka puasa terakhir.
Malam Takbiran menjadi sangat menakutkan di Pontianak
karena suara meriam akan berdentum semalaman. Meriam berukuran jumbo yang
terbuat dari batang kayu ini biasa dipasang di tepian sungai Kapuas. Dahulu,
meriam ini dinyalakan untuk mengusir kuntilanak, namun sekarang itu dinyalakan
untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi Berbaju Baru
Di Indonesia perayaan Idul Fitri, selalu
dibarengi dengan tradisi memakai baju baru. Tidak heran ketika memasuki
hari-hari terakhir Ramadan, sejumlah pusat perbelanjaan ramai dikunjungi.
Utamanya, mereka datang untuk membeli baju lebaran baru.
Tradisi memakai baju baru ini sudah
berlangsung cukup lama, dan turun temurun. Meski tidak ada kewajiban agama
untuk melakukannya, namun mayoritas Muslim Indonesia sesudah terbiasa tampil
dengan baju baru di hari suci.
Sejak tahun 1596, tradisi memakai baju baru
saat lebaran sudah terjadi. Dalam buku Sejarah nasional Indonesia tulisan
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan, ketika
menyambut lebaran, mayoritas penduduk di bawah kerajaan Banten sibuk menyiapkan
baju baru. Namun bedanya waktu itu, hanya sedikit
masyarakat yang membeli baju baru. Mayoritas mereka menjahit sendiri, ini lantaran
masih terbatasnya teknologi waktu itu. Hanya kalangan kerajaan yang memiliki
akses luas mendapatkan baju bagus untuk lebaran.
Digambarkan suasana Banten waktu itu ketika
menyambut lebaran sangat ramai, berbeda dari hari-hari biasanya. Dan juga, mayoritas
penduduk yang berprofesi sebagai petani, ramai-ramai berubah menjadi tukang
jahit dadakan. Pada malam hari, sepanjang jalanan dipenuhi oleh cahaya obor
yang menghiasi di tiap sisi.
Kondisi senada juga terjadi di kerajaan
Mataram (Yogyakarta). Memasuki hari terakhir Ramadan, orang-orang Muslim
Mataram sibuk membuat pakaian baru untuk dipakai pada hari raya.
Tradisi baju baru juga diiringi dengan
pemukulan beduk pada malam hari raya dan sebelum salat Ied. Umumnya beduk yang
digunakan terdapat di musola atau surau. Jika hari biasa, beduk-beduk itu
digunakan untuk memberitahu waktu masuk salat. Karena waktu itu, jam merupakan
benda mahal yang hanya dimiliki oleh kerajaan.
Sama seperti fungsinya untuk memberitahu
waktu salat, penggunaan beduk pada malam Idul Fitri adalah untuk
menginformasikan jika pada malam itu adalah buka puasa terakhir Ramadan. Begitu
juga dengan pemukulan beduk pada saat salat Ied, untuk memberitahukan jika hari
itu sudah masuk 1 Syawal.
Semua kenangan itu dalam kemeriahan menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Fitri dari tahun ke tahun semakin hilang nuansa Islami dan kekeluargaannya. Akhir-akhir ini lebih kepada kemeriahan "mudik", para perantau-perantau yang meninggalkan kampunghalamannya untuk bekerja ataupun belajar ke kota lain pulang beramai-ramai saat menjelang lebaran.
Cukup
menarik mengamati geliat kota-kota di musim lebaran 2014 yang baru lewat.
Sepanjang perjalanan, mengobservasi hal-hal unik di kota-kota yang dilalui secara kasat mata saja.
Kota
pertama yang dianalisis adalah Medan. Karakter
kota ini sudah sangat mirip Jakarta, dimana pada masa lebaran kota menjadi
lengang di banding hari-hari sebelum dan sesudah lebaran. Meski tidak selengang
Jakarta, namun saya cukup surprise dengan
situasi dalam kota Medan. Saya berpikir bahwa gejala ini mengindikasikan
bahwa sebagian besar penduduk Medan adalah pendatang dari luar kota, dan
sekaligus menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi di Medan sudah jauh meningkat
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Medan adalah daerah inti yang membutuhkan wilayah penyangga di sekitarnya.
Melihat makin padatnya pengguna jalan di Provinsi Sumatera Utara, sudah selayaknya ada akses jalan tol langsung yang
menghubungkan Medan dengan kota-kota penyangga tersebut (Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, dll), sehingga
transportasi orang dan barang bisa lebih lancar. Karena evolusi Medan sangat serupa Jakarta, ada
kemungkinan masalah-masalah sosial perkotaan yang saat ini terjadi di Jakarta
juga akan terjadi di Medan. Kemacetan yang teramat parah yang disikapi dengan
rencana pembangunan MRT (mass rapid
transportation), atau banjir yang semakin menggila yang direspon dengan
wacana membangun deep tunnel, bukan
tidak mungkin akan muncul di Medan. Oleh karena itu, semestinya sejak
sekarang Pemko Medan sudah harus mengambil langkah strategis untuk mengerem
laju urbanisasi, sekaligus mempersiapkan infrastruktur transportasi massal dan
sistem sanitasi perkotaan, termasuk peta infrastruktur bawah tanahnya. Tanpa
ada persiapan seperti ini, “kegagalan” Jakarta sebagai sebuah kota modern akan
terulang di Medan yang hanya akan berkembang menjadi “kampung besar”.
Selanjutnya
saya ingin “mengkritik” Tanjungbalai, kota yang telah menjadi tempat tinggal
keluarga kami sejak 48 tahun yang lalu. Pada tahun 1983 ketika saya meninggalkan Tanjungbalai untuk melanjutkan kuliah ke Medan, adalah salah satu kota kecil di Sumatera Utara yang cukup dikenal baik masyarakatnya maupun tokoh-tokohnya. Sumatera Utara menyebut Tanjungbalai sebagai “lumbung para Qori dan Qoriah serta ulama”. Namun setelah 48 tahun berlalu, Sumatera Utara bahkan Indonesia malah menyebutnya
sebagai “kota mafia, kota penyelundupan, dan kota narkoba”, yang kemajuannya mungkin sudah jauh tertinggal di banding
Kisaran yang dibesarkannya dahulu.
Memang nampak adanya peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan,
serta terjadi kepadatan di pusat kota. Namun, itu hanya terjadi di inti kota (Tanjungbalai Utara dan Selatan),
sementara bagian kota yang lain sebagai daerah pemekaran masih sepi seperti tiada perobahan.
Bahkan stasiun kereta api dan terminal bus tidak terlihat ada kemajuan yang
signifikan seperti perluasan area, lonjakan armada atau frekuensi bongkar muat
penumpang, dan sejenisnya. Hanya ada satu pusat perbelanjaan baru (Hypermart). Tidak ada pusat
hiburan baru. Tidak ada pula taman-taman bermain baru. Apa yang saya lihat hari
ini adalah juga apa yang relatif sama 10-20 tahun lalu. Pustaka Budi, Toko Djagannath,Restoran Tip Top, Restoran Bengawan, Bioskop Horas, Bioskop Garuda, Bioskop Ganesha, Bioskop Ramai, dll sudah tidak ada lagi.
Saya
lantas berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan kebijakan di Kota Kerang ini. Paling tidak, Tanjungbalai gagal menciptakan pusat keramaian, pusat
perdagangan, atau pusat pertumbuhan baru. Dalam benak saya, mestinya bukan hal
sulit bagi Pemko setempat untuk mengarahkan perkembangan kota kearah pemekaran,
yakni di Kecamatan Sijambi. Datuk Bandar, Sei. Tualang Raso, Selat Lancang, Pulau Simardan, dll bahkan lebih jauh ke arah Teluk Nibung dan Sei. Suka juga bukan hal yang sulit. Yang dibutuhkan hanyalah perencanaan tata
kota yang lebih baik dan berorientasi masa depan, dengan mempertimbangkan
fungsi pemukiman, perdagangan, dan ruang terbuka hijau secara seimbang. Dengan
kondisi seperti saat ini, nampak sekali bahwa Kota Tanjungbalai identik dengan Jalan Sisingamangaraja, Jl. Teuku Umar dan Jl. Sudirman saja, yang itu berarti tidak ada pemerataan pembangunan. Saat inipun, jalan
ini sudah sangat crowded karena kekurang disiplinan para pengguna jalan serta petugas lalinnya (Dishub dan Satlantas) yang kurang bertanggung jawab pada tugasnya.
Saya
juga melihat bahwa semangat wirausaha dari penduduk Tanjungbalai sangat rendah. Prosentase ratio pengusaha dibanding total jumlah penduduk Tanjungbalai sangat kecil. Namun
dengan melihat pemain-pemain bisnis lama yang bertahan turun temurun di
sepanjang Jalan Protokol itu, saya menduga bahwa penduduk Tanjungbalai lebih dominan
sebagai konsumen yang konsumtif dibanding para pelaku bisnis yang produktif.
Dan nampaknya, pelaku bisnis dari luar daerah agak enggan membuka usaha dan
investasi di Tanjungbalai karena prospeknya yang kurang menarik. Dari yang saya
amati, penambahan bisnis yang ada hanya terjadi pada skala kecil dan mikro
seperti Indomaret dan kuliner, namun tidak ada dealer mobil baru, pabrik
industri besar yang menyerap tenaga kerja besar, atau sejenisnya. Malah perusahaan-perusahaan besar yang sudah lama di sana seperti PT. Timur Jaya dan PT. Hari Sawit Jaya sudah kesulitan dalam operasionalisasinya.
Rendahnya
jiwa kewirausahaan dari masyarakat inipun boleh dikatakan sebagai
kegagalan kebijakan pemerintah setempat. Mungkin sudah ada upaya yang
dilakukan, namun dari dampak yang belum terasa menunjukkan bahwa upaya tersebut
sangatlah kurang memadai. Untuk itu, revitalisasi kebijakan untuk mendorong
tumbuhnya gairah sektor riil dan pertumbuhan UMKM harus terus dikebut. Beberapa
langkah promotif yang bisa disarankan misalnya peningkatan kredit usaha yang
lebih besar, pemberian insentif fiskal atau non-fiskal bagi pengajuan ijin-ijin
usaha baru, penyederhanaan birokrasi perijinan, penyediaan lahan untuk
pengembangan kawasan khusus perdagangan, pelatihan wirausaha bagi penduduk
lokal, penguatan kemitraan antara usaha besar dan kecil/menengah dalam bentuk
“bapak asuh”, pengembangan jejaring dengan pasar global maupun domestik, dan
sebagainya. Intinya, pemda setempat harus melakukan analisis tentang pilihan
kebijakan terbaik untuk mendorong semakin bergairahnya iklim usaha di daerah.
SELAMAT LEBARAN DALAM BERBAGAI BAHASA DI
DUNIA
Indonesia : Selamat Lebaran, Selamat Idul
Fitri
Banjar : Salamat Bahari raya
Jawa : Sugeng Riyadin
Padang : Selamet Idul Fitri
Sunda : Wilujeng boboran siyam
Afghanistan : Kochnay Akhtar
Arab : Aid Mubarok
Bangladesh : Rojar Eid
Belanda : Eigendom Mubarak
Bosnia : Ramazanski Bajram
Bulgaria : Pritezhavani Mubarak
Chech : Vlastnictvi Mubarak
Cina : Guoyou Mubalake
Denmark : Ejet Mubarak
Finladia : Omistama Mubarakiin
Inggris : Happy Eid El Fitr
Israel :
Bebe’lanat Mawba’rak
Itali :
Proprieta Mubarak
Jepang :
Chuuko Mubaraku
Jerman :
Besitz Mubarak
Korea :
Junggo mubarakeu
Kroasia :
Vlasnistvu Mubarak
Kurdishtan :
Cejna RemezanĂȘ
Malaysia :
Salam Aidilfitri
Mesir : Ed
Karim atau Eid Sahid
Nigeria :
Sallah
Perancis :
Fete de l’aid
Persia Iran
: Eid-e-Sayed Fitr
Polandia :
Wlasnosia Mubarak
Portugis :
Mubarak propriedade
Rumania :
Mubarak aflate in proprietatea
Rusia :
Prinadlezhashchikh Mubarakj
Senegal :
Korite
Spanyol :
Mubarak, de propiedad
Swedia :
Agda Mubarak
Turki :
Ramazan Bayrami
Urdu India :
Choti Eid
Yunani :
Aneekoeen Moeemparak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar