TANJUNGBALAI SAYANG TANJUNGBALAIKU MALANG
(1)
Seorang putra daerah sekalipun bila telah lama meninggalkan
Tanjungbalai (apalagi sejak tahun 80an kebawah) dan pada suatu kesempatan
kembali atau berkunjung kesini bisa dipastikan akan merasa “terkejut” dengan
suasana kota dan masyarakatnya.
Terkejut disini mungkin saja berkonotasi takjub dan kagum, tetapi bisa juga menunjukkan bahasa tubuh yang terkaget-kaget kebingungan dan rasa tidak percaya dengan keadaan terkini, karena banyaknya perubahan yang terjadi pada masyarakatnya dari dahulu yang terkenal ramah, sopan santun, taat beribadah, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, membela teman, suka bergotong royong, bekerjasama, peduli dan membantu sesama. Semua itu kini sudah amat susah kita temukan dari jiwa dan wajah-wajah terkontaminasi modernisasi yang melanda sebagian masyarakat kota ini. Kaum muda setempat sudah tidak mau tahu dengan masa depan dirinya apalagi kotanya, tidak mau ambil pusing dengan kemerosotan jiwa dan moral, tidak ambil peduli dengan kebijakan pemegang kekuasaan yang jauh dari amanah. Seolah-olah timbul ajaran baru yang dianut menjadi keyakinan “yang porlu jolas’, semua menginginkan instan, sekarang juga. Bukan bertahap, berkesinambungan dan menatap jauh kedepan.
Mengapa sebagian besar generasi muda Tanjungbalai
masa kini telah terdegradasi dan
mengalami dekadensi moral yang demikian parah ?
Bila dikaji dan dianalisa lebih jauh ini semua tidak
terlepas dari sistem pemerintahan dan penguasa setempat yang tidak berdaya
terhadap kekuatan cukong-cukong serta mengambil sifat “Aji Mumpung” saja. Hal
ini berlangsung sejak akhir tahun 80 an sampai sekarang. Masa kedahsyatannya
terjadi di era 90an.
Sejak 1987 luas wilayah Kota Tanjungbalai sudah 60,52 km² dari sebelumnya hanya 199 ha (2 km²) dari
Pelabuhan Tanjungbalai sampai jembatan Batu Dua Sijambi (pabrik es) dan dari
Pulo Simardan sampai Kapias Titi Gantung. Penduduknya berdasarkan Hasil Sensus
Penduduk 2010 berjumlah 154.445 jiwa terdiri atas 77.933 jiwa dan 76.512 jiwa
perempuan. Penduduk Kecamatan terbanyak berada di Kecamatan Teluknibung dengan
jumlah penduduk 35.802 jiwa sedangkan yang terendah berada di Kecamatan
Tanjungbalai Utara Dengan jumlah penduduk 15.862 jiwa, tak heran Dapil ini pada
Pileg yang baru lalu banyak diperebutkan dan menjadi inceran Caleg-Caleg
mumpuni. Jumlah Penduduk di Kecamatan lainnya adalah : Penduduk Kecamatan Datuk
Bandar berjumlah 33.797 jiwa, Penduduk Kecamatan Datuk Bandar Timur berjumlah 26.942
jiwa, Penduduk Kecamatan Tanjungbalai Selatan berjumlah 19.330 jiwa, Penduduk
Kecamatan Tanjungbalai Utara berjumlah 15.862 jiwa, dan Penduduk Kecamatan Sei
Tualang Raso berjumlah 22.712 jiwa. Sebelum diperluas kota ini pernah menjadi
kota terpadat di kawasan Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang
40.000 orang, ini berarti dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa
per km². Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan
batas wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan.
Dari data statistik tersebut
dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk laki-laki Tanjungbalai lebih banyak dari
penduduk perempuannya. Hal ini mungkin saja disebabkan karena tingginya angka
migrasi pencari kerja yang masuk ke Tanjungbalai, terutama yang bekerja sebagai
buruh bongkar muat, kilang, supir angkutan, beca, ojek, dan nelayan tradisional
maupun modern.
Bila Pemerintah Daerahnya bijak
tentu hal ini akan menjadi perhatian khusus baginya dalam menyiapkan lapangan
kerja bagi putra-putra setempat, bukan perantau apalagi orang asing. Tapi
nyatanya Pemerintah Kota Tanjungbalai lalai atau mungkin tidak mau perduli
terhadap kesulitan pekerjaan masyarakat aslinya sendiri bahkan termarginalisasi
oleh sistem dan para pendatang. Mengapa bisa? Jangan lupa bahwa Pemerintah Daerah
adalah Pejabat Publik yang membuat kebijakan-kebijakan untuk Pelayanan Publik.
Sekali lagi ingat, publik atau masyarakat. Mereka adalah pelayan dan bukan yang
dilayani. Ini harus kita garis bawahi. Setiap kebijakan yang bukan untuk
kepentingan masyarakatnya tetapi karena dilandasi kepentingan kekuasaan,
kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan kepentingan persekongkolan
semuanya adalah untuk kepentingan sesaat, ataupun kepentingan melanggengkan
kekuasaan, ataupun kepentingan untuk memperkaya diri sendiri dan nepotisme.
Adakah ini menjadi stresing Pemko Tanjungbalai dalam menyiapkan lapangan
pekerjaan bagi putra daerahnya?
Tingginya tingkat pengangguran di
Kota Tanjungbalai tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah utamanya
Pemerintah Kota Tanjungbalai. Pemerintah Kota terlihat belum mampu menyiapkan
lapangan pekerjaan sejalan juga dengan ketidak mampuannya mempersiapkan usia
kerja yang siap pakai. Penyiapan SDM masyarakat yang mempunyai skill dan siap
pakai sesuai dengan kebutuhan daerah sebenarnya sudah mulai dirintis dimasa
kepemimpinan dr. Sutrisno Hadi, SpOG dengan membangun Politeknik Tanjungbalai
dengan menggandeng Perguruan-Perguruan Tinggi di Sumatera Utara bahkan ITB
Bandung. Gedung, infrastruktur, serta media belajar mengajarnya banyak mendapat
bantuan dari Pusat maupun Pemprovsu sejalan dengan kebijakan nasional untuk
memberikan pendidikan yang layak bagi masyarakat. Kitapun memaklumi bahwa
kemampuan APBD Tanjungbalai tidak akan mampu mengatasinya sendiri. Disinilah kepiawaian
seorang dr. Sutrisno Hadi, SpOG yang berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui usulan-usulan yang ilmiah dan
rasional dengan menggunakan tenaga-tenaga surveyor dan konsultan ahli. Kita
harus angkat topi pada beliau.
Sayangnya sejak beralihnya
kepemimpinan beliau kebijakan ini tidak dikembangkan, terasa stagnan malah
kalau boleh disebut terjadi langkah mundur. Banyak kepentingan-kepentingan
pribadi yang muncul dalam pengelolaan Poltan ini. Anggaran dan proyek menjadi
inceran semata, bukannya memikirkan bagaimana untuk melahirkan putra putri
Tanjungbalai yang berkemampuan khusus di bidang agrobahari dan agromaritim.
Tidak pula memikirkan bagaimana menyiapkan lapangan pekerjaan bagi
mereka-mereka itu yang akan menyelesaikan pendidikannya nanti. Jauh panggang
dari api. Para penguasa sibuk dengan aji mumpungnya dan kalu dapat bagaimana
satu keluarga duduk di kursi kekuasaan untuk sama-sama menggerogoti dana
masyarakat. Duhai malangnya.
Hubungan Forum Komunikasi
Pimpinan Daerah (dulu disebut Muspida) saat ini terlihat kurang intensif
seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. Tidak adanya koordinasi baik lintas
instansi pemerintah secara horizontal maupun vertikal, misalnya dalam
penanggulangan masalah narkoba dan kenakalan remaja. Tidak terlihat ada upaya
Pemerintah Kota bersama Kepolisian, Kodim, Kejaksaan, Pengadilan Negeri
ditambah unsur plus lainnya seperti Bea dan Cukai, PLN, dan unsur pemerintah
lainnya duduk satu meja membicarakan program-program apa yang harus disusun
bersama dalam mengatasi keamanan dan kenyamanan kota. Padahal titik sentral
semua permasalahan di Tanjungbalai pemecahannya berada instansi-instansi
pemerintah ini. Mengapa tidak pernah terdengar keluarnya sebuah program bersama
di Tanjungbalai ini? Kemana dan dimana mereka?
Sudah jamak terdengar bahwa
Tanjungbalai adalah sarangnya penyelundupan. Sejak dahulu diwaktu Tanjungbalai
punya pelabuhan sendiri (masa itu Pelabuhan Teluk Nibung masuk wilayah
Kabupaten Asahan), dimasa kapal-kapal kayu ukuran sedang dapat masuk menyusuri
Sungai Asahan dan bersandar di Pelabuhan (Boom) Jl. Asahan Tanjungbalai
penyelundupan (smoukel) ini sudah ada. Tapi masih sebatas kebutuhan pokok
masyarakat saja. Masa dahulu ada juga penyelundupan candu oleh masyarakat non
pribumi dari tanah seberang bahkan dari Tiongkok tapi itupun masih tingkat
dikonsumsi oleh kalangan mereka sendiri tidak meluas sampai ke masyarakat
lainnya. Aparat waktu itupun kelihatan seperti picing mata saja atau ada kong
kalikong diantara mereka. Apakah ini dasar atau cikal bakal tumbuh dan
merebaknya penyelundupan di Tanjungbalai sekarang ini? Benar memang ada benang
merahnya.
Ada beberapa kelemahan yang cukup
elementer dalam membangun hubungan koordinasi lintas instansi pemerintah. Untuk
Pemerintah Daerah seorang Kepala Daerah bersama Wakilnya dipilih langsung oleh
masyarakat melalui Pilkada untuk masa bakti 5 (lima) tahun, sedangkan pimpinan
lembaga negara di daerah Kota/Kabupaten dihunjuk oleh Kementerian/Non
Kemeteriannya melalui Surat Keputusan.
Seorang Kapolresta, Dandim, Kajari, Ka. PN dapat berganti kapan saja dan sesuai penghunjukan instansinya. Membangun kerjasama disamping berbicara tentang masing-masing kelembagaannya tentu juga tak terlepas dari faktor tipikal seorang pimpinan itu.
Tanjungbalai sering menghadapi
dilema terhadap keadaan ini, misalnya saja seorang Kepala Kepolisian Resort
Kota Tanjungbalai ataupun seorang Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungbalai yang
sudah memasyarakat dan dapat diterima masyarakat karena sebuah tugas baru dari
pimpinannya harus pindah dari kota ini. Kalau itu sebuah prestasi untuk
dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi tentu sangat dimaklumi. Tapi tak
jarang pula karena adanya suatu intervensi dari atas atau pengaruh eksternal lainnya
seperti pejabat, cukong dan pengusaha seseorang pejabat yang kadung dicintai
masyarakat “digeser” ke tempat lain. Hal ini membuat hubungan kerjasama ataupun
koordinasi kembali stagnan bila pejabat pengganti mengambil waktu untuk
menyesuaikan diri dan “belajar” kembali akan situasi dan kondisi kota.
Waktu
tentunya tidak akan berhenti sementara masa bakti masing-masing pejabat juga
ada batasnya. Kondisi ini terjadi berulang-ulang pada masing-masing instansi,
hingga akhirnya periode seorang Kepala Daerah berakhir. Untuk itu perlu juga
difikirkan jalan keluarnya akan kendala koordinasi seperti ini. Jika perlu dan
memang harus berani mengusulkan ke Pusat melalui DPRD Kota untuk mengusulkan
bilamana terjadi mutasi pimpinan sebuah lembaga pemerintah di kota ini harus
dengan sepengetahuan ataupun usul dari kota ini sendiri (DPRD Kota) begitu pula
dengan penggantinya harus diketahui jelas rekam jejaknya. Kota ini sudah harus
berani melawan intervensi Pusat bila itu tidak diinginkan masyarakat.
Perjuangkanlah putra-putra daerah untuk memimpin lembaga pemerintah di
daerahnya sendiri, kalau tidak ada paling tidak figur yang sudah mengenal betul
akan Tanjungbalai.
Letak geografi Tanjungbalai yang
berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand
serta didukung pula kondisi geografis yang mempunyai banyak sungai-sungai kecil
bermuara ke Sungai Asahan dan akhirnya Sungai Asahan bermuara pula ke Selat
Malaka yang menghubungkan ke negara-negara tetangga tersebut. Waktu tempuh dari
Pelabuhan Teluk Nibung ke Port Klang-Malaysia menggunakan kapal ferry hanya
sekitar 4 jam saja, bila menggunakan boat nelayan berkisar diantara 10 – 12 jam
saja.
Apalagi Selat Malaka merupakan perairan yang relatif aman dari badai dan
gelombang karena hanya merupakan selat yang diapit oleh dua pulau besar Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia dan
ramai dilintasi sebagai jalur perairan Internasional. Selat Malaka seolah seperti
sebuah Kanal atau Terusan yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Cina
Selatan. Kalau Negara-Negara Arab mempunyai Terusan Suez dan Amerika mempunyai
Terusan Panama yang dibuat manusia dengan berbiaya super besar maka Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan Singapura punya Selat anugerah Illahi yang setiap hari
ramai dilewati kapal-kapal cargo, tanker, penumpang, pesiar , dan boat sampai
perahu nelayan.
Tanjungbalai yang berdataran
rendah (0-3 M dari permukaan laut) dengan banyak memiliki sungai-sungai kecil
seperti Sungai Tualang Raso, Sungai Apung, Sungai Merbau, Sungai Selat Lancang,
Sungai Pante Burung, dan Sungai Bandar Jopang. Juga memiliki dua sungai besar yaitu Sungai Silau dan Sungai Asahan sebagai
muara sungai-sungai kecil tersebut, dimana Sungai Silau juga bermuara ke Sungai
Asahan (tepian tempat pertemuan kedua sungai inilah asal mula sejarah nama kota
ini, Balai di Ujung Tanjung). Kondisi dan kontur tanah tersebut menimbulkan
banyak paluh-paluh disisi kiri dan kanan sungai – sungai ini tempat
bersembunyinya para penyelundup (smoukel) pada masa dahulu menghindari
pengawasan ataupun kejaran aparat pantai dan pelabuhan seperti Bea dan Cukai
(dahulu disebut dengan Pabean atau Douane), Polisi Perairan, KPLP, dan AL yang
sering berpatroli.
Biasanya untuk menghindari pantauan petugas para smoukel ini
bila sampai dari negeri seberang pada siang hari bertambat dahulu di
paluh-paluh ini dan baru pada malam harinya masuk ke Tanjungbalai melalui
sungai-sungai kecil dan menyisir pesisir Sungai Asahan maupun Sungai Silau.
Perlu
diketahui bahwa Kapal Patroli Petugas tidak dapat masuk ke sungai-sungai kecil
dan dangkal. Itu makanya pada masa dahulu penyelundupan tradisional yang
menggunakan perahu layar sudah tumbuh di Tanjungbalai ini bahkan melibatkan
para pesmoukel dari daerah bertetangga seperti Labuhan Batu dan Riau
(Panipahan, Bengkalis, Siak, dll) untuk bertransaksi di Tanjungbalai menjual
barang bawaannya dari negeri seberang seperti barang-barang tekstil, sandal, sepatu,
minyak wangi, gula, tepung, kertas, botol, dll bahan komoditi pokok masyarakat.
Barang-barang yang akan dibawa ke negeri seberang juga banyak diperoleh mereka dari
Tanjungbalai seperti hasil-hasil bumi dan pertanian serta hasil-hasil hutan.
Para penyelundup tradisional (smoukel) ini dari penampilannya sehari-hari dapat dilihat perbedaannya daripada masyarakat biasa lainnya. Pakaian, sepatu, arloji bahkan farfum yang mereka gunakan serta rokok yang mereka isap sudah bermerek luar negeri. Mereka sudah tidak malu-malu lagi mempublish diri mereka di tengah-tengah masyarakat lainnya sebagai seorang penyelundup.
Bahkan menjadi kebanggaan sendiri karena sudah akrab dengan produk-produk luar negeri. Dengan uang berlimpah yang mereka miliki hidupnya semakin makmur dan secara perlahan karena kurangnya dasar keimanan yang kuat lambat laun membentuk pola kehidupan suka berfoya-foya, senang mencari tempat-tempat hiburan, berjudi, menghambur-hamburkan uang kesana kemari.
Pola hidup seperti itu menjadikan mereka semakin mudah mencari teman dan disanjung-sanjung sebagai seorang pemurah, sosialis dan dermawan. Para aparat hukum yang bertugas di Tanjungbalai kebanyakan adalah orang pendatang yang ingin mencari teman dan membunuh rasa kesepiannya yang jauh meninggalkan keluarga akan senang berteman dengan para pesmoukel ini. Uang dapat kesenangan dapat. Inilah akar mula persekongkolan itu.
Dalam lingkungan masyarakat para
pesmoukel (penyelundup tradisional) ini bergaul cukup baik dan sering membantu
kesulitan masyarakat sekitar. Itu semua dalam upaya mengamankan bisnisnya disamping
itu ia perlu memperluas pergaulan terutama terhadap pihak-pihak aparat hukum
dan preman (baca : para pemuda pengangguran dan putus sekolah).
Terjadi angka peningkatan ekonomi
masyarakat, karena roda ekonomi di kota ini berputar dengan baik. Buruh dan
pedagang kehidupannya di atas rata-rata kehidupan masyarakat buruh dan pedagang
di daerah lainnya di Sumatera Utara. Berimbas pula terhadap petani dan nelayan,
juga terhadap karyawan dan aparatur negara (PNS dan TNI/Polri). Kota semakin
bergairah dan terlihat kemajuan disana sini.
Tapi semuanya itu adalah kemajuan
dan peningkatan ekonomi yang semu. Semua ada dalam sirkulasi roda perekonomian
yang digerakkan dari sektor illegal. Pemerintah dan masyarakat lupa dalam
pembangunan sebuah masyarakat dan negara maupun daerah yang paling mendasar
adalah SDM masyarakatnya, pendidikan terabaikan dan terlupakan. Aparat
Pemerintah terbius kenikmatan persekongkolan dan masyarakatnya terbuai mudahnya
mendapatkan rezeki dan uang. Karena tergiur kemewahan dan kesenangan hidup yang
semu banyak pemuda-pemuda setempat melupakan pendidikannya dan merasa lebih tertarik
bergaul dengan para pesmoukel atau tak jarang terlibat langsung sebagai pemain.
Mirisnya kehidupan beragama kota
ini dari hari kehari semakin terkikis terkena erosi kemewahan hidup. Dunia malam
penuh hiburan dan penghibur tumbuh
dimana-mana bahkan berimbas juga kepada kota sekitar seperti Kisaran, P.
Siantar bahkan Medan. Pelanggan terbaiknya tak lain adalah mereka-mereka itu.
Jadi ada korelasi antara maraknya
penyelundupan dengan tingginya tingkat pengangguran dan pemuda putus sekolah.
Ini harus kita garis bawahi, sekali lagi harus kita garis bawahi.
Pada masa sebelum merdeka dan
awal kemerdekaan para penyelundup di
perairan Asahan dan Labuhan Batu di pesisir Selat Malaka membawa ke negeri
seberang Semenanjung Malaysia dan Tumasik (Singapura sekarang) berupa hasil-hasil
bumi, hutan dan pertanian (damar, kemenyan, belerang, rotan, padi, dll), tembikar
dan hasil-hasil kerajinan.
Sementara itu barang-barang yang
dibawa masuk sebagian besar adalah barang-barang komoditi yang dibutuhkan masyarakat
seperti : kain plekat, tekstil, pakaian, kaus, sandal, sepatu, farfum, biskuit,
mentega, buah-buahan, dll. Barang-barang selundupan itu dibawa dalam jumlah kecil
karena harus disembunyikan di dalam perahu layar yang berukuran kecil pula.
Kegiatan penyelundupan kala itu bersifat insidentil dan tidak rutin seperti
maraknya penyelundupan sekarang yang telah menggunakan moda angkutan air bermesin
secara reguler.
Insidentil karena masa itu masih menggunakan
perahu layar yang harus melihat kondisi air laut pasang/surut, arah angin
berhembus, cuaca dan musim. Disamping pula harus mempersiapkan stok barang yang
akan dimuat karena barang yang akan dibawa ini tidak selalu ada setiap harinya
ataupun dalam jumlah yang cukup.
Memuatnyapun harus
sembunyi-sembunyi pada malam hari dan harus tanpa penerangan untuk menghindari
perhatian orang, di tempat-tempat yang tersembunyi pula seperti paluh-paluh,
anak-anak sungai yang sulit dijangkau ataupun rumah-rumah penduduk di tepi
sungai yang terasing dari lainnya.
Masa itu penyelundupan
barang-barang terlarang seperti madat dan candu memamg telah ada tapi itupun
dilakukan sebatas pada para pelaut non pribumi tertentu. Diantara pelaut-pelaut
keturunan pendatang ini karena desakan ekonomi untuk bertahan hidup diri dan
keluarganya di perantauan melahirkan cikal-bakal insan-insan yang berani menyerempet-nyerempet
hukum negara. Mereka itu adalah pelaut-pelaut keturunan etnis Tionghoa yang
berasal dari pesisir Riau seperti Panipahan, Bengkalis, dan Bagan Siapi-Api.
Pelaut-pelaut etnis turunan ini awal mulanya adalah pendatang dari Palembang
dan Bangka Belitung (Sejarah Panglima Cheng Ho). Lama kelamaan keturunannya
masuk dan berkembang pula ke daerah Labuhan Batu dan Asahan.
Barang-barang terlarang ini
mereka perjual belikan di kalangan mereka sendiri secara face to face tanpa
perantara dalam jumlah yang kecil untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk
diperjual belikan kembali. Masa itu memang banyak pecandu dan pemadat di
kalangan etnis Tionghoa bermukim di daerah Asahan, Labuhan Batu (seperti
Tanjung Leidong, Simandulang, Sei. Brombang, dll), dan Riau (Panipahan,
Bengkalis, Bagan Siapi-Api. Pecandu dan pemadat merupakan kebiasaan buruk yang
hidup di tengah-tengah masyarakat etnis turunan Tionghoa yang dibawa mereka
dari tanah leluhur.
Hubungan pertemanan antara para peneyelundup dengan aparat negara dan pemerintah di
Tanjungbalai dari masa ke masa mengalami perkembangan yang unik. Kalau di masa
dahulu awalnya hanya pertemanan di meja minuman ataupun di tempat-tempat
hiburan. Si pendatang adalah aparat negara dan pemerintah yang ditugaskan
pimpinannya bertugas di Tanjungbalai, perlu teman untuk membunuh waktu dan kesepiannya
yang berada jauh dari sanak saudara keluarga. Si pesmoukel punya banyak uang
dan perlu banyak teman yang dapat melindungi dan mengamankan bisnisnya.
Hubungan mutualisma ini dari hari ke hari berkembang menjadi saling membutuhkan dan saling beketergantungan satu sama lainnya.
Hubungan mutualisma ini dari hari ke hari berkembang menjadi saling membutuhkan dan saling beketergantungan satu sama lainnya.
Untuk mendapatkan pendidikan, promosi atau menduduki jabatan
yang lebih baik seorang aparat itu memerlukan dana yang tidak sedikit yang kadangkala
tidak dapat diadakannya sendiri atau juga mungkin mencari jalan yang lebih
mudah dan tidak memberatkan diri dan keluarganya. Dengan adanya ikatan
pertemanan serta adanya imbal balik yang akan didapatkan oleh para pesmoukel
ini nantinya, diharapkan nanti si teman aparat tadi akan menduduki jabatan yang
lebih baik atau lebih tinggi sehingga bisnisnya akan menjadi lebih aman atau
malah semakin dapat dikembangkan. Banyaklah panyelundup ini membantu dana dan
pembiayaan bagi pengembangan karier koleganya demi pengabdian untuk mereka juga
nantinya.
Diantara para kolega yang mereka dukung dalam pendidikan dan
promosi jabatan itu sebagian besar memang berhasil dalam kariernya. Seiring dengan
perjalanan waktu maka bertebaranlah teman-teman mereka di seluruh institusi negara
baik Sipil maupun TNI/Polri. Disamping sudah berteman kian dengan si oknum, si
oknum juga akan mengenalkan teman-teman maupun atasannya yang lain. Simbiosis
mutualisma yang makin menggurita.
Inilah jalur mengapa dari pertemanan biasa di tingkat lokal
berkembang menjadi pertemanan ke tingkat provinsi malah sampai tingkat
nasional. Ruang lingkup bisnisnya juga ikut terkatrol berekspansi sesuai skala
pertemanannya. (Bersambung)
Terima kasih infonya gan.
BalasHapusLumayan buat nambah elmu.
Gema Parfum
Parfum Termahal di Dunia.
----------