Kamis, 08 Mei 2014

TANJUNGBALAI SAYANG TANJUNGBALAIKU MALANG





TANJUNGBALAI SAYANG TANJUNGBALAIKU MALANG
 (1)


Seorang putra daerah sekalipun bila telah lama meninggalkan Tanjungbalai (apalagi sejak tahun 80an kebawah) dan pada suatu kesempatan kembali atau berkunjung kesini bisa dipastikan akan merasa “terkejut” dengan suasana kota dan masyarakatnya.

Terkejut disini mungkin saja berkonotasi takjub dan kagum, tetapi bisa juga menunjukkan bahasa tubuh yang terkaget-kaget kebingungan dan rasa tidak percaya dengan keadaan terkini, karena banyaknya perubahan yang terjadi pada masyarakatnya dari dahulu yang terkenal  ramah, sopan santun, taat beribadah, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, membela teman, suka bergotong royong, bekerjasama, peduli dan membantu sesama. Semua itu kini  sudah amat susah kita temukan dari jiwa dan wajah-wajah terkontaminasi modernisasi yang melanda sebagian masyarakat kota ini.  Kaum muda setempat sudah tidak mau tahu dengan masa depan dirinya apalagi kotanya, tidak mau ambil pusing dengan kemerosotan jiwa dan moral, tidak ambil peduli dengan kebijakan pemegang kekuasaan yang jauh dari amanah. Seolah-olah timbul ajaran baru yang dianut menjadi keyakinan “yang porlu jolas’, semua menginginkan instan, sekarang juga. Bukan bertahap, berkesinambungan dan menatap jauh kedepan.

Mengapa  sebagian besar generasi muda Tanjungbalai masa kini telah terdegradasi  dan mengalami dekadensi moral yang demikian parah ?

Bila dikaji dan dianalisa lebih jauh ini semua tidak terlepas dari sistem pemerintahan dan penguasa setempat yang tidak berdaya terhadap kekuatan cukong-cukong serta mengambil sifat “Aji Mumpung” saja. Hal ini berlangsung sejak akhir tahun 80 an sampai sekarang. Masa kedahsyatannya terjadi di era 90an.



Sejak 1987 luas wilayah Kota Tanjungbalai sudah 60,52 km²  dari sebelumnya hanya 199 ha (2 km²) dari Pelabuhan Tanjungbalai sampai jembatan Batu Dua Sijambi (pabrik es) dan dari Pulo Simardan sampai Kapias Titi Gantung. Penduduknya berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 berjumlah 154.445 jiwa terdiri atas 77.933 jiwa dan 76.512 jiwa perempuan. Penduduk Kecamatan terbanyak berada di Kecamatan Teluknibung dengan jumlah penduduk 35.802 jiwa sedangkan yang terendah berada di Kecamatan Tanjungbalai Utara Dengan jumlah penduduk 15.862 jiwa, tak heran Dapil ini pada Pileg yang baru lalu banyak diperebutkan dan menjadi inceran Caleg-Caleg mumpuni. Jumlah Penduduk di Kecamatan lainnya adalah : Penduduk Kecamatan Datuk Bandar berjumlah 33.797 jiwa, Penduduk Kecamatan Datuk Bandar Timur berjumlah 26.942 jiwa, Penduduk Kecamatan Tanjungbalai Selatan berjumlah 19.330 jiwa, Penduduk Kecamatan Tanjungbalai Utara berjumlah 15.862 jiwa, dan Penduduk Kecamatan Sei Tualang Raso berjumlah 22.712 jiwa. Sebelum diperluas kota ini pernah menjadi kota terpadat di kawasan Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang, ini berarti dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per km². Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjungbalai dan Kabupaten Asahan.
Dari data statistik tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk laki-laki Tanjungbalai lebih banyak dari penduduk perempuannya. Hal ini mungkin saja disebabkan karena tingginya angka migrasi pencari kerja yang masuk ke Tanjungbalai, terutama yang bekerja sebagai buruh bongkar muat, kilang, supir angkutan, beca, ojek, dan nelayan tradisional maupun modern.
Bila Pemerintah Daerahnya bijak tentu hal ini akan menjadi perhatian khusus baginya dalam menyiapkan lapangan kerja bagi putra-putra setempat, bukan perantau apalagi orang asing. Tapi nyatanya Pemerintah Kota Tanjungbalai lalai atau mungkin tidak mau perduli terhadap kesulitan pekerjaan masyarakat aslinya sendiri bahkan termarginalisasi oleh sistem dan para pendatang. Mengapa bisa? Jangan lupa bahwa Pemerintah Daerah adalah Pejabat Publik yang membuat kebijakan-kebijakan untuk Pelayanan Publik. Sekali lagi ingat, publik atau masyarakat. Mereka adalah pelayan dan bukan yang dilayani. Ini harus kita garis bawahi. Setiap kebijakan yang bukan untuk kepentingan masyarakatnya tetapi karena dilandasi kepentingan kekuasaan, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan kepentingan persekongkolan semuanya adalah untuk kepentingan sesaat, ataupun kepentingan melanggengkan kekuasaan, ataupun kepentingan untuk memperkaya diri sendiri dan nepotisme. Adakah ini menjadi stresing Pemko Tanjungbalai dalam menyiapkan lapangan pekerjaan bagi putra daerahnya? 




Tingginya tingkat pengangguran di Kota Tanjungbalai tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah utamanya Pemerintah Kota Tanjungbalai. Pemerintah Kota terlihat belum mampu menyiapkan lapangan pekerjaan sejalan juga dengan ketidak mampuannya mempersiapkan usia kerja yang siap pakai. Penyiapan SDM masyarakat yang mempunyai skill dan siap pakai sesuai dengan kebutuhan daerah sebenarnya sudah mulai dirintis dimasa kepemimpinan dr. Sutrisno Hadi, SpOG dengan membangun Politeknik Tanjungbalai dengan menggandeng Perguruan-Perguruan Tinggi di Sumatera Utara bahkan ITB Bandung. Gedung, infrastruktur, serta media belajar mengajarnya banyak mendapat bantuan dari Pusat maupun Pemprovsu sejalan dengan kebijakan nasional untuk memberikan pendidikan yang layak bagi masyarakat. Kitapun memaklumi bahwa kemampuan APBD Tanjungbalai tidak akan mampu mengatasinya sendiri. Disinilah kepiawaian seorang dr. Sutrisno Hadi, SpOG yang berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui usulan-usulan yang ilmiah dan rasional dengan menggunakan tenaga-tenaga surveyor dan konsultan ahli. Kita harus angkat topi pada beliau.

Sayangnya sejak beralihnya kepemimpinan beliau kebijakan ini tidak dikembangkan, terasa stagnan malah kalau boleh disebut terjadi langkah mundur. Banyak kepentingan-kepentingan pribadi yang muncul dalam pengelolaan Poltan ini. Anggaran dan proyek menjadi inceran semata, bukannya memikirkan bagaimana untuk melahirkan putra putri Tanjungbalai yang berkemampuan khusus di bidang agrobahari dan agromaritim. Tidak pula memikirkan bagaimana menyiapkan lapangan pekerjaan bagi mereka-mereka itu yang akan menyelesaikan pendidikannya nanti. Jauh panggang dari api. Para penguasa sibuk dengan aji mumpungnya dan kalu dapat bagaimana satu keluarga duduk di kursi kekuasaan untuk sama-sama menggerogoti dana masyarakat. Duhai malangnya.



Hubungan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (dulu disebut Muspida) saat ini terlihat kurang intensif seolah-olah berjalan sendiri-sendiri. Tidak adanya koordinasi baik lintas instansi pemerintah secara horizontal maupun vertikal, misalnya dalam penanggulangan masalah narkoba dan kenakalan remaja. Tidak terlihat ada upaya Pemerintah Kota bersama Kepolisian, Kodim, Kejaksaan, Pengadilan Negeri ditambah unsur plus lainnya seperti Bea dan Cukai, PLN, dan unsur pemerintah lainnya duduk satu meja membicarakan program-program apa yang harus disusun bersama dalam mengatasi keamanan dan kenyamanan kota. Padahal titik sentral semua permasalahan di Tanjungbalai pemecahannya berada instansi-instansi pemerintah ini. Mengapa tidak pernah terdengar keluarnya sebuah program bersama di Tanjungbalai ini? Kemana dan dimana mereka?

Sudah jamak terdengar bahwa Tanjungbalai adalah sarangnya penyelundupan. Sejak dahulu diwaktu Tanjungbalai punya pelabuhan sendiri (masa itu Pelabuhan Teluk Nibung masuk wilayah Kabupaten Asahan), dimasa kapal-kapal kayu ukuran sedang dapat masuk menyusuri Sungai Asahan dan bersandar di Pelabuhan (Boom) Jl. Asahan Tanjungbalai penyelundupan (smoukel) ini sudah ada. Tapi masih sebatas kebutuhan pokok masyarakat saja. Masa dahulu ada juga penyelundupan candu oleh masyarakat non pribumi dari tanah seberang bahkan dari Tiongkok tapi itupun masih tingkat dikonsumsi oleh kalangan mereka sendiri tidak meluas sampai ke masyarakat lainnya. Aparat waktu itupun kelihatan seperti picing mata saja atau ada kong kalikong diantara mereka. Apakah ini dasar atau cikal bakal tumbuh dan merebaknya penyelundupan di Tanjungbalai sekarang ini? Benar memang ada benang merahnya. 




Ada beberapa kelemahan yang cukup elementer dalam membangun hubungan koordinasi lintas instansi pemerintah. Untuk Pemerintah Daerah seorang Kepala Daerah bersama Wakilnya dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pilkada untuk masa bakti 5 (lima) tahun, sedangkan pimpinan lembaga negara di daerah Kota/Kabupaten dihunjuk oleh Kementerian/Non Kemeteriannya melalui Surat Keputusan.

Seorang Kapolresta, Dandim, Kajari, Ka. PN dapat berganti kapan saja dan sesuai penghunjukan instansinya. Membangun kerjasama disamping berbicara tentang masing-masing kelembagaannya tentu juga tak terlepas dari  faktor tipikal seorang pimpinan itu. 

Tanjungbalai sering menghadapi dilema terhadap keadaan ini, misalnya saja seorang Kepala Kepolisian Resort Kota Tanjungbalai ataupun seorang Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungbalai yang sudah memasyarakat dan dapat diterima masyarakat karena sebuah tugas baru dari pimpinannya harus pindah dari kota ini. Kalau itu sebuah prestasi untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi tentu sangat dimaklumi. Tapi tak jarang pula karena adanya suatu intervensi dari atas atau pengaruh eksternal lainnya seperti pejabat, cukong dan pengusaha seseorang pejabat yang kadung dicintai masyarakat “digeser” ke tempat lain. Hal ini membuat hubungan kerjasama ataupun koordinasi kembali stagnan bila pejabat pengganti mengambil waktu untuk menyesuaikan diri dan “belajar” kembali akan situasi dan kondisi kota. 

Waktu tentunya tidak akan berhenti sementara masa bakti masing-masing pejabat juga ada batasnya. Kondisi ini terjadi berulang-ulang pada masing-masing instansi, hingga akhirnya periode seorang Kepala Daerah berakhir. Untuk itu perlu juga difikirkan jalan keluarnya akan kendala koordinasi seperti ini. Jika perlu dan memang harus berani mengusulkan ke Pusat melalui DPRD Kota untuk mengusulkan bilamana terjadi mutasi pimpinan sebuah lembaga pemerintah di kota ini harus dengan sepengetahuan ataupun usul dari kota ini sendiri (DPRD Kota) begitu pula dengan penggantinya harus diketahui jelas rekam jejaknya. Kota ini sudah harus berani melawan intervensi Pusat bila itu tidak diinginkan masyarakat. Perjuangkanlah putra-putra daerah untuk memimpin lembaga pemerintah di daerahnya sendiri, kalau tidak ada paling tidak figur yang sudah mengenal betul akan Tanjungbalai. 




Letak geografi Tanjungbalai yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand serta didukung pula kondisi geografis yang mempunyai banyak sungai-sungai kecil bermuara ke Sungai Asahan dan akhirnya Sungai Asahan bermuara pula ke Selat Malaka yang menghubungkan ke negara-negara tetangga tersebut. Waktu tempuh dari Pelabuhan Teluk Nibung ke Port Klang-Malaysia menggunakan kapal ferry hanya sekitar 4 jam saja, bila menggunakan boat nelayan berkisar diantara 10 – 12 jam saja. 

Apalagi Selat Malaka merupakan perairan yang relatif aman dari badai dan gelombang karena hanya merupakan selat yang diapit oleh dua pulau besar  Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia dan ramai dilintasi sebagai jalur perairan Internasional. Selat Malaka seolah seperti sebuah Kanal atau Terusan yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan. Kalau Negara-Negara Arab mempunyai Terusan Suez dan Amerika mempunyai Terusan Panama yang dibuat manusia dengan berbiaya super besar maka Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura punya Selat anugerah Illahi yang setiap hari ramai dilewati kapal-kapal cargo, tanker, penumpang, pesiar , dan boat sampai perahu nelayan.

Tanjungbalai yang berdataran rendah (0-3 M dari permukaan laut) dengan banyak memiliki sungai-sungai kecil seperti Sungai Tualang Raso, Sungai Apung, Sungai Merbau, Sungai Selat Lancang, Sungai Pante Burung, dan Sungai Bandar Jopang. Juga memiliki dua sungai besar  yaitu Sungai Silau dan Sungai Asahan sebagai muara sungai-sungai kecil tersebut, dimana Sungai Silau juga bermuara ke Sungai Asahan (tepian tempat pertemuan kedua sungai inilah asal mula sejarah nama kota ini, Balai di Ujung Tanjung). Kondisi dan kontur tanah tersebut menimbulkan banyak paluh-paluh disisi kiri dan kanan sungai – sungai ini tempat bersembunyinya para penyelundup (smoukel) pada masa dahulu menghindari pengawasan ataupun kejaran aparat pantai dan pelabuhan seperti Bea dan Cukai (dahulu disebut dengan Pabean atau Douane), Polisi Perairan, KPLP, dan AL yang sering berpatroli. 

Biasanya untuk menghindari pantauan petugas para smoukel ini bila sampai dari negeri seberang pada siang hari bertambat dahulu di paluh-paluh ini dan baru pada malam harinya masuk ke Tanjungbalai melalui sungai-sungai kecil dan menyisir pesisir Sungai Asahan maupun Sungai Silau. 

Perlu diketahui bahwa Kapal Patroli Petugas tidak dapat masuk ke sungai-sungai kecil dan dangkal. Itu makanya pada masa dahulu penyelundupan tradisional yang menggunakan perahu layar sudah tumbuh di Tanjungbalai ini bahkan melibatkan para pesmoukel dari daerah bertetangga seperti Labuhan Batu dan Riau (Panipahan, Bengkalis, Siak, dll) untuk bertransaksi di Tanjungbalai menjual barang bawaannya dari negeri seberang seperti barang-barang tekstil, sandal, sepatu, minyak wangi, gula, tepung, kertas, botol, dll bahan komoditi pokok masyarakat. Barang-barang yang akan dibawa ke negeri seberang juga banyak diperoleh mereka dari Tanjungbalai seperti hasil-hasil bumi dan pertanian  serta hasil-hasil hutan.


Para penyelundup tradisional (smoukel) ini dari penampilannya sehari-hari dapat dilihat perbedaannya daripada masyarakat biasa lainnya. Pakaian, sepatu, arloji bahkan farfum yang mereka gunakan serta rokok yang mereka isap sudah bermerek luar negeri. Mereka sudah tidak malu-malu lagi mempublish diri mereka di tengah-tengah masyarakat lainnya sebagai seorang penyelundup.

Bahkan menjadi kebanggaan sendiri karena sudah akrab dengan produk-produk luar negeri. Dengan uang berlimpah yang mereka miliki hidupnya semakin makmur dan secara perlahan karena kurangnya dasar keimanan yang kuat lambat laun membentuk pola kehidupan suka berfoya-foya, senang mencari tempat-tempat hiburan, berjudi, menghambur-hamburkan uang kesana kemari.

Pola hidup seperti itu menjadikan mereka semakin mudah mencari teman dan disanjung-sanjung sebagai seorang pemurah, sosialis dan dermawan. Para aparat hukum yang bertugas di Tanjungbalai kebanyakan adalah orang pendatang yang ingin mencari teman dan membunuh rasa kesepiannya yang jauh meninggalkan keluarga akan senang berteman dengan para pesmoukel ini. Uang dapat kesenangan dapat. Inilah akar mula persekongkolan itu.  





Dalam lingkungan masyarakat para pesmoukel (penyelundup tradisional) ini bergaul cukup baik dan sering membantu kesulitan masyarakat sekitar. Itu semua dalam upaya mengamankan bisnisnya disamping itu ia perlu memperluas pergaulan terutama terhadap pihak-pihak aparat hukum dan preman (baca : para pemuda pengangguran dan putus sekolah).


Terjadi angka peningkatan ekonomi masyarakat, karena roda ekonomi di kota ini berputar dengan baik. Buruh dan pedagang kehidupannya di atas rata-rata kehidupan masyarakat buruh dan pedagang di daerah lainnya di Sumatera Utara. Berimbas pula terhadap petani dan nelayan, juga terhadap karyawan dan aparatur negara (PNS dan TNI/Polri). Kota semakin bergairah dan terlihat kemajuan disana sini.

Tapi semuanya itu adalah kemajuan dan peningkatan ekonomi yang semu. Semua ada dalam sirkulasi roda perekonomian yang digerakkan dari sektor illegal. Pemerintah dan masyarakat lupa dalam pembangunan sebuah masyarakat dan negara maupun daerah yang paling mendasar adalah SDM masyarakatnya, pendidikan terabaikan dan terlupakan. Aparat Pemerintah terbius kenikmatan persekongkolan dan masyarakatnya terbuai mudahnya mendapatkan rezeki dan uang. Karena tergiur kemewahan dan kesenangan hidup yang semu banyak pemuda-pemuda setempat melupakan pendidikannya dan merasa lebih tertarik bergaul dengan para pesmoukel atau tak jarang terlibat langsung sebagai pemain. 

Mirisnya kehidupan beragama kota ini dari hari kehari semakin terkikis terkena erosi kemewahan hidup. Dunia malam penuh hiburan dan penghibur  tumbuh dimana-mana bahkan berimbas juga kepada kota sekitar seperti Kisaran, P. Siantar bahkan Medan. Pelanggan terbaiknya tak lain adalah mereka-mereka itu. 

Jadi ada korelasi antara maraknya penyelundupan dengan tingginya tingkat pengangguran dan pemuda putus sekolah. Ini harus kita garis bawahi, sekali lagi harus kita garis bawahi.
 



Pada masa sebelum merdeka dan awal kemerdekaan  para penyelundup di perairan Asahan dan Labuhan Batu di pesisir Selat Malaka membawa ke negeri seberang Semenanjung Malaysia dan Tumasik (Singapura sekarang) berupa hasil-hasil bumi, hutan dan pertanian (damar, kemenyan, belerang, rotan, padi, dll), tembikar dan hasil-hasil  kerajinan. 

Sementara itu barang-barang yang dibawa masuk sebagian besar adalah barang-barang komoditi yang dibutuhkan masyarakat seperti : kain plekat, tekstil, pakaian, kaus, sandal, sepatu, farfum, biskuit, mentega, buah-buahan, dll. Barang-barang selundupan itu dibawa dalam jumlah kecil karena harus disembunyikan di dalam perahu layar yang berukuran kecil pula. Kegiatan penyelundupan kala itu bersifat insidentil dan tidak rutin seperti maraknya penyelundupan sekarang yang telah menggunakan moda angkutan air bermesin secara reguler.

Insidentil karena masa itu masih menggunakan perahu layar yang harus melihat kondisi air laut pasang/surut, arah angin berhembus, cuaca dan musim. Disamping pula harus mempersiapkan stok barang yang akan dimuat karena barang yang akan dibawa ini tidak selalu ada setiap harinya ataupun dalam jumlah yang cukup. 

Memuatnyapun harus sembunyi-sembunyi pada malam hari dan harus tanpa penerangan untuk menghindari perhatian orang, di tempat-tempat yang tersembunyi pula seperti paluh-paluh, anak-anak sungai yang sulit dijangkau ataupun rumah-rumah penduduk di tepi sungai yang terasing dari lainnya.
Masa itu penyelundupan barang-barang terlarang seperti madat dan candu memamg telah ada tapi itupun dilakukan sebatas pada para pelaut non pribumi tertentu. Diantara pelaut-pelaut keturunan pendatang ini karena desakan ekonomi untuk bertahan hidup diri dan keluarganya di perantauan melahirkan cikal-bakal insan-insan yang berani menyerempet-nyerempet hukum negara. Mereka itu adalah pelaut-pelaut keturunan etnis Tionghoa yang berasal dari pesisir Riau seperti Panipahan, Bengkalis, dan Bagan Siapi-Api. Pelaut-pelaut etnis turunan ini awal mulanya adalah pendatang dari Palembang dan Bangka Belitung (Sejarah Panglima Cheng Ho). Lama kelamaan keturunannya masuk dan berkembang pula ke daerah Labuhan Batu dan Asahan. 

Barang-barang terlarang ini mereka perjual belikan di kalangan mereka sendiri secara face to face tanpa perantara dalam jumlah yang kecil untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk diperjual belikan kembali. Masa itu memang banyak pecandu dan pemadat di kalangan etnis Tionghoa bermukim di daerah Asahan, Labuhan Batu (seperti Tanjung Leidong, Simandulang, Sei. Brombang, dll), dan Riau (Panipahan, Bengkalis, Bagan Siapi-Api. Pecandu dan pemadat merupakan kebiasaan buruk yang hidup di tengah-tengah masyarakat etnis turunan Tionghoa yang dibawa mereka dari tanah leluhur.



Hubungan pertemanan antara para peneyelundup  dengan aparat negara dan pemerintah di Tanjungbalai dari masa ke masa mengalami perkembangan yang unik. Kalau di masa dahulu awalnya hanya pertemanan di meja minuman ataupun di tempat-tempat hiburan. Si pendatang adalah aparat negara dan pemerintah yang ditugaskan pimpinannya bertugas di Tanjungbalai, perlu teman untuk membunuh waktu dan kesepiannya yang berada jauh dari sanak saudara keluarga. Si pesmoukel punya banyak uang dan perlu banyak teman yang dapat melindungi dan mengamankan bisnisnya.
Hubungan mutualisma ini dari hari ke hari berkembang menjadi saling membutuhkan dan saling beketergantungan satu sama lainnya. 

Untuk mendapatkan pendidikan, promosi atau menduduki jabatan yang lebih baik seorang aparat itu memerlukan dana yang tidak sedikit yang kadangkala tidak dapat diadakannya sendiri atau juga mungkin mencari jalan yang lebih mudah dan tidak memberatkan diri dan keluarganya. Dengan adanya ikatan pertemanan serta adanya imbal balik yang akan didapatkan oleh para pesmoukel ini nantinya, diharapkan nanti si teman aparat tadi akan menduduki jabatan yang lebih baik atau lebih tinggi sehingga bisnisnya akan menjadi lebih aman atau malah semakin dapat dikembangkan. Banyaklah panyelundup ini membantu dana dan pembiayaan bagi pengembangan karier koleganya demi pengabdian untuk mereka juga nantinya.

Diantara para kolega yang mereka dukung dalam pendidikan dan promosi jabatan itu sebagian besar memang  berhasil dalam kariernya. Seiring dengan perjalanan waktu maka bertebaranlah teman-teman mereka di seluruh institusi negara baik Sipil maupun TNI/Polri. Disamping sudah berteman kian dengan si oknum, si oknum juga akan mengenalkan teman-teman maupun atasannya yang lain. Simbiosis mutualisma yang makin menggurita.
Inilah jalur mengapa dari pertemanan biasa di tingkat lokal berkembang menjadi pertemanan ke tingkat provinsi malah sampai tingkat nasional. Ruang lingkup bisnisnya juga ikut terkatrol berekspansi sesuai skala pertemanannya. (Bersambung)

1 komentar: