Rabu, 18 Juni 2014

MASYARAKAT PESISIR


MENGENAL MASYARAKAT PESISIR ASAHAN

Ralp Linton mendefinisikan masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas.

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang mendiami batas wilayah pesisir. Wilayah pesisir dapat dilihat dari dua macam batas yang memisahkan wilayah pesisir dengan garis pantai. Batas yang sejajar dengan pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai.

Wilayah pesisir merupakan pintu masuk perkembangan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia sejak jaman dulu, menjadi jalan masuk transportasi dan transformasi sosiologis serta budaya masyarakat. Selain faktor sosiologis tersebut, di wilayah pesisir inilah pada mulanya terjadi transaksi kebutuhan masyarakat meliputi pangan, sandang, dan papan karena moda transportasi masa dulu sampai sekarang menggunakan jalur air (sungai dan laut). Wilayah pesisir juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial baik bagi masyarakat pesisir itu sendiri maupun perekonomian secara luas. Karakter sosial masyarakat di pesisir ini terbentuk melalui proses panjang. Sebagai contoh adalah fakta sosial di Tanjung Balai, Asahan. Karakter sosial pesisiran seperti gaya hidup konsumtif terjadi karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak menggejala dan merupakan ”kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpa. dalam tatanan sosiologis tersebut, kata lain gaya hidup yang dianggap ”boros” itu merupakan upaya masyarakat di pesisir untuk menyenangkan diri sesaat. Gejala sosial yang terjadi umum di wilayah pesisir Indonesia ini dilakukan dalam menikmati kehidupan yang selayaknya.

Streotipe ini sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan pesisir. Padahal kultur sosial masyarakat pesisir, jika dicermati pada dasarnya memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring, dan seterusnya. Kondisi tersebut lambat tapi pasti membentuk dan menjadi identitas mereka (Ginkel, 2007).

Masyarakat Tanjungbalai, pesisir Timur Sumatera ini, secara sosio kultur-pendidikan lemah dan pasif. Secara struktural mereka termarginalisasi dalam sistem. Menurut Sunarto (2004) marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak masalah sosiologis yang timbul sebagai akibat ketimpangan (Sunarto, 2004). Di mana ketimpangan ketersediaan sarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sarana infrastruktur publik. Marjinalisasi mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat partisipatif (Ife, 2002), cenderung mengakibatkan keadaan komunitas pedesaan di pesisir menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan sosio-struktural dan ekologis. Bentuk perlakuan masyarakat lainnya terhadap mereka mempengaruhi bentuk-bentuk respons masyarakat pesisir artinya, jika kita menghormati dan menghargai mereka, merekapun akan akan merespons dengan tindakan yang sama demikian pula sebaliknya. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya.

Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus yang lalu terjadi telah muncul di permukaan. Realitas pendidikan masyarakat pesisir kian mensubordinasi dan memarginalisasi masyarakat, merupakan ancaman terhadap demokratisasi dan tujuan masyarakat. Sejatinya masyarakat pesisir dapat mengenyam pendidikan sama dengan masyarakat mampu yang lain, dikarenakan pendidikan merupakan hak seluruh warga masyarakat dan sudah saatnya reformasi pendidikan masyarakat pesisir perlu untuk segera dan secara masif di upayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. 

Dengan tingkat pendidikan, ada juga keterampilan yang rendah anak anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan, dikarenakan pendidikan tidak menunjang. Sosiologi pesisir secara semantik berasal dari dua kata “sosiologi” dan “pesisir”. Kedua konsep tersebut, secara terpisah mempunyai definisi yang saling mengait. Istilah sosiologi pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie Positive (Sunarto, 2000; Narwoko dan Suyanto, 2006; Komarudin, 2011). Namun bila dirunut kebelakang embrio sosiologi sudah dimunculkan sejak abad 14 melalui pemikiran Ibnu Khaldun, seorang Sosiolog Muslim yang dikenal melalui bukunya Muqaddimah (Khaldun, 2000). Secara sederhana sosiologi berarti studi tentang masyarakat, tetapi dalam praktiknya sosiologi berarti studi tentang masyarakat dipandang dari satu segi tertentu (Komarudin, 2011). 
Sejalan dengan pandangan Komarudin, perkembangan sosiologi dewasa ini menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah praktis atau masalah sosial yang perlu ditanggulangi (Narwoko dan Suyanto, 2006). Hal itu juga dapat dilihat agar kajian sosiologi berujung pada berbagai kebijakan sosial (social policy) yang terkait dengan berbagai problem sosial yang ada di masyarakat kita. Sementara itu, sosiologi pesisir merupakan cabang sosiologi yang mengkaji objek khusus yaitu masyarakat pesisir yang hidup dari sumber daya laut seperti nelayan, buruh, pembudidaya, dan sebagainya. Kemunculan sosiologi pesisir sebagai cabang sosiologi ini ditengarai karena kajian mengenai masyarakat pesisir dalam wacana sosiologi di Indonesia belum mendapat perhatian yang serius. Padahal pesisir dan masyarakatnya adalah ruang sosial yang signifikan. Keberadaannya penting lantaran fungsinya yang tidak sekedar sebagai area perhubungan (keluar masuk orang dan barang) maupun sebagai area penangkapan/pengumpulan, pengolahan, dan komersialisasi sumber daya laut (penangkapan ikan, budidaya tambak, dan industrialisasi ikan laut/ikan asin dan lain sebagainya), namun juga sebagai instrumen politik negara sebagai negara bahari. Dua fungsi tersebut pada kenyataannya memiliki konsekuensi logis dalam geliat kehidupan masyarakat pesisir.

Karakter masyarakat pesisir merupakan aspek penting dalam sebuah pandangan sosiologi. Setting sosio-edukasi masyarakat pesisir di Indonesia, menjadi penanda karakteristik kultur masyakatnya. Kultur masyarkat pesisir ini akrab dengan ketidakpastian yang tinggi. hal ini disebabkan karena kehidupan sosial di wilayah Pesisir tergantung pada sumber daya laut yang ada. Secara alamiah, sumberdaya laut pesisir (perikanan) bersifat invisible, sehingga sulit untuk diprediksi. Dalam kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat pesisir Indonesia yang keras, sebagian temparemental, dan boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya perikanan “tinggal diambil” di laut.

Secara sosiologi perlu adanya transformasi pendidikan dan budaya yang dapat membangun keadaban pesisir – keadaban yang transformatif, tangguh, dan mandiri, bukan keadaban yang lemah, pasif, dan destruktif (Mubyarto, et. al. 1984: 10).

Masyarakat nelayan secara umum di Indonesia dalam tataran evolusi sosio-budaya berada pada perkembangan awal. Sukadana (1983), menyampaikan bahwa perubahan antroposere dalam kehidupan manusia ada enam tingkatan, mulai dari: food gather, hunting and fishing, pastoral nomad, agriculture, industry dan terakhir urban.



Koentjaraningrat (1985) juga menggunakan pendekatan evolusi ini, yang dimulai dari: meramu, perikanan, dan kemudian pertanian (dari perladangan berpindah sampai ke pertanian menetap).



Dengan demikian, perspektif evolusioner masih relevan digunakan sebagai dasar memahami dinamika masyarakat nelayan, apalagi dalam kehidupan masyarakat nelayan yang terikat habitat.

Perkembangan masyarakat masa kini yang berada dalam abad informasi, tentu akan berinteraksi dengan lingkungan sosial luar secara intensif. Hal ini memberi konsekuensi teoretik, bahwa analisis dengan pendekatan teori sosiologi modern menjadi relevan digunakan untuk menelaah dinamika masyarakat nelayan. Sintesis teoretik antara para antropolog yang menggunakan pendekatan evolusioner dengan para sosiolog modern yang salah satu ruang kajiannya berdimensi struktural merupakan suatu upaya agar kita semakin memiliki alat analisis yang lebih memadai untuk menjelaskan perkembangan masyarakat dalam abad ini, jika mungkin untuk melakukan peramalan terhadap perubahan sosial di masa mendatang.

Demikian pula, mengingat bahwa masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupannya masih sangat bergantung pada kondisi habitatnya, maka memadukan pendekatan ekosistem akan semakin menjadikan analisis ini dapat lebih kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar